Bab 5

1118 Words
Hastari tersandar lemas pada sofa. Sepeninggal wanita itu, pikirannya seakan carut marut. Terlebih wanita itu menunjukkan beberapa foto kebersamaannya dengan sang suami. Memang sangat jelas juga itu adalah foto Andra sewaktu kuliah dulu. Namun apakah benar Andra bisa berbuat serendah itu? Menghamili seorang wanita kemudian meninggalkannya? Hastari teringat betul sosok Andra yang kalem, santun dan tampan itu dengan gaya khasnya waktu kuliah dulu. Mereka kuliah dalam satu kampus yang sama tapi beda tingkatan. Pada waktu Hastari naik ke semester tiga, Andra sudah berada pada semester akhir kuliahnya. “Tari, ayo ikut!” Rara menarik tangannya yang sedang menawarkan jualan online pada teman sekelasnya. “Kemana, Ra?” Hastari bertanya sambil membereskan aksesoris gawai yang tadi dia hamparkan di meja. “Udah gak usah beresin dulu, nanti keburu motor kamu di apa-apain!” ucap Rara. “Eh, motor aku? Emang ada maling yang mau ngambil motor butut kayak gitu?” tanya Hastari, tapi tangannya tetap sibuk memindahkan semua aksesoris gawai yang tadi dia hamparkan ke dalam tas gendong yang selalu dibawanya. “Ayo, ih! Cepetan!” Rara tampak tidak sabar. “Iya, bentar!” ujar Hastari. Tari bergegas mengikuti Rara menuju parkiran. “Alhamdulilah, Ra … tuh, motorku masih ada! Kamu salah lihat kali!” ucap Tari dengan mata berbinar. “Mana ada aku salah lihat, orang motor kamu kalau parkir pasti di pojok terpisah sendiri … udah kayak anak ilang!” ujarnya tak terima disebut salah lihat oleh temannya. “Tadi tuh ada cowok di sini, Ri! Sumpah aku gak bohong!” ujar Rara. Hastari berjalan mendekat pada sepeda motor tuanya. Sepeda motor yang susah payah dibelikan oleh sang ayah hanya demi agar dia bisa berangkat menimba ilmu. “Apa ini?” Tari mengambil satu buah plastik hitam yang menggantung di sepeda motornya. Rara berjalan cepat menghampiri dan turut menengok ke dalam plastik yang sedang dibuka Tari. “Coba buka, Ri!” Rara sangat bersemangat ketika tampak di dalamnya ada sebuah benda berbentuk kotak persegi panjang. Hastari dengan ragu membuka kotak yang diikat pita pink itu. “Wah! Cokelat, Ri! Ini sih cokelat dengan kualitas premium!” Rara mengambil satu batang cokelat yang ada di dalam kotak persegi itu. Masih ada beberapa lagi di sana. “Siapa ya, Ra yang nyimpen ini di sini?” Tari tampak bingung. Rara pun turut mengerutkan dahi mencoba menganalisa dan menyimpulkan apa yang telah terjadi dengan sahabatnya ini. “Mungkin cowok itu naksir kamu, Ri! Tapi dia mau sok romantis gitu ala-ala secret admirer gitu lah!” ujar Rara sambil hendak memasukan cokelat itu ke dalam saku kemejanya. Tari secepat kilat mengambil cokelat itu dari tangan sahabatnya. “Jangan maen ambil dulu, siapa tau cuma salah simpen! Sini rapiin lagi!” Tari menyimpannya kembali ke tempat semula. “Yah, gak seru ah!” cebik Rara kesal. “Udah, ayo balik kelas! Aku mau lanjutin jualan!” ucap Tari. “Ke kelas tuh belajar, bukan jualan!” ujar Rara mencebik lagi, tapi tetap mengekori langkah sahabatnya itu kembali ke dalam kelas. Sejak hari itu, Tari sering sekali mendapati barang-barang sudah tergantung pada sepeda motornya. Kadang cokelat, kadang camilan, kadang bunga. Kadang dalam paper bag yang bagus, tapi sering juga hanya keresek hitam yang jadi pembungkusnya. Memang tidak setiap hari, tapi sangat sering dan dia belum bisa menemukan pelakunya. Hingga pada suatu hari, dia menatap seorang lelaki sedang berjalan santai di area parkiran. Di tangannya menenteng sebuah paper bag. Benar saja, lelaki itu menyimpan barang bawaannya pada sepeda motornya. Sejak saat itulah Tari mulai mencari tahu dalam diam siapa dia? Gunandra Herlambang dialah lelaki yang suka menyimpan barang-barang mahal itu diam-diam dengan maksud dan tujuan yang belum diketahui dengan jelas. Setelah dicari tahu ternyata lelaki bernama Gunandra Herlambang itu ialah putra dari Tuan Herlambang dengan Nona Zumarnis yang memiliki sebuah perusahaan yang cukup besar, tempat di mana ayah Tari dulu bekerja sebagai cleaning service. Baru saja beberapa minggu Tari mengetahui semuanya. Dan diam-diam dia mengagumi sang pemilik paras rupawan tersebut, tapi takdir tidak memberikan kesempatan untuknya mengenal lelaki itu. Sebuah keadaan yang membuatnya harus menghapus semua mimpinya untuk kuliah hingga selesai. Sebuah kehidupan mengerikan yang akhirnya membuat dia hampir kehilangan kehormatan dirinya. Tari menarik napas panjang. Pahit getir dunia yang menurutnya adalah dunia hitam itu menyisakan bekas mendalam di kehidupannya. Di mana semua orang akhirnya memandangnya rendah dan menganggapnya bukan wanita baik-baik. “Ah, kehidupan itu sudah selesai, tapi hati ini masih selalu ngilu saat mengingatnya …,” gumamnya dalam d**a. Tari memejamkan mata, berulang-ulang untuk mengusir semua bayangan yang kembali menghantui pikirannya. “Assalamu’alaikum!” Suara salam bersama daun pintu yang perlahan terbuka membuat seluruh kesadarannya berkumpul kembali. Tari bangkit dan menghampiri sang suami yang baru saja tiba. “Wa’alaikumsalam!” Tari menghampiri Andra dan meraih tangannya. Kemudian membawakan tas kerja ke kamar. Setelah itu dia kembali menghampiri sang suami yang tampak penat dan kelelahan. “Mas, kok aku gak denger suara mobilnya? Aku sampai terkejut tadi ada yang buka pintu!” Tari mencoba berbicara dan bersikap seperti biasa. Meskipun sejak malam Andra mendiamkannya, serta pikirannya masih tak karuan sejak kedatangan wanita hamil tadi. Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Senyum yang sejak malam tadi menghilang itu sudah kembali. “Mobil itu dibeli pakai uang perusahaan, jadi Mas kembalikan!” ujar Andra. “Oh, gitu!” ujar Tari sambil kembali menjatuhkan pantatnya pada sofa. “Iya, Sayang!” ujar Andra sambil ikut duduk pada sofa yang berseberangan dengan sang istri. Dia memejamkan mata, tubuh lemasnya dia sandarkan pada sofa. Kedua tangan memijit pelipisnya. “Mas, capek banget! Sini biar aku pijitin!” ujar Tari sambil berjalan dan pindah pada sofa di samping sang suami. Dia tidak hendak bertanya sekarang. Tari bermaksud menyelidikinya dulu diam-diam. Andra membiarkan tangan lembut sang istri memijat pelipis dan kepalanya yang terasa berat. Berat dengan semua problematika yang dia hadapi saat ini. “Mas, udah gak marah sama aku?” tanya Tari. Kali ini tangannya berpindah memijat pada bagian bahu. Andra tampak mengulas senyum. “Mas gak marah, Sayang!” ujar Andra sambil sekilas menatap wajah sang istri yang duduk di sampingnya. “Kalau gak marah, kenapa dari semalem diam?” Tari kembali bertanya. “Mas diam, hanya karena takut kebawa emosi atas perasaan Mas sendiri!” ujarnya. “Apa aku boleh cerita sekarang, Mas?” tanya Tari hendak menjelaskan semuanya pada Andra. Pastinya tentang lelaki itu. “Mas mandi dulu kalau gitu! Nanti biar ceritanya santai sambil rebahan!” ujarnya sambil beringsut berdiri. Tari mengangguk. Kemudian mengikutinya ke kamar untuk menyiapkan pakaian ganti. Tari melihat gawainya yang batternya hampir habis. Sementara itu, charger miliknya ada di ruang tengah hingga akhirnya dia lebih memilih mencari charger milik Andra pada tas kerjanya. Namun matanya membulat ketika mendapati beberapa lembar foto terselip di sana. “W-wanita ini ‘kan?” ucapnya terbata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD