Dan disinilah kini aku berada, dengan Hayden disisiku memacu kudanya dengan sangat hati-hati. Memastikan aku tetap nyaman dalam setiap derap langkah kuda yang dia kendarai. Tubuh tegapnya selalu sigap, seolah dirinya memang disetting untuk melindungiku dari segala macam marabahaya yang siap menerjang kami kapanpun dan dimanapun. Sebelah tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggangku dan satunya lagi dia gunakan sebagai pencengkram tali kekang. Tentu saja posisi ini telah kuberikan izin, karena sebelumnya dia memohon dengan sangat padaku. Demi keselamatanku dia menekannya seperti itu. hingga kemudian kuberi dia izin khusus untuk menyentuh pinggangku.
Perjalanan kami tidak begitu mudah dilalui. Dari rutenya aku rasa Hayden memang sengaja mengambil jalan memutar untuk menghindari kelompok yang berencana untuk menyerang kami. Sesekali aku melirik kearah Chiyo yang mengendarai kudanya sendiri memastikan dirinya mampu mengikuti kami berdua. Meski tidak semahir Hayden, namun pelayan setiaku itu masih bisa dikatakan memiliki kemampuan cukup dalam mengendarai kuda ditangannya dengan baik. Namun semua hal yang baik ini kembali mengingatkanku pada moment perpisahanku dengan sang kusir dan pelayan setia ibunda. Senyuman terakhir mereka masih tergurat dihatiku. Apa mereka akan baik-baik saja ? aku tahu betul jawabannya adalah tidak. Namun sekali lagi aku harus merasakan sakit. Sebab aku telah membuat orang-orang yang tidak berdosa malah memikul derita. Mereka berkorban untukku yang tidak melakukan apa-apa untuk mereka.
“Jadilah orang yang bisa mengubah semuanya. Jadilah seorang kaisar Yang Mulia Putri.” Kusir tersebut bahkan berkata demikian sebelum mengusir Hayden untuk segera membawaku pergi.
Menangis dalam diam, hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Tindakan sia sia juga bodoh yang sejatinya tidak memberikan efek apapun pada mereka. Aku hanya seorang anak kecil yang sedang berusaha meluapkan seluruh emosi jiwa ini pada air mata. Aku lelah untuk terus berdiri tegak seolah aku tidak berperasaan seolah hatiku beku dan tidak bisa merasakan apapun pada mereka.
“Yang Mulia ada apa?” aku mendengar Hayden bertanya padaku. Pria itu mungkin khawatir sebab aku lebih diam dari biasanya.
“Diamlah.” Jawabku sekali dengan suara yang mungkin bergetar. Tapi sedikit keberuntungan bagiku sebab hujan menjadi penyamarnya. Hayden mungkin tidak akan menyadari bila majikannya saat ini sedan menangis hanya karena berpisah dengan para pelayan biasa yang tidak terlalu akrab dengannya ketika masih berada dalam lindungan tembok istana. Dan aku pun disini sebisa mungkin meredam suara isakan yang keluar dari bibirku agar tiada satupun orang bisa melihat akan adanya kelemahan dalam diriku. Seperti yang Ibunda pernah katakan, aku tidak boleh terlihat tak berdaya dihadapan siapapun.
Jalanan yang kami tapaki begitu licin karena air hujan yang terus turun tanpa henti. Tentu saja membuat perjalanan yang kami tapaki sedikit sulit untuk ditempuh. Belum lagi hari yang gelap dengan penerangan yang minim, kemungkinan besar membuat Hayden perlu untuk meraba-raba wilayah ini dengan insting yang dimilikinya. Juga ingatan yang dia punya mengingat dia merupakan salah satu pasukan yang sempat ditempatkan di bagian perbatasan. Semestinya hutan bukan lagi tempat yang asing untuk dapat dia lewati dengan kesukaran tinggi. Meski begitu karena kondisi kami yang menerjang hujan, dan aku yang dia bawa tentu saja perjalanan ini cukup beresiko. Namun setidaknya kami juga harus bersyukur sebab hujan akan memperlambat para pengejar untuk mengetahui keberadan kami. Bau tanah akan menghambat mereka untuk membaui aroma kami meskipun mereka menggunakan anjing liar khusus yang terlatih untuk bidang ini. Dan yang terpenting adalah mulai hari ini, kami telah dianggap mati. Dan itu adalah hal yang paling terbaik dari seluruh perkara dimuka bumi. Meski miris.
“Saya akan mencari tempat berlindung untuk kita semua setelah kita berhasil masuk ke perbatasan utara.” Penjelasan dari Hayden membuatku sadar bila perjalananku masihlah jauh untuk meneruskan hidup. Keterangan tersebut tak serta merta langsung terlaksana sebab mungkin ada sekitar empat sampai lima jam kami berpacu dengan waktu, kami tak kunjung mendapatkan waktu rehat sama sekali. Sampai satu titik, Hayden terhenti sebab dirinya menemukan sebuah gua untuk bersembunyi, setidaknya sampai fajar menyingsing. “Maafkan saya Yang Mulia Putri, saya tidak dapat menemukan tempat yang layak bagi anda untuk beristirahat. Namun pilihan yang baik bagi kita untuk bersembunyi beberapa waktu. Saya rasa Chiyo kelelahan dibelakang kita” Putusnya lagi. Dan ketika Hayden menggendongku untuk turun dari kudanya, aku mendengar ada bunyi bedebam yang cukup keras. Rupanya Chiyo terjatuh dari kudanya dalam keadaan pingsan. Hayden benar Chiyo kelelahan mengikuti kami. Dia memang tidak memiliki basic sebagai orang yang terlatih fisiknya seperti Hayden.
“Hayden bawa Chiyo masuk.” Titahku. Hayden mengangguk mengerti dan menggendong Chiyo. Meletakannya untuk tidur terlentang didalam gua lembab yang gelap. Otakku lantas berpikir untuk memberikan sebuah pertolongan pertama padanya. Menarik kain yang aku genggam, pemberian dari sang kusir dan mulai mengacak acak isinya. Mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk bahan pengobatan.
“Api.” Kataku tegas menjadi perintah lainnya kepada Hayden. Satu kata tersebut cukup untuk membuatnya bergerak dari posisinya yang hanya memperhatikanku. Pemuda itu beringsut mencari beberapa ranting kayu yang bisa dimanfaatkan untuk membuat api. Dia memilah beberapa ranting kayu yang basah mencari satu diantara banyaknya yang tergeletak ditanah yang nyaris tidak menyisakan ranting kering. Setengah putus asa dia terus mencari. Sementara aku, mengurus dayangku sendiri. Dia demam. Tubuhnya mungkin tidak kuat menerima guyuran air dari langit, belum lagi dia sempat mendapat hukuman pukulan juga sebelum ikut bersamaku. Bukankah saat ini dirinya paling menderita?
“Sudah kubilang menetaplah diistana. Matilah dengan tenang disana. Kau benar-benar bodoh Chiyo.” Aku ingin sekali menyalahkan segala hal yang terjadi pada orang yang memang berhak untuk disalahkan sampai hidupku berada dalam titik secarut marut ini. Betapa menyakitkan… bagaimana bisa orang dewasa menimpakan takdir yang memuakan ini untuk aku jalani? Dimana kasih sayang orangtua yang katanya tak berdasar tak terbatas itu ? dimana aku bisa menggantungkan diriku ? kekecewaan ini membuatku sakit.
“Sekali lagi aku menjadi penyebab orang-orang yang kucintai menderita..” pantaskah aku meraung dan merintih saat ini? Keputusasaan yang aku terima terlalu berat. Ibunda.. apa yang harus aku lakukan? Aku kebingungan. Aku tidak tahu arah mana yang harus aku tuju. Kenapa anda meninggalkanku disaat aku masih membutuhkanmu ? Aku tidak sekuat itu Ibunda.. aku hancur. Bulir air mata berderai tanpa bisa dicegah. Isakan kecil terdengar, kemudian membesar karena luka yang telah kutahan tak lagi bisa diam ditempatnya. Hatiku hancur berkeping-keping. Demi Tuhan ini benar-benar menyakitkan. Tapi ada yang lebih penting yang mesti aku lakukan selain menangis. Chiyo membutuhkan aku.
Hayden kembali dengan beberapa ranting yang tak seberapa banyak, melirik kearah Chiyo dan gurat kecemasan terlihat jelas dalam ekspresinya. “Apa dia baik-baik saja Yang Mulia ?”
“Untuk saat ini iya. Segera buatkan api” Aku melirik kearah ranting yang dikumpulkan Hayden. “Perbekalan kita mungkin cukup untuk mengganjal perut malam ini. Tapi kita juga membutuhkan air minum.” Jelasku lagi. Hayden mengangguk.
“Biar saya yang akan mencarinya untuk anda.” Dia hendak beranjak, namun aku menggeleng menghentikan dia sebelum pergi dengan menarik tangannya. Meminta dia untuk menetap
“Tidak perlu. Kau buatkan saja api untuk kita. Urusan mencari air akan jadi tugasku.” Aku berdiri dari tempatku duduk. Setelah memastikan Chiyo mendapatkan pertolongan pertama dari beberapa obat yang aku temukan beberapa saat yang lalu. Saat aku melangkah keluar Hayden menahan tubuhku.
“Tapi Yang Mulia—”
“Kau berani menentang perkataanku?!” potongku tajam sambil menepis tangannya yang mendarat dibahuku tanpa belas kasih.
“Tidak. Maafkan saya.” Dia menunduk. Pada akhirnya dia mengalah. Membiarkan aku keluar begitu saja.
“Aku pergi.” Satu langkah kakiku keluar dari gua tempat persembunyian. Hujan sudah mereda, bau khas tercium segera tepat ketika aku telah keluar sepenuhnya dari gua. Destinasi yang kutuju adalah sebuah mata air. Dimana aku bisa mendapatkan air ? mataku berkeliling sampai mendengar bunyi gemercik air yang cukup besar.
Butuh waktu yang tak sedikit sampai kemudian keberuntungan menghampiriku. Aku berhasil mencapai sumber suara yang menjadi petunjukku. Rupanya memang benar ada sebuah sungai yang mengalir disekitar sini, sepertinya cukup bagus menjadi sumber mata air pula karena letaknya juga tidak terlalu jauh dari tempatku bermukim setidaknya untuk malam ini. “Argh..” Darah merembes, tanganku tergores. Aku tidak tahu karena apa tanganku bisa terluka sebab aku sama sekali tidak bisa melihat dengan benar karena hanya mengandalkan pencahayaan dari rembulan diatas sana. Itu sebabnya aku tidak sadar saat mungkin ada ranting dengan ujung yang tajam membuat tanganku terluka. Rasa pedih menjalar kemudian. Namun kuabaikan begitu saja. Sesungguhnya rasa sakitnya tidak seberapa dibandingkan rasa robek dihatiku. Bukan sesuatu yang takarannya sebanding. Mengenyahkan segala hal buruk yang mampir dalam kepala. Aku segera memasukan air kedalam wadah yang kubawa. Memastikannya terisi penuh sebelum membawanya pergi kembali menuju gua tempat peristirahatan kami.
Suara kayu yang terbakar, cahaya dan juga hangatnya api menyambutku ketika aku melangkah masuk.
“Anda sudah kembali Yang Mulia.” Sapanya saat menyadari kehadiranku. Seperti yang diharapkan, Hayden berhasil membuat api yang kupesan. Namun dia terlihat terkejut mendapati diriku yang dipenuhi luka lecet dan berdarah.
“Ya-Yang Mulia tangan anda terluka !” dia setengah berteriak dan menghampiriku dengan kalap. Namun aku menepis tangannya yang berusaha menjangkau ku. Menatapnya tajam dan sinis.
“Siapa yang menyuruhmu untuk menyentuhku!”
“A-ah.. itu, tapi tangan anda—”
“Aku bisa mengurusnya sendiri. Bersikaplah seperti yang seharusnya. Aku ini majikanmu.” Hayden membisu seribu Bahasa. Pria itu terdiam saat aku melewatinya begitu saja dan mendekati Chiyo yang masih belum sadar. Aku membuka mulutnya dan memasukan air minum yang aku bawa.
“Hayden berbaliklah! Jangan sekali-kali berani membalikan tubuhmu jika tidak ingin kubunuh!” pria itu patuh akan titahku. Dia membalikan tubuhnya. Sama sekali tidak penasaran terhadap apa yang hendak aku lakukan. Ya, aku sedang membuka pakaian Chiyo. Dia membutuhkan pakaian kering untuk menutupi tubuhnya bukan pakaian yang basah kuyup. “Bertahanlah sedikit Chiyo.” Mohonku sendu hampir berbisik. Sengaja agar tidak ada siapapun yang bisa mendengarnya.
***
Sementara iring-iringan konvoi dalam rangka mengantarkan Yang Mulia Putri menuju tempat pengasingan kembali berjalan saat matahari telah terbit. Tak ada satupun yang curiga akan ketidakberadaan Putri Grizelle di kereta kuda miliknya. Para prajurit yang mendampingi juga sepertinya tidak ambil pusing terhadap apa yang terjadi terhadap diri mereka sendiri sebelumnya. Penyebab mereka tiba-tiba dilanda kantuk berat semalam. Belum lagi keterangan palsu yang diberikan sang kusir yang sejatinya telah berkonspirasi dengan sang putri telah berdusta bahwa dirinya berjaga hingga fajar tiba. Sehingga tidak ada yang mengecek kondisi putri dan dayangnya didalam kereta.
Jalanan yang mereka lewati semakin menyempit, jurang dibawah sangat dalam, dasarnya berupa sungai yang airnya nampak bergelombang. Sepertinya debit airnya naik karena hujan semalam. Terlihat meluap bahkan ada juga pusaran air. Tentu saja cukup beresiko bagi rombongan untuk melanjutkan perjalanan.
Sampai saat itulah sang kusir yang merupakan pengawal pribadi sang mendiang permaisuri menjalankan rencananya. Dia menusuk bagain belakang kuda dengan belati yang dia bawa hingga menyebabkan sang kuda meringkik. Kedua kaki kuda tersebut terangkat ke udara sebelum akhirnya kuda tersebut lari tak tentu arah.
Beberapa prajurit yang melihat hal tersebut terlihat panik, sementara itu sisa dari mereka semua malah tersenyum senang. Mereka adalah para penyamun yang menyamar menjadi prajurit menemani pengawalan untuk sang putri. Mereka sendiri bahkan tidak mengira akan ada sebuah kejadian yang membuat mereka tak perlu repot mengotori tangan mereka sendiri untuk membunuh sang putri.
“Kejar kereta kuda itu!” bak aktor drama yang terlatih salah seorang dari prajurit memerintahkan pada bawahannya untuk mengejar kuda yang sepertinya sudah gila tersebut. Sementara dia yang memerintahkan malah tidak berbuat apa-apa dan hanya melihat sambil memasang seringai licik. Dia bisa melihat bila upaya yang dilakukan para bawahannya tidak membuahkan hasil sebab kuda tersebut terpeleset dan jatuh ke jurang. Sebagian besar pengawal yang tidak tahu menahu soal rencana sebenarnya semakin panik. Wajah mereka pucat pasi.
“Turun dan cari Yang Mulia Putri Grizelle! Aku harus mendapatkan laporan dari kalian secepatnya!” teriak kepala prajurit. Wajahnya masih terlihat tenang namun hatinya gusar diliputi keresahan besar.
“Tuan, air sungai sedang meluap hebat saat ini. Sepertinya akan sulit untuk menemukan Yang Mulia Putri.” Lapor seorang prajurit, kepalanya tertunduk dalam. Semua orang tahu soal itu, karenanya tidak ada yang berani turun kebawah dan melakukan titah sang kepala pengawal. Sebab beresiko tinggi dan mungkin akan menghilangkan nyawa mereka.
“Aku tidak peduli. Yang pasti Yang Mulia Putri harus ditemukan!” sahut sang kepala Prajurit keras-keras. Dia bersikukuh. “Cari dan temukan sekarang juga. Dan beberapa dari kalian segera kirim berita ke istana mengenai kecelakaan ini!” raut muka sang kepala prajurit nampak serius. Dengan keras dia memecut kuda miliknya sendiri untuk kemudian diarahkannya ke muara sungai. Hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan kepala dan prajurit bawahannya saat ini. Sebab jikalau benar Yang Mulia Putri Grizelle tewas, dia berkewajiban untuk mengantar jasad putri kehadapan Yang Mulia Kaisar sekaligus menerima hukuman karena telah lalai menjaga keluarga kerjaan. Sementara beberapa penyamun yang menyamar menjadi prajurit satu persatu kembali ke tempatnya masing-masing. Tugas mereka telah selesai bahkan sebelum dimulai.
***