Bab 6

1172 Words
Nyonya Zumarnis alias Marni tengah duduk pada sofa di ruang tengah rumahnya. Di tangannya menggenggam gawai. Dia tampak sedang berbicara dengan seseorang. “Hans, apa semua berjalan lancar?” Salah satu kakinya menumpang. Tubuhnya bersandar santai. “Sudah, Ma! Andra sudah dipecat tanpa pesangon!” Terdengar suara dari seberang telepon menjawabnya. “Apa kamu tidak coba membujuknya Kembali?” “Sudah, Ma! Mama tahu sendiri ‘kan Andra gimana? Didikan Papa yang melekat dalam otaknya susah hilang! Dia tetap lebih memilih wanita itu!" “Lagi satu, Ma! Tadi Hans juga memintanya meninggalkan mobil yang dibeli pakai uang perusahaan! Jadi dia benar-benar tidak memiliki apapun sekarang!” Hans menyambung kembali kalimatnya. Marni menarik napas panjang. Ada perasaan bercampur baur di hatinya. Dia masih mendengarkan penuturan Hans---putra pertamanya dari balik telepon. “Hans juga sudah menyelipkan beberapa lembar foto wanita itu, sesuai yang sudah kita rencanakan kemarin!” ujarnya. “Apa kamu yakin semua rencana itu akan berhasil, Hans?” tanya Marni lagi. “Bersamaan dengan itu, Hans sudah mengirim wanita itu ke rumah Andra agar istrinya benar-benar yakin Ketika menemukan foto-foto itu ada di dalam tas suaminya!” jelas Hans lagi. Bunyi bell yang nyaring membuat wanita paruh baya itu menghentikan obrolannya. Dia mematikan gawai kemudian berjalan membuka pintu. Kebetulan Inah---sang ART sedang berbelanja bulanan ke minimarket. “Selamat siang, Nyonya!” “Selamat siang! Maaf cari siapa, ya?” “Betul dengan Nyonya Marni? Perkenalkan saya Sesil!” Marni menatap gadis muda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perutnya tampak membesar sepertinya gadis muda itu sedang hamil. Sesil Kembali menjelaskan maksud kedatangannya ke rumah itu. “Tuan Hans bilang, saya diminta ketemu Nyonya jika pekerjaan pertama saya sudah selesai! Untuk p********n berikutnya akan saya terima setelah semuanya beres!” jelasnya sambil tersenyum. “Oh, jadi kamu wanita itu? Kenapa kamu tertarik dengan pekerjaan seperti ini?” Marni mengangguk sambil menilik penampilan sang gadis yang tampak menawan meskipun sedang hamil. “Iya, Nyonya! Saya butuh uang untuk membesarkan anak saya kelak! Saya single parent!” jelasnya. “Tunggu di sini!” Marni meninggalkannya ke dalam. Kemudian diam-diam mengambil foto gadis itu dan mengklarifikasikannya pada Hans. Setelah yakin tidak ada kesalahan. Marni datang Kembali dengan satu amplop berisi uang. “Ambillah dan bersembunyilah hingga waktu kami nanti membutuhkanmu Kembali, pastikan kamu bisa dihubungi!” ujar Marni sambil menyodorkan amplop itu pada Sesil. “Terima kasih, Nyonya! Kalau begitu ... saya permisi dulu! Selamat siang, Nyonya!” Sesil memutar tubuhnya dan meninggalkan Marni. Marni bergegas Kembali masuk. Dia merasa cukup puas dengan kinerja putra pertamanya yang selalu memiliki ide cemerlang dan bisa diandalkan. *** Andra dan Tari sedang duduk saling terdiam. Sejak menemukan foto dari dalam tas suaminya mood Tari berubah drastis. Dia masih teringat bagaimana wanita hamil siang tadi terisak. “Jika kamu memang punya hati, Mbak … sesama wanita harusnya saling mengerti! Coba kalau kamu ada di posisi saya, Mbak … saya mohon tinggalkan dia demi anak dalam kandungan saya ini! Apa kata orang-orang jika bayi tak berdosa ini lahir tanpa seorang ayah! Tolong tinggalkan Bang Andra demi bayi tak berdosa ini, Mbak!” Masih terlintas jelas bagaimana wanita itu menangis dan mengiba. “Satu lagi Mbak, tolong jangan sampai Bang Andra tahu kalau saya datang ke sini! Dia pasti akan sangat marah sekali! Saya tidak mau bayi saya kenapa-kenapa! Kalau sampai bayi saya kenapa-kenapa … yang akan saya salahkan kamu, Mbak!” Kalimat yang membuatnya dilemma. Sesekali dia melirik ke arah sang suami yang tengah rebahan di depan televisi. Dia tampak sudah baik-baik saja sekarang setelah mendengarkan penjelasan panjang lebarnya tentang Michael. “Kamu dan dia kapan terakhir berhubungan?” Andra Kembali mengurai pertanyaan. Rupanya masih belum puas setelah mendengar semua penuturannya. “Sudah lama, sehari sebelum kamu menebusku dari Madame … dia berpamitan untuk dinas ke Amerika!” Tari masih menjawab pertanyaan-pertanyaan sang suami. “Kalian sedekat apa dulu? Kenapa dia sampai mencari-cari kamu ke dunia nyata seperti kemarin?” selidiknya. Hastari menarik napas. Pikirannya yang carut marut karena wanita itu beralih pada sosok jangkung berhidung mancung. Michael---entah harus apa dia menyebutnya. Lelaki itu hampir setiap hari mengunjungi tempat itu hanya untuk bertemu dengannya. “Seperti hubungan tamu dan pelanggannya!” ujar Tari lagi tampak enggan. Baginya masa lalu itu sudah hendak di kubur dalam-dalam. Setiap mengingatnya sungguh menyayat perasaannya. “Kenapa dia bertanya tentang lelaki itu dan ditujukan padaku?” selidik Andra. Tatapannya tetap fokus pada televisi yang ada di depannya. Meskipun telinganya tengah mendengarkan jawaban-jawaban sang istri. “Karena aku menolaknya dengan alasan sudah memiliki kekasih!” ujar Tari lagi. Andra memutar posisi tidurnya menjadi menyamping menatap Tari yang tengah duduk di sebelahnya. “Dia mengajak kamu menikah?” Andra Kembali memburunya dengan pertanyaan. Tari menggeleng. “Dia mengajakku berhubungan tanpa ikatan! Aku menolaknya dengan alasan itu!” Tari menunduk. “Memangnya kamu sudah tahu aku waktu itu? Bukankah kita hanya bertemu sekali waktu acara perayaan ulang tahun perusahaan! Itu pun sudah lama sekali?” Andra menatap mencari kebenaran dari sang istri. “Mas, kamu lupa sering sekali memberiku sesuatu diam-diam! Motor tuaku dulu jadi saksi perbuatanmu, Mas!” Andra tampak terkejut. Dia bahkan langsung mengubah posisinya menjadi duduk. “Apa kamu mengetahui semuanya?” Andra menatap sang istri kali ini. Tari mengangguk. “Kenapa kamu tidak mencariku waktu itu?” tanyanya Kembali. Tari menarik napas panjang. “Aku tidak tahu apa maksud kamu selama itu, Mas! Mungkin kamu cuma kasihan saja karena aku miskin! Ayahku sudah sakit parah dan harus di operasi! Hanya aku anaknya satu-satunya! Aku tidak tahu jika kebaikan yang dia tawarkan ternyata tidak tulus! Hanya sebatas uang dan keuntungan! Apa aku salah tidak mencarimu?” Suaranya gemetar dan berat. Setiap pertanyaan yang terlontar seolah membuka luka hatinya Kembali. Andai boleh memilih untuk hilang ingatan, bagi Tari itu lebih baik. Namun demi mengembalikan kepercayaan sang suami, mau tidak mau dia harus menceritakan semua itu kembali. Ada cairan bening tiba-tiba menetes pada sudut netranya. Andra menghapusnya dengan jemarinya. Dia mengusap pucuk kepala Tari dengan lembut. “Sudah, jangan menangis lagi! Ada aku yang akan selalu menjagamu mulai saat ini! Tolong jangan ada yang disembunyikan lagi dariku! Aku hanya tidak suka melihat cara dia menatapmu kemarin! Dan aku tidak suka ada lelaki lain yang dekat denganmu!" ucapnya sambil mencakup pipi sang istri dengan kedua tangannya. Tari mengangguk. Dengan ragu dia menatap wajah sang suami yang berjarak beberapa senti saja darinya. “Mas, kita memang sudah menikah … tapi aku pun belum mengenalmu banyak, apalagi tentang masa lalumu! Hmmm … apa aku boleh tahu sesuatu tentang masa lalu kamu?” tanyanya. Andra tersenyum. Dia ikut berselonjor dengan kedua tangan menopang tubuhnya ke belakang. “Mau tanya apa?” “Apa kamu dulu punya pacar?” “Punya!” “Berapa?” “Hmmm … dua tapi tidak serius!” “Siapa saja namanya?” “Harus sedetail itu?” “Iya!” “Yang pertama Renata!” “Yang kedua?” “Sesil!” DEG Belum apa-apa hati Tari sudah terasa nyeri. Berarti wanita itu tidak mengada-ada. Bahkan suaminya sendiri pun mengakui pernah ada hubungan dengan wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD