Firasat

2153 Words
Angin musim gugur menerbangkan dedaunan dari pohon di kaki bukit yang kini telah mulai berubah didominasi oleh warna kuning, orenji dan juga coklat. Pemandangan yang sejatinya indah bila dapat diabadikan namun dia tak dapat mengabadikannya melalui lukisan. Sebab dia bukanlah pelukis. Daun-daun tersebut terlepas dari tangkai tempatnya hidup terbawa angin. Melayang, menari diudara sebelum akhirnya jatuh tanpa adanya daya dan upaya ke atas tanah. Alvaro tak mengindahkannya dan terus saja memacu langkah kudanya agar lebih cepat lagi. Rambut hitam panjangnya yang sengaja dia ikat tinggi berayun, terkena angin. Sudah satu setengah hari dirinya berkendara. Perjalanan yang mesti dia lewati masih cukup jauh dan lama. Belum lagi hari ini merupakan hari ulang tahun adik dari selir ayahandanya. Dia dipaksa untuk kembali ke istana sebelum perhelatan digelar. Namun melihat jauhnya perjalanan yang harus ditempuhnya sepertinya dia akan sedikit terlambat untuk tiba. Ini karena dia menginap di tempat sahabatnya, sang putra mahkota dari kerajaan Ephraim Feliks. Merasa kuda yang ditungganginya terlihat letih karena telah dirinya paksa untuk berlari, Alvaro menyerah. Dia kemudian membawa kuda miliknya menuju sumber mata air terdekat. Lebih tepatnya mencari terlebih dahulu sebab sedikit sulit menemukannya di tempat antah berantah maca mini. Lagipula sudah masuk sore hari, perutnya mulai ikut keroncongan pula meminta untuk diisi, belum lagi tenggorokannya kering. Terakhir kali dia mengisi perut adalah tadi malam saat dirinya bertandang dan beristirahat disebuah penginapan sederhana di perbatasan ibu kota kerajaan Ephraim. Dan wajar bila saat ini dia merasakan dahaga kembali. Tak lama kemudian, seorang pria tua berjalan pelan ke arahnya sedikit berlawanan. Tubuh pria tua itu nampak bungkuk karena setumpuk kayu bakar yang dipikulnya diatas punggung. Rambut keperakan karena uban dia gelung di puncak kepala. Janggut tipisnya juga berwarna serupa dengan rambut miliknya ia mengenakan pakaian petani yang sudah lusuh. Terenyuh. Alvaro turun dari kudanya, kemudian melangkahkan kakinya untuk berjalan mendekati pria tua itu. Alvaro kemudian membungkuk. Pria tua itu menghentikan langkahnya, Alvaro terkejut saat mendapati mata si pria yang masih bersorot tajam diusianya yang renta. Dia menatap Alvaro dengan pandangan yang lurus. Seolah dirinya dapat membaca isi pikiran sang putra mahkota. Jeda sejenak. Pria tua tersebut terlihat menghela napas panjang, kepalanya menggeleng pelan. “Menyedihkan sekali…” ujarnya setelah kepalanya kembali pada titik semula, sikap yang cukup untuk membuat Alvaro mengernyit dengan bingung. Apa yang salah? Apa mungkin kakek ini sakit jiwa? Batin Alvaro sempat menerka namun tidak terucapkan dengan gamblang. Tidak seperti dirinya yang biasa. Pria tua itu malah menerbitkan sebuah tersenyum simpul. “Aku tidak gila.” Jawabnya singkat dan tegas sekali lagi seolah bisa menebak isi pikiran Alvaro yang dibuat tersentak bukan main. Rasanya seperti sedang ditelanjangi. “Yang kau perlukan sekarang adalah berjalan kurang lebih seratus meter lagi kearah utara untuk bisa menemukan sungai bagimu dan rumput segar untuk kudamu. Sungainya sangat jernih dan dangkal, cukup untuk mengurangi rasa dahagamu jika kau bisa menangkap beberapa ikan di sungai itu.” sebuah petunjuk yang terlalu kebetulan untuk bisa dikatakan demikian. Alvaro bahkan belum bertanya arah jalan pada si pria tua namun dia sudah lebih dahulu dapat menebak apa yang memang sedang dirinya perlukan. “Bagaimana bisa kau tahu apa yang aku cari?” Alvaro bertanya sebab dirinya terlalu kebingungan untuk dapat mencerna keadaan. Kecuali dugaan bila pria tua ini adalah salah satu cenayang yang memutuskan untuk mengasingkan diri. Itu bisa jadi lain soal. Sebagai jawaban yang memenuhi rasa penasaran Alvaro. Pria tua memberinya sebuah senyum ramah seraya menjawab dengan tenang. Suaranya terdengar rendah namun cukup untuk dapat di dengar dan dipahami. “Apalagi yang dicari seorang musafir di kaki bukit seperti ini? Lagipula, sepertinya kau sendiri tidak tahu arah. Karena itu aku membantumu sedikit dengan mengarahkan jalan padamu, wahai anak muda.” Alvaro mengangguk pelan “Terimakasih atas kebaikan anda Paman, namun jika tidak keberatan bolehkah saya tahu dimana rumah anda? Ijinkan saya untuk mengantarkan anda sebagai tanda terima kasih.” Alvaro menawarkan bantuan pada si pria tua. Dia merasa cukup khawatir sebab beban yang sedang dipikul olehnya mungkin saja berat. Setidaknya dengan pertolongan darinya, si pria baik yang menolongnya tersebut bisa pulang tanpa perlu membawa beban kayu bakar seperti saat ini. “Tidak perlu.” Tolak pria tua itu secara halus namun tegas. Alvaro sejenak tak terima namun pria tua itu memberinya ekspresi yang sulit diterka. “Rumahku berada didekat mulut lembah, sangat jauh dan berlawanan arah dengan apa yang sedang kau tuju. Aku hanya akan memperlambat perjalananmu, sementara kau sendiri sedang diburu waktu saat ini.” Penjelasan yang sekali lagi membuat Alvaro kembali mengernyit, dia tidak mengerti. Bukankah pria tua itu semestinya merasa senang karena ada seseorang yang mau membantunya? Lagipula beban kayu diatas punggungnya pasti sangat berat. Dan lagi praduganya soal si pria tua adalah cenayang mungkin saja benar adanya. “Dengarkan aku, Tuan.” Kata pria tua itu penuh hormat, memutus lamunannya. Alvaro mengerjap, tidak terlalu ambil pusing mendengar nada suara hormat pria tua itu. Ah, kemungkinan besar bila dia berpikir, jika Alvaro seorang saudagar kaya karena pakaian yang melekat ditubuhnya cukup mewah. “Hal besar telah terjadi ditembok tinggi menjulang.” Katanya singkat namun kentara sekali penuh kewaspadaan. Seperti sebuah peringatan yang jelas-jelas ditujukan untuk dirinya. “Apa maksud anda?” “Kau.. akan tahu nanti. Dan memang lebih baik bila kau sendiri yang mengetahui soal ini bukan dari aku” Sahut pria tua itu terdengar sedih. “Ingatlah, tuan..” pria tua itu kembali berucap. “Apa yang didengar telinga, apa yang dilihat oleh mata belum tentu kebenarannya. Jangan pernah berhenti untuk percaya, dengarkanlah apa kata hatimu.” Pria itu kembali menunduk hormat sebelum kembali berjalan pelan meninggalkan Alvaro dibelakangnya yang masih berdiri stagnan disana beberapa saat. Putra mahkota Abaskus tersebut masih berusaha meresapi apa yang dimaksud pria tua itu. namun dia tidak bisa menemukan jawabannya. Hanya satu hal. Tembok tinggi menjulang merupakan sebuah kata Bahasa halus yang menggambarkan istana. Memang apa yang telah terjadi di istana selagi dirinya pergi untuk menjalankan titah dari Kaisar ? Alvaro kembali menarik kudanya, menuntunnya dengan kecepatan yang pelan ke arah yang ditunjuk pria tua tadi. Dan benar saja, berkisar beberapa meter dari tempat pertemuannya bersama dengan si pria tua. Dia menemukan sungai kecil yang jernih. Matanya menatap takjub. Alvaro lantas menggulung lengan bajunga, mengambil anak panah yang dia simpan di samping pelana. Seperti saran yang dia terima. Berburu ikan adalah apa yang dia perlukan saat ini untuk mengganjal perutnya yang lapar. Api unggun dinyalakan dengan segala apa yang ditemukan. Bau harum ikan menguar menggoda indra penciuman. Padahal beberapa saat yang lalu dirinya sangat lapar, namun rasa tersebut seolah menguap terbawa angin musim gugur. Pertemuannya dengan si pria tua asing tersebut masih membekas dalam pikirannya. Setiap kalimat yang diucapkan pria tua itu masih terngiang-ngian ditelinga. Alvaro menghela napas pendek, diliriknya sekilas kuda hitam miliknya yang terlihat rakus mengunyah rumput segar yang tersaji dihadapannya. Suasana sunyi ini membuka satu dari beberapa hal yang mendadak memenuhi palung terdalam dari jiwanya. Mengapa hatinya mendadak tidak tenang? Alvaro melepas napas panjang. Tatapannya kembali tertuju pada air sungai yang mengalir didepannya. Tanganya menggenggam erat giok yang akan dihadiahkannya untuk Grizelle. Sementara tangan yang lainnya meremas dadanya sendiri yang berdegup kencang. Hatinya resah dan gundah gulana. Demi Tuhan, dirinya tidak pernah merasakan perasaan yang bercampur aduk macam ini. Akan lebih baik bila dia tidak terlalu memikirkan apa yang telah si pria tua itu katakan dan beristirahat malam ini supaya esok hari dia memiliki cukup tenaga untuk kembali ke istana. “Tembok tinggi menjulang?” gumam Alvaro tidak jelas. “Bukankah itu terdengar seperti tembok istana?” dia mengernyit, penuh ketidak keyakinan. Ia menggeleng pelan, menarik napas panjang dan membuangnya keras. Dia berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran yang membuatnya merasa terganggu. “Semestinya hari ini aku telah bertemu muka dengan adikku tercinta,” Alvaro kembali bicara pada dirinya sendiri, dan entah mengapa ada setetes air mata jatuh dari sudut matanya. “Seharusnya aku bahagia karena aku akan kembali pada Ibunda dan Grizelle. Tapi kenapa hatiku justru malah terasa begitu sesak? Oh.. Tuhan semoga apa yang aku rasakan saat ini tidak ada hubungannya dengan pertanda buruk. Semoga mereka baik-baik saja.” *** Di dalam istana Kaisar Achazia berjalan tak tentu arah. Beliau lantas merasakan kegundahan luar biasa setelah titahnya terlaksana. Pikiran dalam kepalanya mendadak dipenuhi kekosongan. Siang tadi, saat dirinya melihat sang istri, permaisurinya telah dia jatuhi hukuman mati. Hatinya masih tak merasakan apapun, namun malam ini dia merasa tak memiliki ketenangan. Tatapannya menerawang jauh. Beberapa kasim beserta dayang yang siap sedia melayani segala keperluannya hanya mampu saling melempar pandang terhadap perubahan sikap sang kaisar. Meski begitu tak ada satupun mulut yang mau buka suara untuk sekadar bertanya. Mereka lebih memilih menyimpan rapat apa yang ada dalam kepala. Bukan apa-apa. Sebab sejatinya mereka lebih sayang nyawa ketimbang harus berucap dan membuat suasana hati sang kaisar semakin buruk dan berakhir dengan mayatnya sendiri. Mereka semua takut. Apalagi setelah apa yang terjadi hari ini. Setengah dari penghuni istana telah dimusnahkan. Semua pengikut Birdella telah mendapatkan vonis hukuman mati dengan tuduhan bersekongkol membantu menutupi kejahatan sang permaisuri dari Kaisar. Maka tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang masih sayang terhadap nyawa lebih baik untuk menutup mulut rapat-rapat. Kaisar keluar dari ruangannya. Kakinya melangkah tak tentu arah sampai kemudian tiba di istana permaisuri. Tepatnya di paviliun Daisy. Seorang kasim penjaga pintu gerbang sempat terkejut atas kedatangan tiba-tiba sang kaisar yang lebih terlihat berkeliaran seorang diri. Namun meski begitu dia tetap bekerja sesuai dengan apa yang menjadi tugasnya. Berteriaklah dia dengan lantang menyerukan kedatangan kaisar meskipun semua orang tahu bila paviliun Daisy telah kosong sebab sang pemilik telah menutup usia pagi tadi. “Kaisar tiba!” sang kasing kemudian membungkuk pada Kaisar Achazia yang masih bergeming di tempatnya. “Yang Mulia panjang umur!” katanya setengah menyembah pada sosok Achazia. Tubuhnya bergetar mengingat nasib sang tuan yakni Permaisuri yang telah berpulang karena menerima hukuman yang sejatinya tidak pantas untuk ditimpakan. Dan lebih dari pada itu semua, dia tidak mengira bila orang nomor satu di negara abaskus ini masih sudi menginjakan kakinya di paviliun kosong setelah apa yang sudah terjadi. Kaisar Achzia hanya terdiam disana. Bergeming untuk sesaat saja. Menatap lurus paviliun tempat dia biasa datang mengunjungi permaisuri. Wanita yang keangkuhannya melebihi siapapun. Ketika gerbang telah dibuka seutuhnya beberapa pelayan yang dipindahkan dari istana utama bebaris rapi menyambut sang kaisar. Berlututlah mereka untuk memberi sebuah penghormatan. “Pergilah!” titah kaisar adalah mutlak, tidak ada yang bisa mengelak. Semua orang yang telah berbaris rapi tersebut lantas membungkuk dan mulai meninggalkan paviliun sesuai dengan perintah. Meninggalkan Kaisar Achazia berdiri sendirian disana. Ketika dia membuka pintu masuk paviliun, suasana sepi yang menyambutnya. Tidak ada lagi suara tegas nan lantang milik sang permaisuri, pun dengan tatapan tajamnya yang tak pernah berubah dari hari kehari semenjak pernikahan mereka berdua. Harum khas milik mendiang permaisuri masih tersisa dalam ruangan ini. Belum menyusut sedikitpun. Meski kondisinya tidak akan sama lagi. “Yang Mulia Paduka Kaisar.” Kaisar Achazia tertegun, tatkala seorang kasim tua datang dengan tergopoh-gopoh menemuinya. Kasim tersebut lantas berlutut dan memberi hormat meskipun dirinya kepayahan. Wajahnya terlihat pucat pasi. Sepertinya ada sebuah kabar yang buruk hendak disampaikan kepada sang kaisar. “Berdirilah. Apa yang kau bawa untukku sampai berani mengusik ketenanganku?” “Ampun Yang Mulia. Hamba membawa pesan dari utusan kepala pengawal pasukan yang mengawal Yang Mulia Putri Grizelle. Beliau memohon untuk menghadap Baginda.” Alis kaisar tertekuk. Jelas perjalanan mereka memakan waktu tiga hari, sedangkan perjalanan mereka baru berlangsung satu hari satu malam. Adalah sebuah hal yang mustahil bagi mereka untuk kembali dari tugas pengawalan secepat ini. “Suruh dia masuk!” meski ada banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, Kaisar menyembunyikan dengan rapat apa yang ada dalam hati dan pikirannya dari semua orang yang ada. Sang kepala pengawal yang diutus olehnya datang menghadap, kepalanya menunduk dalam. “Yang Mulia…” “Apa yang hendak kau sampaikan ?” Sang prajurit terdiam untuk beberapa saat sebelum membuka suara. “Ampun Yang Mulia. Kedatangan hamba kemari adalah ingin menyampaikan kepada anda apabila Yang Mulia Putri Grizelle kemungkinan telah meninggal terseret arus yang deras. Sebab kereta kuda yang beliau tumpangi masuk kedalam jurang. Kami telah berupaya menyisir sepanjang sungai. Namun karena arusnya begitu kuat. Kami tidak dapat menemukan beliau.” Kaisar Achazia terdiam cukup lama. Terlihat sekali apabila dia berusaha untuk menahan emosinya untuk membludak. Rahangnya mengeras. Dia marah besar. “Grizelle tidak boleh mati tanpa izin dariku!” raungnya murka. Sang penyampai berita beserta kasim yang membuka kan pintu spontan bersujud di kaki beliau. Tubuh mereka berdua bergetar hebat. “Ampuni kami Yang Mulia…” “Cari dia sampai ditemukan. Aku menginginkan dia dibawa dalam keadaan hidup dan utuh kehadapanku!” perintah yang jelas jelas mustahil tersebut sesungguhnya adalah sebuah keharusan. Mereka yang mendengar tahu pasti bila para pencari Yang Mulia putri akan berakhir mati. Sebab mereka tidak akan mungkin dapat menemukan sang putri yang hilang ditelan arus deras. Apalagi dalam waktu berhari-hari. Dan ketika sang kaisar ditinggalkan sendirian. Lantas dia meraung sejadi-jadinya. Air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Hatinya serasa ditusuk oleh banyak duri. Dadanya sesak bukan main. Apa benar ini keputusan yang tepat ? dia telah menegakan sebuah kedilan namun disisi lain hatinya sebagai manusia menolak untuk menegakan itu semua. Dia teramat mencintai sang permaisuri dan sang putri. Namun kewajibannya sebagai kaisar yang tegas dan berwibawa mengharuskannya untuk tidak dapat secara gamblang memberikan hatinya. Sebab dia yang sebagai sosok suami dan ayah dan dirinya saat menjadi sosok kaisar adalah dua hal yang berbeda. Ini membuatnya gila. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD