Permulaan

1268 Words
Acara pernikahan berakhir lancar tanpa ada kendala sedikitpun. Semua administrasi pernikahan sudah diselesaikan dengan baik. Meski ada perasaan yang mengganjal dalam diri Alaric, dia tetap mau melakukannya hingga benar-benar selesai. Hal ini membuat perasaan keduaorangtuanya lega. Tidak terkecuali Rania. Walaupun dia tahu rumah tangganya nanti tidak akan indah, tapi dia sangat senang karena dinikahi pria yang dia cinta. Malamnya, keluarga Damian dan kerabat dekatnya memilih hotel berbintang untuk menginap. Mereka berencana akan kembali ke Jakarta keesokan harinya. Rania dan Alaric tidak saling bicara selama perjalanan menuju kamar hotel. Rania juga tampaknya tidak mau mencoba menegur suaminya karena setelah pernikahan selesai, raut wajah Alaric sama sekali tidak menunjukkan keceriaan. Setiba di kamar saja, Alaric langsung melangkah cepat menuju balkon luar kamar hotel dan duduk di sana. "Maaf, Alea. Aku baru bisa menghubungimu sekarang," ujar Alaric dengan napas yang masih memburu. "Di mana dia? Kamu sekamar dengannya?" "I ... i, iya ... dia di dalam. Aku di luar balkon kamar," Terdengar hempasan napas dari ujung sana. "Kenapa kamu nggak mesan kamar terpisah, Ric?" "Mana mungkin aku pesan kamar terpisah. Ada keluargaku juga di sini. Hanya satu malam. Dia cukup tau diri kok. Dia langsung istirahat di kasur sebelah," "Jadi besok pulang kan?" "Iya, Sayang. Besok, tapi...." "Tapi apa?" "Aku harus mampir sebentar ke rumah Mami," "Untuk apa?" "Hanya sebentar. Mami menyuruhku," Terdengar lagi hempasan napas Alea. "Ric," "Iya, Al," "Aku rindu kamu," Alaric memejamkan matanya sambil menggigit getir bibirnya. Suara Alea terdengar sangat sendu di telinganya. "Aku juga," ucapnya. "Kamu janji cuti nikah sama aku kan? Bukan sama dia," "Iya. Sama kamu," "Seminggu di Lombok," "Iya," Lalu terdengar isak tangis Alea. "Alea ... jangan menangis. Yang penting satu langkah sudah aku lewati demi kebahagiaan kita berdua," "Sakit, Ric," Alaric menghela napas berat. "Iya. Aku tau, sabarlah. Kita harus menjalaninya. Sudah aku bilang ... hanya berupa catatan, hatiku cuma ada kamu, kita pasti terus bersama selamanya," Alaric lirik ke arah dalam kamarnya. Sepertinya Rania sudah tertidur lelap. Tubuh Rania meringkuk di atas kasur single yang cukup berjarak dari kasur utama. Sepertinya Rania enggan menukar pakaiannya dengan pakaian tidur. Tubuhnya masih terbungkus pakaian saat perjalanan menuju hotel. *** Tidak banyak yang diucapkan Nirmala kepada menantunya saat melepasnya pulang bersama putranya. Sambil menyerahkan sebuah kartu berisi sejumlah uang, hanya ucapan sabar yang ke luar dari mulutnya. Rania balas dengan anggukkan dan wajah ceria. Dia tahu apa yang dikhawatirkan Mami mertuanya. Tidak mudah menikah dengan seorang laki-laki yang sudah memiliki cinta yang lain. "Maaf jika Mami terlalu banyak berharap. Semoga kamu bisa luluhkan hati masmu. Tolong bertahan...," mohon Nirmala hingga tubuhnya tertunduk di hadapan Rania. Rania dengan cepat menaikkan tubuh Mami mertuanya. "Jangan begini, Mami. Aku akan berusaha. Berapa lamapun, aku akan mematuhinya," ucap Rania tegar. Dia menoleh ke arah suaminya yang sudah berada di dalam mobil sport mewahnya. Tak lama kemudian, terdengar bunyi klakson mobil, pertanda Rania sudah harus pergi dari rumah mertuanya. Rania tidak lupa mencium punggung tangan Nirmala serta memeluknya erat. _____ "Jangan harap pernikahan ini sama dengan pernikahan orang-orang pada umumnya. Tidak akan ada malam pertama, bulan madu, apalagi sekamar berdua. Aku tidak mencintaimu sama sekali," ucap Alaric dengan wajah datar saat perjalanan pulang. "Baik, Mas. Aku mengerti," "Jangan sok merendah. Aku nggak tau apa yang ada di dalam pikiran kamu," Rania menelan ludahnya. Ternyata mulut Alaric sangatlah tajam. "Iya, Mas," Alaric melirik wajah Rania yang tatapannya kosong ke depan kaca mobil. "Aku harap kamu bisa aku percaya untuk tidak menggangguku," Rania mengangguk pelan. Tampak kepasrahan dan kecemasan dari wajah Rania selama perjalanan menuju rumah Alaric yang berada di komplek perumahan mewah Bintaro. Jantungnya berpacu tak karu-karuan. Semula dia menduga akan dengan mudah menghadapi pernikahannya. Setelah mendengar secara langsung ucapan pedas dari mulut Alaric, sepertinya hati dan perasaannya akan terus terluka hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Terbersit di benaknya ingin segera berakhir, rasanya terlalu dini. Dia baru saja menikah dan belum mengenal suami dan kehidupannya. Rania melirik sebentar ke arah Alaric yang fokus menyetir. Entah kenapa dia mendapatkan sedikit energi untuk tetap menjalani pernikahannya, apapun keadannya. _____ Rania terkagum-kagum melihat megahnya kediaman Alaric. Pekarangan depannya yang cukup luas dihiasi taman indah. Rania juga terkaget-kaget saat mobil yang dikendarai Alaric memasuki sebuah garasi yang berada di sisi gedung rumah. Ada lima mobil dan tiga motor mewah yang terparkir di dalamnya. Tiba-tiba Rania ingat motor kecilnya yang ada di rumahnya di Bandung. Rania menyesalkan tidak membawanya serta. Pasti akan menyenangkan berkeliling kota Jakarta dengan motor kecilnya itu. Kekaguman Rania tidak berhenti hingga memasuki ke bagian dalam rumah. Perabot-perabot mahal modern yang tertata rapi di atas lantai yang bersih mengkilap. Ada juga karpet persia mahal terbentang, membuat mata tidak akan pernah bosan memandangnya. "Kamu tanyakan kamar sama Bu Narti. Dia sudah aku pesankan untuk mempersiapkan kamar yang cocok buat kamu," ujar Alaric membuyarkan lamunan Rania. "Baik, Mas. Hm, Bu Nartinya di mana?" tanya Rania pelan. "Nanti aku panggilkan," Tampaknya Alaric mulai melunak. Sikapnya tidak segarang sebelumnya. Dia merasa Rania bisa diajak bekerja sama. Tak lama kemudian, muncul seorang ibu setengah baya berjalan tergopoh-gopoh menuju Alaric dan Rania. Dia langsung menyambar tas yang dipegang Alaric tanpa menoleh ke arah Rania. "Apa kabar, Pak Alaric?" tanyanya dengan wajah sumringah. "Baik," Alaric pun melangkah menuju sebuah tangga. Sementara Bu Narti sudah melesat menaiki tangga dengan membawa tas Alaric. "Mas. Tunggu sebentar," seru Rania tiba-tiba. Alaric menghentikan langkahnya. "Hm, apa aku boleh jalan-jalan ke luar komplek perumahan?" tanya Rania hati-hati. Alaric menghela napas panjang. Pandangannya lurus ke depan. Seperti ada yang terlintas di benaknya barusan. "Terserah. Tapi ingat jangan ikut ngobrol-ngobrol sama tetangga. Kalo mereka nanya, kamu boleh bilang apa saja status kamu di rumah ini selain istri," Rania terperangah. Tapi begitu dia menyadari sesuatu, dia pun mengangguk setelahnya. Rania lagi-lagi menghela napas panjang. Dia edarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang utama rumah Alaric dengan perasaan nelangsa, sambil sibuk berpikir apa yang harus dia jawab jika ada yang menanyakannya. "Bilang aja pembantu baru. Gitu aja dipikirin," Rania terkejut. Bu Narti sudah berada di sampingnya. Sepertinya Bu Narti sudah mendengar percakapan antara dirinya dan Alaric barusan. Bu Narti lalu mengajak Rania menuju kamar yang dia akan tinggali selama berada di rumah suaminya. Dia hanya mengarahkan dan memberi kunci kamar tanpa memperdulikan tas-tas besar yang Rania bawa. Ternyata kamar Rania berada di ujung ruang depan, tepat di sebelah toilet khusus para tamu. Sebuah kamar berukuran kecil lagi sempit. Ada sebuah dipan berkasur busa tipis, serta sebuah lemari pakaian yang tak layak pakai. Rania meneguk ludahnya kelu. Saat pandangannya tertuju ke lantai kamar yang penuh debu dan pasir. "Di sini kamar kamu," decak Bu Narti dengan pandangan sinis. "Kamu bersihkan sendiri. Alat-alat bersih ada di dalam kamar mandi," lanjutnya kemudian. Rania mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu," ucapnya. Lalu melangkah menuju dalam kamar dengan perasaan sendu. Tak lama kemudian, pintu kamar ditutup Bu Narti dari luar. Rania duduk di tepi dipan. Ada bunyi derit terdengar saat dia duduki. Sepertinya kamar ini sudah lama sekali tidak diperhatikan. Baunya saja tidak enak sama sekali. Rania edarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar kecilnya yang sangat bertolak belakang dengan keadaan rumah Alaric. Tiba-tiba wajahnya berubah hangat saat pandangannya tertuju ke sebuah pintu kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. "Besok saja aku bersihkan kamar ini," gumam Rania dalam hati. Dia mengingat kata-kata Bu Narti bahwa ada alat-alat kebersihan di dalam kamar mandi tersebut. Rania beranjak dari duduknya, mendekati sebuah koper berukuran cukup besar. Rania raih sebuah selimut tipis dari dalam kopernya dan membentangkannya di atas kasur tipisnya. Rania ambil tas kecilnya dan meletakkannya di atas kasur sebagai penyanggah kepalanya, karena tidak ada bantal di atasnya. Rania rebahkan tubuhnya dengan posisi meringkuk. Matanya dia pejamkan sambil memikirkan apa yang akan dia lakukan esok hari. _____
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD