Setelah menyelesaikan segala perintah Keith, Caroline berakhir di bawah pohon beringin untuk menimati semilirnya angin yang berhembus. Sungguh berat menjadi pelayan, diperintah ini dan itu oleh majikan yang tak berperasaan.
Untungnya, Keith tak berbuat aneh-aneh, memilih segera pergi setelah selesai melakukan aktivitasnya. Dan sekarang, dia masih belum kembali ke mansion. Reta bilang kalau Keith ada urusan di daerah terpencil.
Karena tidak ada Keith, Caroline memutuskan untuk ke perpustakaan untuk menggali informasi tentang Jason. Sampai di ruang perpustakaan, gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tak ada orang sama sekali.
“Aman,” kata Caroline sambil membuka pintu, segera masuk dan menuju ke ruang rahasia. Gadis itu menatap seluruh ruangan, tampak sedikit berbeda dari sebelumnya. “Sepertinya ruangan ini selalu terpakai.”
Caroline menatap ke tumpukan buku yang ada di atas meja, terdapat beberapa desain bangunan. Dan juga gambar gedung-gedung modern. “Pasti ayah yang menggambarnya.” Mata gadis itu melirik ke arah buku kecil bersampul coklat yang terbuat dari kulit.
“Buku milik ayah!” pekiknya tertahan. Segera ia mengambil buku itu, tapi sayang buku tersebut terkunci sandi angka. “Kenapa harus rumit seperti ini?” Caroline memilih duduk di lantai, mengotak-atik buku itu.
Selama beberapa menit, ia berusaha memecahkan sandi tersebut. Mengingat kembali moment penting yang berhubungan dengan tanggal. “Ah... mungkin hari ketika mereka menikah.” Tapi hasilnya tetap nihil.
Berbagai angka telah dimasukan ke dalam sandi itu, kunci tidak terbuka sama sekali. Dari tanggal lahirnya, tanggal lahir Jason dan hari pernikahan mereka berdua. “Aku harus berpikir keras.”
Caroline berbaring dilantai, menatap langit ruangan yang terbuat dari kayu itu. Matanya pun beralih pada guci antik cukup mahal. Dalam hidup Jason, hal yang paling penting dalam hidupnya adalah keluarga.
Ketika Jason pamit pergi, dia memeluk Caroline dengan erat sambil menangis, berkata kalau akan mencari ibunya. Begitu sayangnya dia kepada sang istri, hingga air mata itu tak terbendung. “Hari dimana ayah pergi!” pekik Caroline langsung menggeser angka-angka yang bersangkutan. Akhirnya buku itu terbuka juga. “Hahahaha... aku jenius.” Gadis itu langsung membuka buku yang ada ditangannya dengan hati-hati.
Ketika membuka halaman pertama, tampak tulisan perjalanan Jason saat mencari keberadaan dunia paparel. Namun ketika hendak membuka lembar berikutnya, gadis itu mendengar langkah kaki seseroang.
“Kenapa selalu saja seperti ini?” Caroline menaruh buku itu kembali dalam keadaan terkunci. Aku tak bisa membawanya. Jika aku bawa maka Keith akan curiga.” Mau tak mau, ia bergeges keluar ruangan rahasia itu. Mengambil buku di rak dengan asal untuk dibaca, lalu ia berdiri di pojokan dengan tenang.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Keith dengan memasang wajah dinginnya.
“Seperti yang kau lihat, aku membaca buku,” jawab Caroline berusaha setenang mungkin. Jika ia sedikit goyah, Keith jelas akan curiga padanya.
“Jangan masuk ke sini tampa perintahku.” Keith merebut buku milik Caroline. “Ingat... kau hanya b***k yang naik kasta jadi pelayan.”
Ah, Caroline tak suka di diskriminasi seperti ini, seolah status adalah hal yang harus di junjung tinggi. Tidak ada HAM yang melindungi privasi dan keinginan manusia.
“Apakah kau selalu saja seperti ini? merasa kalau semua orang adalah k***********n,” kata Caroline menyesal karena pernah membela Keith di antara mereka bertiga.
Keith menarik dagu Caroline, “Hanya bangsawan yang memiliki kesejahteraan. Para rakyat biasa hanya bidak untuk kejayaan, terlebih lagi k***********n sepertimu.”
Caroline tersenyum, “Maka kau tak akan hidup bahagia, Tuan Keith Griffin.” Ia menepis pelan tangan Keith lalu menepuk bahunya. “Atau kau sengaja bermulut tajam. Siapa tahu bahwa kekejamanmu hanyalah kedok.”
Gadis itu pun meninggalkan Keith sendirian di perpustakaan. Setelah dia pergi, Keith malah tersenyum, “Instingnya benar-benar sangat bagus. Aku semakin yakin kalau dia adalah anak dari pria itu.”
Keith menatap buku atlas itu dengan seksama. “Rupanya dia sudah masuk ke dalam ruanganku.” Pria itu pun berdiri di depan rak tempat masuk ruang rahasia. “Aku ingin lihat, rencana apa yang dimiliki oleh Caroline.”
Tiba-tiba, Caroline bersin sebanyak tiga kali di depan Audrey. “Pasti ada orang yang memikirkanku.”
“Mungkin hanya perasaanmu saja, Nona.” Audrey merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil terus menghela nafas berulang kali. “Pekerjaan harri ini sungguh melelahkan.”
“Apakah kau menyesal ikut denganku?” tanya Caroline memastikan.
“Tentu saja tidak, Nona,” jawab gadis belia itu sambil duduk kembali. "Maafkan aku jika terlalu mengeluh.”
“Seharusnya aku membawamu ke tempat bagus.” Caroline merasa bersalah melihat Audrey yang ikut merasakan kesusahan.
“Dimanapun nona berada, maka di situlah tempatku. Aku tak akan meninggalkanmu.” Audrey memegang kedua tangan Caroline. “Justru aku sangat berterimakasih kepadamu, Nona.”
Caroline tak bisa menghadapi situasi yang mengharukan seperti ini. Jika mereka nanti berpisah, pasti akan ada rasa kesedihan yang mendalam. “Kenapa kau jadi melankolis seperti in, Drey?” Sungguh bertemu dengan gadis belia itu adalah anugerah terbesar dalam hidupnya.
“Aku merasa familiar denganmu, seperti kau saudaraku.” Ia menatap Audrey cukup lama. “Sudah... kita bahas rencana selanjutnya.”
“Apakah nona sudah mendapatkan petunjuk lagi?” tanya Audrey mulai pembicaraan mereka.
“Aku menemukan buku milik ayah. Belum sempat aku membaca halaman selanjutnya, ada yang datang. Kau tahu siapa yang datang. Keith! Dia perusak usahaku.” Caroline merasa kesal karena tak mendapatkan informasi apapun.
“Setidaknya ada titik terang mengenai ayah nona. Misalnya seperti petunjuk lain.” Audrey masih terus menatap Caroline.
“Aku harus datang ke perpustakaan malam ini untuk mencari tahu isi buku itu.” Caroline bangkit dari sofa dengan penuh semangat. “Aku harap nanti malam berjalan lancar.
Disisi lain, Rian berjalan menuju ke lorong sangat gelap. Pria itu hanya bisa mengandalkan pendnegarannya untuk berhati-hati dalam setiap langkah yang dilalui. Tidak jauh ia berjalan, ada cahaya yang tampak jelas.
“Sebentar lagi sampai.” Memang jalur rahasia sangat rumit seperti labirin, tapi jalur itu adalah jalur teraman. Ketika mendekti cahaya, Rian melihat Keith melalui celah udara, tepatnya di atas pintu sedang berdiri di depan lukisan seseorang.
Pria itu mengetuk pintu sebanyak tiga kali agar Keith mau membukanya dari dalam. Namun sayang dia tak bergerak sama sekali.
“Katakan saja dari sana. Aku malas beranjak dari tempat ini.” Keith terus menatap sosok Jason tanpa menoleh sedikitpun.
“Veto datang memberi perintah,” kata Rian to the point.
“Kau bisa melaksanakan perintahnya. Dia adalah salah satu pelanggan terkaya yang kita miliki.” Keith menutup lukisan itu dengan kain.
“Tuan,” panggil Rian dengan ragu. “Dia meminta anggur.”
“Siapa yang ingin dibunuh? Bukankah selama ini dia selalu meminta arak?” Keith penasaran dengan keinginan Veto.
“Dia ingin membunuh Caroline.” Rian diam setelah mengatakan hal itu, begitu juga Keith tak bergeming sama sekali. Keheningan itu terjadi dalam waktu yang cukup lama sampai Rian tak bisa berlama-lama berada di tempat gelap itu.
“Apa perintah Anda, Tuan?” Pemuda itu tak ingin bertindak gegabah.
“Sepertinya, Eugene yang meminta Veto melakukan hal ini. Dia menaruh dendam terhadap Caroline.” Jika Keith salah melangkah, maka nyawa Caroline dalam bahaya. Jalan satu-satunya adalah memenuhi permintaan Veto.
“Kirim surat kepada Veto, untuk misi anggur hanya bisa memberi sekarat.” Keith penuh pertimbangan dengan apa yang dilakukan.
“Mengerti, Tuan.” Hanya saja Rian tak menyangka kalau Keith akan melakukan kekejaman itu terhadap Caroline.
Sangat disayangkan, Caroline akan menderita dalam beberapa waktu ke depan. Keputusan tuan benar-benar di luar dugaanku.
bersambung