“Benar-benar akhir yang tragis untukmu… Birdella.” Kuga yang merupakan Kaisar dari negara Ephraim hanya bisa menghembuskan napas berat ketika telinganya mendengarkan kabar duka dari sang kasim yang telah puluhan tahun mengabdi disisinya. Kabar itu memang bukan hal yang terlalu mengejutkan, bahkan sejak awal Kuga telah memperkirakan nasib buruk ini. Tepat sejak Birdella, wanita yang hendak dipersuntingnya telah lebih dulu dihadiahkan kepada Kaisar muda Achazia pada waktu itu untuk diperistri. Kekecewaan tentu tidak dapat dirinya bendung saat itu. Ada rasa kekalahan, dan yang paling membuat dirinya merasa kalah adalah fakta yang dibawa oleh mata-mata yang dia bayar. Yakni mengenai seorang selir yang ada diistana Abaskus. Wanita yang dicintai Achazia serta orang yang berpotensi untuk melukai Birdella dikemudian hari. Tentu saja hal tersebut tidak membuat dirinya bisa tenang. Suasana mencekam mulai memenuhi aula pertemuan, tidak ada siapapun yang berani menyela sang Kaisar yang larut dalam lamunannya sendiri.
“Ayahanda Kaisar!” Feliks maju kedepan, satu-satunya entitas yang berani menyela keheningan yang tercipta. Pemuda itu berlutut dengan kepala yang menunduk dalam. Seperti hendak memohon ampunan nyawa sekaligus meminta izin kepada pria yang telah semakin menua tersebut. “Saya mohon anda mempertimbangkan untuk memberikan izin kepada saya untuk pergi ke kerajaan Abaskus. Seperti yang telah anda ketahui saya dan Putra Mahkota Alvaro memiliki hubungan yang lebih dekat daripada sebatas rekan.”
Kaisar Ephraim nampak memandang putra sulungnya dengan ekspresi yang tidak mudah ditebak. Pria itu sepertinya sedang mempertimbangkan baik buruknya permohonan sang putra dengan seksama sebelum berkeputusan. Mengingat informasi mengenai kabar duka ini dia dapatkan dari mata mata yang dia utus. Hal seperti ini kemungkinan akan menjadi sebuah problematika yang meresahkan bagi kedua belah pihak. Meski Kuga juga tidak bisa menutup mata apabila kaisar Abaskus pun pastinya sedang melakukan hal serupa.
“Akan jadi hal yang besar efeknya bagi kerajaan kita bila mereka tahu pihak kita menempatkan mata-mata kita disana. Kau pasti paham konsekuensi terburuknya putraku.” Disini Kuga juga sekaligus ingin menguji ketajaman putra sulungnya. Berharap dari sebuah tindakan yang diambilnya berdasarkan kebijaksanaan dan juga dari buah pemikiran yang matang. Bukan langkah gegabah seorang pemuda tak berpendidikan.
“Saya mendapatkan undangan dari Putra Mahkota Alvaro untuk datang ke Kerajaan Abaskus apabila saya memiliki waktu, hal ini tidak berdasarkan dusta. Namun memang hal tersebut terjadi apa adanya tanpa saya tambahkan sedikitpun. Dan saya bermaksud mengunjunginya dengan alasan ini.”
“Begitukah?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Baiklah..” Kuga seketika menghela napas panjangnya. “Tapi kau sama sekali tidak diizinkan keluar dari istana tanpa pengawalan. Aku akan menempatkan prajurit handal untuk mendampingi perjalananmu kesana.” Pungkas Kuga yang dibalas dengan anggukan patuh sang putra.
“Terimakasih Ayahanda kaisar.” Feliks membungkuk dalam. Feliks tahu pasti apabila resiko yang dia miliki sebagai seorang putra mahkota adalah penjagaan berlebihan yang ketatnya bukan main. Segala hal tentang dirinya akan menjadi sesuatu yang utama, dia juga diperlakukan dengan begitu istimewa sejak kecil. Sebab dirinya telah mengemban tanggung jawab sebagai seorang pemimpin meski usianya masih belia. Namun dengan segala keistimewaan yang dia miliki, ada hal yang hilang dari dirinya. Yakni kebebasan. Sesuatu yang memang tidak dimilikinya sejak lahir.
“Gavin!” panggil Kuga keras. Sosok pemuda yang dipanggil namanya tersebut lantas maju dan berlutut dibelakang Feliks.
“Ya, Yang Mulia Kaisar.” Tukasnya pula merespon panggilan sang ayahanda.
“Temani kakakmu dalam perjalanannya menuju ke Kerajaan Abaskus, pastikan dia pulang dalam keadaan selamat setelah kuberi dia waktu tiga hari untuk perjalanannya.” Perintah tersebut tidak disukai oleh Feliks sehingga terlihat betul bila dia hendak membantah ingin sang ayah. Namun dari atas tahta, sang ibunda memberinya sebuah kode dengan gesture tubuh. Dia tahu ibundanya yang merupakan permaisuri Kerajaan Ephraim selalu memberinya sebuah jawaban mutlak dan juga beberapa nasehat yang tak dapat dia langgar. Dia masih ingat betul apa yang ibundanya katakan sewaktu Feliks masih begitu belia untuk mengerti keadaan. Melanggar perintah kaisar bukanlah langkah yang bijak, sebaliknya hal tersebut malah akan membawanya kedalam keadaan yang merugikan. Petuah tersebut masih tertancab dengan apik didalam kepalanya. Sehingga sebagai putra yang patuh, dirinya kembali menutup mulut dan membiarkan titah tersebut terlaksana sebagaimana mestinya.
“Saya menerima titah Ayahanda Kaisar. Terima kasih karena anda telah memberikan kepercayaan pada saya untuk menjaga nyawa Putra Mahkota.” Seru Gavin masih dengan posisi yang sama. Membungkuk dalam.
***
Suara derap langkah kaki kuda nyaring terdengar. Penduduk kota yang melihat kereta kuda mewah yang mampir ditengah aktivitas pasar menyingkir secara spontan untuk memberikan jalan. Riuh puja puji terdengar dilantukan seakan orang yang berada dalam kereta adalah dewa yang layak mendapatkan penghargaan. Satu baris pasukan berkuda memimpin rombongan tersebut, belakangnya pula terdapat dua baris pasukan pembawa panji dan bendera Kerajaan Ephraim mengikuti penuh dengan kewibawaan. Memperlihatkan etika keluarga kerajaan.
Dalam kereta Feliks memberenggut kesal. Pria yang berstatus sebagai putra mahkota tersebut memang terlalu ekspresif perihal rasa yang ada dalam benaknya. Sesekali dia mendelik kearah adiknya yang malah memejamkan matanya dengan erat. “Kau tahu, Gavin. Jika kondisi kita seperti ini kita tidak akan bisa sampai ke istana Abaskus dalam waktu tiga hari.” Tukasnya berusaha bersuara dan memecahkan keheningan yang ada.
Hening.
“Kenapa pula aku mesti pergi dengan pengawalan berlebihan seperti ini? Kupikir setelah dia memerintahkanmu ikut serta hanya akan ada kita berdua dalam perjalanan ini.” Feliks sekali lagi menyuarakan kekesalan yang terdapat didalam lubuk hatinya. Terlihat geram karena situasi tidak berjalan sebagaimana kehendaknya. “Bukankah bepergian dengan cara seperti ini hanya akan mengundang perhatian yang tidak diperlukan?”
Masih hening.
“Bagaimana bila ada sekelompok perampok yang akan menghadang kita di daerah perbatasan?” gusar, sedari tadi Feliks tidak berhenti bicara. Kerisauan yang dia pikirkan adalah sebuah situasi yang bisa saja terjadi kapanpun. Bagaimana pula rombongan mereka terlihat seperti rombongan saudagar kaya yang sedang memperlihatkan rupa layaknya merak. Menyombongkan diri. Dengan kekuasaan dan uang tebal.
Tetap hening.
“Gavin?” bosan tidak mendapatkan reaksi dan respon yang diharapkan. Feliks membentak adik kesayangannya dengan suara yang cukup keras. Setelah sang ayahanda sekarang kekesalannya juga berpindah pada sang adik sebab tidak bisa menjadi patner perjalanan yang baik. Mestinya dia memikirkan ulang tawaran ayahandanya untuk membawa kesatria favoritnya untuk ikut serta. Setidaknya dengan mereka Feliks jadi punya teman bicara selama perjalanan ini dilakukan.
Gavin hanya dapat menghela napas cukup panjang, namun dirinya masih enggan untuk membuka mata dan juga tak ingin buka suara meladeni sang kakak. “Hmm..” Cuma itu. dari sekian banyaknya kata-kata yang telah Feliks katakan hanya respon dengan dua huruf konsonan saja yang didapatkannya? Bukannya ini adalah sebuah bentuk dari kebencian yang adiknya perlihatkan terlalu gamblang terhadapnya? Hanya perampok putus asa yang tidak punya otak yang akan melakukan tindakan gegabah mencuri harta mereka dalam perjalanan ini. Menilik banyaknya pasukan yang ditempatkan untuk melindungi itu semua, juga identitas yang nampak jelas terpampang nyata bagi siapa saja dengan kibaran panji dan bendera kerajaan Ephraim. Semua orang akan tahu bila orang yang menghuni kereta kuda mewah ini adalah keluarga kerjaan. Hal tersebut semestinya cukup untuk menciutkan nyali para penjahat berotak waras yang hendak menggagahi mereka. Sang putra bungsu kerajaan Ephraim tersebut tidak habis pikir mengapa kakak pertamanya tersebut bisa kepikiran hal sedangkal itu. pemikirannya akan selalu kacau bila itu berkaitan dengan putra mahkota kerajaan Abaskus. Alvaro.
“Tidak bisakah bibirmu kau pekerjakan sebagaimana mestinya adikku? Setidaknya katakanlah sesuatu yang bisa memberikanku dukungan moril atau sebuah penghiburan misalnya.” Feliks menyipitkan matanya, sinisme. Dia memang selalu seterang-terangan ini memperlihatkan suasana hatinya. Suka akan seharian tersenyum dan tertawa, benci maka tak segan mengatakannya dengan tatapan menyebalkan semacam ini. Ya, Gavin terlampau hafal dengan perangai sang kakak sejauh dirinya menemani pemuda itu sejak belia. Dia terbiasa saat kakaknya meminta dimanja dan bertingkah terbalik dengan dirinya yang notabene adalah sosok adik bagi pria itu.
“Jika kau membutuhkan penghiburan dan motivasi. Jelas aku bukan orang yang tepat untuk itu. seharusnya kau membawa Zero bersamamu. Dia cukup ahli untuk hal-hal seperti itu.” sahut Gavin dengan nada bicaranya yang khas. Datar sekali. “Selera humornya cocok denganmu. Dan dia lebih baik dariku untuk hal berbau emosional.”
Feliks mendecakan lidahnya begitu mendapat penuturan yang sedemikian dingin dari adik kesayangannya. Mengapa sosok Gavin tidak semenggemaskan adik-adik oranglain? Mengapa dia bertingkah seolah dia lebih tua darinya. Membuat Feliks merasa iri sekaligus tak suka. Dia membenci hal ini sebab dia jadi diingatkan oleh apa yang dia dapatkan sedangkan Gavin tidak. Kasih sayang. Feliks ingin memberikan semua itu pada adiknya. “Selera humornya memang tinggi.” Ujar Feliks mengakui statement yang dikatakan oleh Gavin padanya beberapa saat yang lalu. “Sedangkan kau—” Feliks lantas menggunakan jari telunjuknya untuk kemudian diarahkan kepada Gavin. Tepat didepan batang hidungnya yang mancung. “Kau payah, dan tidak punya selera humor sama sekali.” Pungkasnya, namun dengan sebuah senyuman yang tulus. Gavin yang hendak mengumpat menarik segala keluh kesahnya kembali. Sebaliknya dia ikut tertular oleh senyuman Feliks. Meski senyum miliknya terlampau tipis untuk bisa dilihat.
“Hm..” namun meski ikut tersenyum, Gavin mati-matian menutupinya dengan bersikap seolah dia tidak peduli dan cuek. Tipikal pemalu. Tapi Feliks suka itu. Sebagai sosok seorang kakak, Feliks tahu adiknya ingin selalu terlihat kuat dan Tangguh sehingga tanpa sadar dirinya membatas sisi kemanusian yang dia miliki. Dia tidak ingin terlihat konyol sedikitpun. Dia selalu ingin terlihat tegas dan berwibawa. Cerminan daripada ayahanda mereka yang teramat sangat Gavin kagumi.
“Hah.. Alvaro pasti merasa sedih saat ini.” Feliks kembali buka suara, dari nadanya dia terlihat menyuarakan rasa bersalah yang dia miliki. Entah karena apa, Gavin tidak bisa memahaminya. Pria itu bahkan dengan dramatisnya menyibak tirai yang ada hanya untuk melihat pemandangan diluar jendela. Tatapannya terlihat menerawang dan sangat jauh.. “Sahabat macam apa aku ini. Bahkan ketika dia sedang berada dalam situasi semenyedihkan itu aku tidak bisa berada disampingnya. Benar-benar egois.”
Mendengar ratapan sang kakak yang kemungkinan besar akan terus bertambah lebih parah lagi, Gavin menghela napas berat miliknya. Ada rasa tidak tega yang tiba-tiba saja terbesit dalam benaknya. “Dia akan mengerti alasanmu. Pasti mengerti.”
“Kau pikir begitu?” Feliks menoleh kearah Gavin dengan cepat. Ada sikap antusiasme yang berlebihan yang dapat Gavin tangkap dari kakaknya.
“Ya.” Sahut Gavin pendek, lalu mulai kembali sibuk kedalam sesi tidur siangnya. Perjalanan selalu membosankan baginya, dan hal ini membuatnya mengantuk.
“Dia kehilangan kedua orang yang berharga dalam hidupnya sekaligus. Kau lihat seantusias apa dia untuk pulang menemui adik kesayangannya dengan hadiah batu giok yang dia pilih sendiri selama berjam-jam? Ah.. aku tidak tega melihatnya mungkin meraung karena orang yang dia temui justru telah berpulang lebih dulu. Ini akan menjadi pukulan terbesar dalam hidupnya” Feliks berkata lirih. “Aku sama sekali tidak bisa melupakan moment dimana sorot matanya berubah saat membicarakan adiknya.”
Gavin memang sedang menutup kedua matanya, namun telinganya aktif mendengar segala hal yang dicurahkan Feliks. Dan sejauh ini dia membenarkan itu. Benar, Alvaro yang wajahnya garang dan terlihat sangat tegas bisa luluh lantah ketika membicarakan sosok adik yang kerap dia banggakan pada mereka. “Sudahlah, lagipula kita juga sedang dalam perjalanan menuju kesana. Tidak perlu khawatir.”
***
“Ketua kami menemukan mangsa yang cukup bagus.” Teriak seorang pria terlihat begitu heboh setelah melakukan partoli mencari buruan yang layak untuk disantap. Dia sedang berburu namun ditengah kegiatan itu dia malah menemukan sosok yang lebih menarik daripada sekadar hewan liar guna mengisi perut lapar. “Aku menemukan seorang gadis cilik dan dua kuda yang bagus. Sepertinya dia anak kecil yang tersesat.” Penjelasan berikut pula dengan arah jalan yang sang anak buah laporkan benar adanya. Pria dengan wajah sangar tersebut terlihat puas memandang dengan lapar kearah gadis belia tersebut.
Si pria yang dipanggi sebagai ketua sekaligus pemimpin kelompok tersebut berjalan dengan penuh rasa angkuh. Setiap langkah yang dia ambil tidak lepas daripada beberapa pria lain yang menjadi anak buah pria itu. Matanya menyipit untuk menilai tubuh gadis cilik tersebut. Memberinya harga layaknya sebuah barang perniagaan.
“Dia cukup bagus, bisa kita jual sebagai budak.” Ujar si pria tersebut dengan sebuah senyuman licik yang terpatri pada wajahnya. “Rambut hitamnya yang legam dengan kulit putih sebersih itu, dia akan cukup mahal. Kita bisa membeli beberapa arak dan bermain dengan para wanita di rumah bordil sesuka hati setelah berhasil menjualnya.” Komentar lainnya terdengar cukup menggiurkan bagi beberapa pria lainnya. Menetes air liur mereka hanya karena mendengar wanita dan juga arak.
“Sebelum itu cari kesekeliling tempat ini. Bisa jadi ada seseorang yang mendampinginya. Lenyapkan bila perlu.”
“Baik!”
Beberapa orang langsung bergerak cepat untuk dapat mengintai dan menilai situasi. Mereka menyisir setiap tempat untuk menemukan pengganggu yang dapat menggagalkan rencana brilian mereka untuk memuaskan Hasrat duniawi yang tidak sempat mereka lampiaskan karena kekurangan uang dan miskin. Sedangkan si ketua mengeluarkan sebuah belati dari balik jubah lusuh yang dikenakannya. Demi tuhan, ditengah kelaparan mereka merasa telah diberkati oleh Tuhan sebab diberi anak cantik ini untuk dapat ditukar dengan uang.
“Aku perlu bersenang-senang untuk hidup. Nah.. cantik, datanglah padaku.”