Keith masih terjebak di dalam hutan ilusi, tapi ia bisa mengatasinya dengan mudah karena ilusi tersebut sangat sederhana. Sekarang pria itu berjalan menuju ke altar dan melihat Eugene beserta Derich dan lainnya sedang berbincang dengan Caroline.
Gadis itu telah membongkar identitasnya. Berarti dia telah siap dengan konsekuensi yang dihadapi.
“Yang Mulia, jangan membuat Caroline takut.” Derich menatap gadis itu penuh makna, sambil tersenyum begitu tampan. Wajahnya yang cerah sangat menyejukkan di mata Caroline. Dalam sekejap mata, dia langsung menggelengkan kepala untuk mengembalikan pikiran rasioanalnya.
Jangan terpedaya karena dia tampan.
Kalau Derich memancarkan wajah bak peri atau malaikat, sementara Eugene memancarkan wajah ingin merengkuh dan memiliki, layaknya iblis. Namun ada yang aneh dari sorot mata posesif itu. Dilain sisi, perasaan merinding milik caroline membuat tak nyaman.
“Nona, kita harus pergi sekarang,” kata Audrey dengan cemas. Gadis belia itu menoleh ke hutan. Kegelapan hutan yang mulai melahab sudah menyebar. Itu artinya Jason sudah mengetahui kalau mereka telah kabur.
“Aku mengerti,” jawab Caroline sambil tersenyum lembut.
Gadis itu menatap ketiga orang penting yang berdiri di depannya, lalu melirik dua pengawal handal bersama mereka.
“Sayangnya aku tak punya waktu untuk berdebat dnegan kalian.”
Audrey segera mengeluarkan formasi sihirnya. Namun sebelum formasi itu lengkap, sebuah sulur yang berasal dari tanah telah mengikatnya. Semua orang tampak kaget, dan muncullah Jason dari sisi kanan dengan sangat tenang.
“Semua orang berkumpul juntuk berpesta.”
Melihat itu, Veto bergegas melakukan p*********n demi melindungi Eugene. Tapi dia malah terlempar ke semak-semak hingga pingsan seketika, bahkan dua pengawal juga.
“Penyihir,” gumam Eugene dan Derich bersamaan. Caroline yang melihat Audrey tak berdaya memandang bengis ke arah Jason.
“Lepaskan Audrey!” teriaknya cukup keras, memenuhi seluruh altar.
“Serahkan dulu dirimu, baru aku melepaskannya.”
“Jangan gegabah, Caroline.” Eugene mendekati Jason penuh dengan keberanian. “Aku mengenalmu. Kau sering berkunjung ke kerajaanku. Tapi setelah penyihir itu mati, kau pergi begitu saja.”
Dia berdiri di depan Caroline seperti pahlawan yang melindungi kekasihnya. Derich yang melihat itu hanya berdecih saja.
“Sayangnya, kau hanya membuang waktu!” Sulur itu langsung mengikat mereka berdua. Sedangkan Keith yang memantau langsung menyergap Jason dari belakang. Dia menusuk perut pria itu hingga tembus ke perut bagian depan.
Seketika itu pula, Jason batuk darah. Kekuatannya pun melemah dan sulur menghilang. Namun dengan sisa kekuatan yang dimiliki, dia membuat prajurit golem dari tanah untuk menyerang mereka.
“Aku tak akan pergi dengan tangan kosong!” Jason tertawa renyah dan menggelegar. Satu persatu golem pun muncul dari dalam tanah. Audrey yang sudah mulai mengumpulkan energinya langsung menggunakan formasi sihir untuk menghancurkan para golem. Begitu juga yang lainnya bergerak menyerang golem ciptaan Jason.
“Kenapa tiada habisnya?” kesal Derich terus menyerang golem. Golem yang sudah rusak selalu bangkit kembali. Hal tersebut terjadi karena medan energi dan sihir yang ada di sekitar. Apalagi penciptanya masih dalam kondisi sadar untuk mempertahankan golem itu.
“Satu-satunya cara, membunuh pencipta!” Audrey melirik ke arah Jason yang masih membuka kedua matanya dengan lebar. Setelah mendengar perkataan gadis belia itu, semua orang memandang ke arah Jaosn.
“Sial,” geram Jason berupaya bangkit tapi tak bisa sebab darah yang dikeluarkan terlalu banyak. Dia lengah karena tidak menyadari ada seseorang yang menusuknya dari belakang. Orang asing dengan tudung hitam itu harus mati terlebih dulu.
“Yang mulia, apakah kau mengenal orang itu?” Derich berdiri di samping Eugene yang sepertinya mengamati pria asing tersebut.
“Keith,” jawabnya asal, tapi memang benar.
Sialan, bukankah Keith berada diperbatasan? Kenapa dia ada di sini?
Wajah Derich langsung ditekuk lantaran kesal mendengar nama Jendral Emas itu. Tak menyangka bahwa pria itu datang ke lokasi. Nyatanya letak perbatasan dan Gunung Suci tak begiru jauh. Besar kemungkinan dia melihat api peringatan milik sang raja.
Golem yang berdiri tegak mulai hancur satu persatu. Darah milik Jason pun mengalir lewat celah lukanya. Pedang itu pun dicabut oleh Keith, seketika pria itu ambruk bersimbah darah di tengah altar suci.
Sementara Caroline memandangi ayahnya dnegan tatapan sayu. Walau bagaimanapun, Jason adalah ayah kandungnya. Banyak sekali pertanyaan yang hendak ditanyakan sebelum pria itu benar-benar meninggalkan dunia tersebut.
Tanpa ada keraguan, Caroline mendekati Jason. “Kenapa ayah melakukan ini?” Air mata gadis itu mulai mengalir. “Apa salah ibu dan aku?”
Sejak kecil, Caroline selalu mendapatkan banyak kasih sayang dari Jason. Sosok ayah yang lembut dan penuh perhatian kini telah berubah dimatanya.
“Aku melakukan itu karena memanfaatkan Sarah. Bukan karena aku menyayangimu sebagai anak.”
Tidak ada penyesalan di mata Jason. Dan itu membuat Caroline merasakan sakit luar biasa. Sepuluh tahun gadis itu membuang waktu percuma untuk mencari Jason. Lima tahun dalam kesendirian, lima tahun lagi berusaha mencari keberadaannya.
Air mata Caroline jatuh. Kaki yang tadinya kokoh kini tak kuasa menahan berat badannya. “Apa salahku?”
Audrey langsung memeluk gadis itu cukup erat. “Kau tak salah apapun. Dialah manusia serakah yang mengorbankan manusia untuk mendapatkan kejayaan.”
Jason tersenyum membenarkan perkataan dari Audrey. Rasanya sangat lega, bisa mengutarakan semua hal yang disimpan selama ini, termasuk pura-pura peduli yang dilakukan. Dia sendiri bukan manusia baik, melainkan manusia hina yang serakah.
Hidupnya dulu yang mendorongnya berubah menjadi demikian. Selama mengenal Sarah, kaish sayang dan cintanya tumbuh. Namun, keserakahannya mendominasi cinta sehingga hidupnya hancur.
“Apakah kau tak mau minta maaf padaku?” Teriakan Caroline menggema di seluruh hutan. Hatinya begitu nyeri luar biasa. Seorang ayah yang tak pantas jadi ayah sekarang tidak punya penyesalan sama sekali.
“Aku berusaha keras untuk menemukanmu. Masa mudaku terbuang percuma.” Gadis itu memegang dadanya dengan kuat. Sementara Audrey mulai menenangkannya. Semua orang yang ada di sekitarnya hanya diam seribu bahasa. Karena mereka tak bisa ikut campur dengan masalah keluarga itu.
Tawa Jason pecah meskipun di ambang kematiannya. Kenapa demikian? Karena dia tak punya penyesalan. “Aku tak memintamu datang. Tapi karena kau datang, jadi aku tak punya pilihan lain.”
“Kau bukan ayahku.” Perlahan Caroloine bangkit, balik badan tanpa memandang kembali ke snag ayah yang sudha terkapar. Hatinya terlampaui sakit, seperti teriris pisau hingga berdarah, bahkan lebih dari itu.
Keith yang melihat kondisi Caroline hendak menemaninya, tapi ditengah langkah itu, dia dihadang oleh Eugene.
“Jangan membuat semua jadi rumit, Keith. Aku perlu penjelasanmu juga.”
Keith hanya diam, memandnag punggung Caroline yang mulai menjauh pergi. Ia berharap mereka kembali ke mansionnya dengan selamat.
Jangan membenciku karena aku ikut campur, Caroline, bahkan membunuh ayahmu, batin Keith.
Sedangkan Jason, hanya bisa tersenyum melihat kepergian gadis itu. Dalam sekejap, dia sudah tumbuh dewasa.
“Kau berhak membenciku,” gumam Jason beralih menatap langit yang sangat cerah, sampai dia lupa kalau tempat itu bukan tempatnya. Perlahan, pandangannya mulai memburam. Di saat seperti itu, ingatan kebersamaannya dengan Sarah dan Caroline mulai muncul satu persatu.
“Maafkan aku,” kata pria itu untuk terakhir kali hingga matanya menutup sempurna.