Eugene yang keluar menyamar menuju ke hutan, menelusuri jejak Tuan K. Langkah kaki pria itu berhenti pada bekas darah yang ada di tanah. Jelas bahwa darah itu masih segar dan belum mengering. Itu artinya di tempat tersebut merupakan tempat pembataian.
Mata Eugene melirik pada tebing. Senyumnya pun terbit saat tanpa sengaja melihat goresan tanah ditepi bebatuan.
“Ah... yang benar saja. Mereka semuanya di bodohi.” Sebagai Varlos, instingnya akan meningkat tajam. “Bukan Tuan K namanya kalau tidak bisa kabur.”
Pria itu tak akan menyelidiki tempat tersebut lagi karena tidak ada gunanya. Lebih baik pergi untuk mencari Caroline. “Aku rasa, dia akan pergi ke tempat itu.”
Eugene tahu kalau Caroline akan pergi ke Gunung Suci, sesuai dengan petunjuk orang bernama Jason. Mungkin sebuah anugerah dari Tuhan bahwa semua omongan pria tua itu benar adanya alias menjadi fakta
“Aku akan menjadikanmu milikku seutuhnya.”
Petir menyabar sebanyak tiga kali, pertanda hal buruk akan terjadi. Audrey yang tadinya berpikir mengenai rencana pelarian mereka dari Derich pun tersentak kaget, bahkan langkah kakinya berhenti menatap langit yang berkilat-kilat itu.
Perasaanku tidak enak. Aku rasa akan terjadi hal buruk. Haruskah aku melanjutkan perjalanan ini?
Audrey menatap punggung Caroline yang mulai berjalan menjauh. Langkah kakinya yang kecil pun mengikuti gadis itu. “Nona..., malam ini kita harus pergi ke Gunung Suci.”
“Aku tahu, tapi bagaimana agar bisa lepas dari Derich?”
“Tunggu sampai dia lengah, Nona,” saran Audrey di angguki oleh Caroline.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di rumah Derich yang cukup terpencil. Salah satu pelayan datang tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka.
“Kenapa Anda tak memberi kabar, Tuan?” kata pelayan pria berjenggot panjang itu.
“Tak ada waktu. Atur kamar untuk mereka berdua,” jawab Derich sambil memberikan kudanya kepada pelayan itu. Pria tersebut bergegas pergi setelah mendapatkan perintah.
“Masuklah... rumah ini memang sederhana, tapi sangat nyaman.”
Mereka pun masuk rumah, lalu duduk di sofa. Caroline menatap seluruh isi rumah yang tampak sederhana itu. Dua foto di pajang di dinding, seorang pria dan seorang wanita.
“Tunggulah di sini. Aku akan menyiapkan makanan dan minuman untuk kalian.”
Setelah Derich pergi, Audrey bangkit menuju ke jendela kaca. Perasaannya semakin tak menentu saat angin peringatan berhembus pelan.
“Nona, kita harus segera pergi dari sini.”
Puncak Gunung Suci memang sudah terlihat dari rumah Derich,. Akan tetapi semakin mereka dekat, bahaya akan selalu mengiringi mereka.
Sementara itu, pelayan tadi langsung mengirim dua burung pembawa pesan ke seseorang. Begitu dua burung itu terbang, mereka pergi berpisah. Keith yang tak jauh dari gua, dihampiri oleh buruk tersebut.
“Rumah Derich. Dia menemukan mereka lebih dulu,” kata Keith sambil membakar surat itu. “Aku harus bergegas ke sana.”
Sedangkan burung satunya menuju ke tempat Eugene berada. “Aku tidak akan membiarkan Caroline di ambil oleh Eugene.”
Ternyata pelayan itu adalah mata-mata dari dua orang. Untuk bertahan hidup, ia menjual jiwanya kepada Eugene dan Tuan K. “Maafkan saya, Tuan. Saya terpaksa melakukan ini.”
Pelayan itu membawa dua cangkir teh yang sudha diberi obat tidur. Untuk mencegah mereka kabur, dia sudah berinisiatif mengurung Audrey dan Caroline.
Begitu sampai di ruang tamu, keduanya sudah tak ada di tempat. “Tuan!” panggil pelayan dengan wajah pucat pasi. Derich yang tadinya sedang menyiapkan makanan ringan bergegas menuju ke ruang tamu.
“Ada apa?” matanya terbelalak saat melihat dua gadis itu tak ada di tempat. “Sial! Mereka pergi!” Tak mau menunda waktu, Derich lari keluar rumah, segera memacu kudanya dengan cepat. Begitu pria itu pergi, Keith dan Eugene muncul dari arah yang berlawanan.
“Derich!” kata mereka berdua bersamaan. Mata keduanya pun bertemu satu sama lain.
“Aku akan membuat perhitungan denganmu, tapi tidak kali ini!” Wajah Eugene dipenuhi amarah, dan Keith tahu siapa dibalik tubuh itu.
“Terserah..., aku tak peduli.” Keith memilih mengejar Derich, diikuti oleh Eugene. Sampai di bukit dekat masuk gunung suci, mereka melihat Audrey yang sedang membuat lingkaran sihir.
Derich terbengong, begitu juga Eugene, bahkan Caroline juga merasakan hal yang sama.
“Ternyata aku adalah penyihir!” teriak Derich dan Eugene bersama-sama.
Kegiatan Audrey pun berhenti begitu mendengar teriakan mereka. Caroline merasa tak percaya atas apa yang dilihat. “Nona... aku butuh darahmu.”
“Jadi, kau sebenarnya adalah penyihir?” tanya Caroline dengan wajah syoknya.
“Aku bisa menjelaskan nanti, tapi aku butuh darahmu.” Audrey sangat panik saat mereka bertiga mulai mendekatinya. “Waktu kita tak banyak. Cepat!”
Siapa sangka, Eugene dengan berani melempar pisau dan emngenai Audrey. “Aku tak akan emmbiarkanmu lolos.”
“Audrey!” panggil Caroline. Agdis itu mencabut pisau tersebut dari bahu Audrey.
“Aku tak apa-apa.” Mata Audrey berwarna biru. Tangannya pun bercahaya. Tampak jelas sebuah tongkat tapi bentuknya belum sempurna.
“Akan aku kirim kau tempat yang seharusnya, Varlos!” Audrey melayangkan tongkat itu, mengenai tapat di d**a Eugene. Tubuhnya pun teranngkat ke udara oleh cahaya biru.
“Nona, sekarang...!”
Pisau yang ada di tangan Caroline, di gunakananya untuk memotong telapak tangannya sedalam dua satu centimeter. Dengan bantuan darah gadis itu, formasi terbentuk sempurna.
“Ice Dragon. Aku memanggilmu!” Audrey menarik Caroline menjauh, sementara lingkaran sihir mulai berubah warna menjadi putih kebiruan. Muncullah naga putih yang melambangkan pelindung.
“Aku tak akan emmbiarkan kalian pergi!” Derich berusaha mencegah mereka, tapi dihadang oleh Keith.
“Lawanmu adalah aku!”
Terjadilah perkelahian antara mereka berdua. Kesempatan itu digunakan oleh Audrey untuk menarik naga putih agar segera keluar dari lingkaran sihir.
“Nona... kita naik.”
Caroline hanya mengangguk, menuruti perintah Audrey tanpa rasa curiga sedikitpun. “Aku akan minta penjelasanmu nanti.”
“Yang penting kita pergi dulu dari sini sebelum Eugene sadar.”
Naga itu terbang ke udara, meninggalkan perbatasan menuju ke Gunung Suci. Sementara Keith dan Derich terus saja berkelahi tanpa ada yang mau mengalah.
“Sialan! Kenapa kau membantu mereka? Dia penyihir.” Seharusnya Derich memenjarakan Audrey. Sayang sekali ia tak mengetahui kebenaran identitas gadis itu.
“Mereka sudah pergi, dan semua tujuanku tercapai.” Keith membuang sesuatu di tanah, sontak langsung berasap. Derich pun menutup kedua matanya sambil batuk-batuk.
“K...! Aku akan membunuhmu jika bertemu nanti.” Derich teriak dengan kencang, memenuhi hutan. Lagi dan lagi, ia harus kehilangan sesuatu yang berharga. Matanya pun beralih pandang ke Eugene yang masih mengambang di udara.
“bagaimana cara menurunkan Eugene dari sana.”
Lalu, apa yang terjadi pada Eugene. Karena Varlos di tekan oleh Audrey dengan sihirnya, tubuhnya menjaid terbelenggu kembali. Ingatan masa kecil pun muncul satu demi satu.
Dimana Eugene kecil selalu disiksa oleh raja terdahulu dan bahkan dikurung sampai beberapa hari, hanya karena wajahnya mirip dengan mendiang ratu.
“Kau layak mendapatkannya!” Suara itu terus terngiang di telinga Eugene sampai ia berteriak keras, untuk menampik masa lalu yang kelam.
“Aku harus mengambil tubuhmu kembali!” Varlos berupaya melepaskan belenggu yang mengikat jiwanya, tapi karena sihir Audrey semua usahanya sia-sia.
Cahaya biru itu pun masuk ke dalam jiwa Eugene, sontak matanya terbuka lebar. “Dan aku tak akan membiarkan itu semua terjadi.”
Bersambung