Belum apa-apa hati Tari sudah terasa nyeri. Berarti wanita itu tidak mengada-ada. Bahkan suaminya sendiri pun mengakui pernah ada hubungan dengan wanita itu.
“Kenapa diam?”
Andra memperhatikan raut wajah istrinya yang tiba-tiba berubah. Wanita itu menggeleng. Ada tetesan bening yang berjatuhan di pipinya.
“Aku mau ke kamar dulu … capek, Mas!” Wanita itu beringsut berdiri meninggalkan suaminya.
“Sayang!”
Andra memanggilnya, tetapi Tari tidak lagi menoleh dan langsung menghilang dibalik pintu kamar. Andra tepekur sendirian.
“Ada apa dengan Tari? Kenapa dia seperti itu?” pikirnya sambil mengernyit dan memikirkan semua kesalahan yang mungkin dia tidak sengaja lakukan.
Namun semua beban dan kelelahan yang bertubi-tubi datang. Membuatnya terlelap perlahan. Matanya terkatup meninggalkan kesadaran. Andra tertidur di sana.
***
Meskipun Tari masih tidak seceria biasanya. Andra tetap berlaku lembut pada sang istri. Baginya Tari adalah segalanya.
Hari itu mereka makan shahur dalam diam. Hanya dentingan sendok dan suara televisi yang mendominasi. Sesekali Andra hanya menoleh pada Tari yang masih terdiam. Sikapnya berubah sejak percakapannya sore tadi.
“Sayang, hari ini Mas akan mulai cari pekerjaan!” tutur Andra.
Tari menoleh kemudian mengangguk.
“Iya, Mas!” ujar Tari.
“Tapi kita gak punya kendaraan sekarang, Sayang! Mas mau pakai uang simpanan kita dulu buat beli kendaraan … motor tua juga gak apa-apa … yang penting bisa lebih hemat ongkos! Tanpa surat keterangan kerja, mungkin agak berat untuk bersaing mendapatkan level ini kembali!” ujar Andra.
Tari menatap sang suami. Ada perasaan bersalah di hatinya karena sejak semalam dia mendiamkannya. Namun dia sendiri masih bingung dengan semua pergulatan batinnya saat ini.
Tari merasa dia hanya butuh waktu untuk mencerna semua kejadian itu dengan tenang. Karenanya dia belum mau buka suara, takut terpancing emosi dan tidak bisa mengendalikan diri. Bagaimana kalau tuduhan itu benar, itu yang dia takutkan sekarang. Bagaimana pun hati kecilnya takut jika kalimat Andra selanjutnya berisi pengakuan.
“Bagaimana jika Sesil itu memang benar hamil anak dari Mas Andra?”
“Bagaimana jika benar Mas Andra meninggalkan wanita itu demi aku?”
“Mungkin dulu Mas Andra memperhatikanku dalam diam karena memang sudah punya pacar?”
“Bagaimana kalau Andra memaksaku untuk menerima kehadiran madu di rumah ini?”
“Bagaimana kalau memang ada sisi lain dari Mas Andra yang memang aku belum ketahui?”
“Bagaimana … Bagaimana … Bagaimana ….”
Suara sang suami kembali membuyarkan rangkaian pengandaian yang memenuhi kepalanya.
“Sayang?” Andra menepuk punggung tangan sang istri.
“Iy-iya, Mas!” Tari menyahut kemudian menoleh.
Diteguknya segelas air bening sebagai penutup hidangan sahurnya kali ini.
“Kamu mikirin apa, sih?” telisik Andra.
“Eng-engga, kok, Mas!” kilahnya.
“Gimana, kamu setuju gak kalau kita beli sepeda motor bekas saja dulu? Nanti kalau Mas udah kerja baru kita beli sepeda motor yang bagus!” ujar Andra lagi.
“Iya, Mas! Aku setuju! Nanti siang aku transfer ke kamu, ya uangnya!” ujar Tari.
“Makasih, ya, Sayang! Maaf kalau Mas malah mengajakmu hidup susah!” ucapnya sambil mengusap lembut pipi sang istri.
"Hari ini, Mas naik angkutan umum dulu saja, gak betah kelamaan di rumah sambil cari sepeda motor yang harganya pas," ujar Andra.
Tari hanya membalas dengan senyum dan anggukan.
***
Tetesan keringatnya memenuhi dahi. Udara panas dan harus turun naik angkutan membuatnya benar-benar membuatnya seakan hendak dehidrasi. Niat awal hendak membeli motor, tapi sayang belum menemukan harga yang sesuai kantong. Ada yang harga cocok, tapi sepeda motornya tampak sudah hidup segan mati tak mau. Namun Andra tetap teguh untuk menjaga puasanya hingga petang nanti.
Selain mengirimkan lamaran-lamaran via email. Andra bermaksud menemui beberapa rekan kuliah yang sudah pernah menjadi partner bisnisnya dulu. Berharap ada pekerjaan yang bisa dia dapatkan.
“Selamat siang, Pak!” Andra menyapa security yang tengah berjaga.
“Siang!” Lelaki berseragam itu mengangguk sopan.
“Saya Andra, bisa ketemu dengan Pak Hengki, Pak?” tutur Andra.
“Keperluannya untuk?” tanya security tersebut.
“Masalah pekerjaan, Pak!” ujar Andra.
“Baik, tunggu sebentar!”
Security itu kembali ke dalam pos jaga. Tampak dia mengangkat gagang telepon dan berbicara dengan seseorang. Tidak lama kemudian dia keluar lagi.
“Maaf, Pak! Pak Hengkinya sedang ada meeting! Mungkin lain kali bisa datang lagi!” ujar security itu sopan.
“Baik, Pak … terima kasih!” ujar Andra sambil mohon diri.
Dia kembali mencegat angkutan umum. Pikirannya kembali mengingt-ingat orang yang pernah dekat dan berpartner dengannya. Tujuan kali ini yaitu kantor Ferdi. Letaknya hanya setengah jam dari kantor Hengki.
Angkutan yang ditumpanginya menepi. Dia merogoh saku dan mengeluarkan beberapa lembar uang receh untuk membayar ongkos. Turun naik angkutan umum ternyata selain menyita waktu, menyita kenyamanan tapi juga menguras keuangan.
Hal yang sama dilakukannya kembali. Menunggu beberapa saat hingga security kembali mengkonfirmasi.
“Maaf, Pak! Kata sekretarisnya … Pak Ferdi sedang pergi ke luar kantor!” ujar security itu tampak segan.
“Baik, Pak … terima kasih kalau gitu!” ucap Andra.
Matahari yang panas tidak dihiraukan. Andra masih menuju satu tempat lagi. Dalam hatinya berdoa semoga rekannya yang satu ini bisa ditemui.
Andra turun di sebuah bangunan berlantai yang menjulang. Di sini adalah salah satu komplek perkantoran. Kali ini Asril yang akan dia temui.
“Silakan, Pak! Kebetulan Pak Asrilnya ada dan baru selesai meeting!” ujar security.
Senyum Andra mengembang. Rasa lelah, lapar dan haus mendadak seolah hilang. Besar harapannya Asril dapat membantunya. Karena dulu waktu perusahaan Asril kesusahan, Andra turut serta memberinya solusi. Meski masih menyandang nama di perusahaan keluarganya yang lama.
Andra masuk ke lobi. Dinginnya AC sedikit memberinya tenaga baru. Dia berjalan menghampiri resepsionist.
“Mbak, saya mau ketemu Pak Asril!” ujar Andra.
Gadis dengan seragam tosca itu dengan cekatan mengangkat gagang telepon. Dia berbicara sebentar. Kemudian berdiri dan mengantar Andra ke ruangan Asril.
Langkah Andra terasa lebih ringan sekarang. Dia sudah tidak sabar ingin mengabarkan pada Tari jika dia sudah mendapat pekerjaan lagi.
Namun ketika pintu kaca diketuk, wajah Andra terasa memanas menatap seseorang yang sedang bersama Asril di sana.