Bab 4

1336 Words
"Iya, istri Anda hamil. Usia kandungannya jalan 4 minggu." Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang ditelinganya, sampai beberapa menit kemudian ia tersadar lalu memandang wajah pucat Niara. Baru satu bulan dia tak melihat wanita ini, tapi tubuhnya terlihat sekali berbeda. Wajahnya terlihat tirus, bibirnya pucat, dibawah matanya pun terlihat lingkaran hitam. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Niara seketika bangun dari tidurnya, karena sampai di klinik dia tertidur. Kenan juga tidak habis pikir dengan kelakuan Niara. Bekerja terlalu keras kah sehingga wanita itu kelelahan, bahkan ia masih mengingat jika kandungan Niara lemah karena aktifitas sang ibu yang terlalu di forsir. "Kita menikah." Alis Niara menyatu mendengar perkataan Kenan. "Lo mabuk, ya?" Niara mendengus kemudian mencoba untuk bangun, Kenan berusaha untuk membantunya namun ditepis oleh Niara. "Nggak usah pegang-pegang, bukan muhrim." Setelah Niara bisa duduk, wanita itu kemudian mulai untuk turun namun dicegah Kenan. "Apasih! Gue mau pulang!" "Siapa yang menyuruhmu pulang?!" Niara yang masih duduk di atas ranjang mendelik. "Mas Kenan, gue mau pulang. Ngapain lama-lama di sini, bikin stress aja." "Nggak, saya nggak akan biarin kamu pulang sebelum dokter kasih izin." "Apaan sih, lebay banget. Gue cuman kelelahan aja," "Kamu hamil!" Perkataan Kenan membuat Niara mematung, apa pria di depannya itu sedang membuat lelucon? Mana ada dia hamil, jika dirinya kini sedang datang bulan. "Ckckck Mas Ken, Mas Ken. Mas Kenan ngelucu yah? Mana mungkun gue hamil, orang bulan kemarin aja gue haid." "Apa wajah saya sedang melucu?" Niara diam, apa yang dikatakan Kenan benar? Tapi masa iya dia hamil? "Kamu masih tidak percaya?!" "Tentu saja! Mana mungkin gue hamil!" "Kalau kamu tidak percaya, silakan kamu tanyakan nanti." Dan setelah perkataan itu, Niara benar-benar terdiam. Otaknya seketika blank, masih mencerna setiap perkataan dari Kenan. Niara yang melamun tidak menyadari jika seorang pria berjas putih masuk ke dalam ruangannya. "Bagaimana Bu, apa masih lemas?" Pertanyaan itu menyadarkan Niara dari lamunannya. "Umm yah, sedikit." "Saya cek dulu yah, Bu." Niara mengangguk kemudian kembali berbaring. Pria seumuran Alan itu mulai memeriksanya. "Semuanya tidak ada masalah, Ibu bisa kembali ke rumah." "Emm apa ... Apa saya benar-benar hamil?" Pria berjas itu tersenyum lembut. "Benar, usia kandungannya jalan 4 minggu," Dan jawaban yang tidak ingin Niara dengar itu membuatnya lemas. "Saya sudah menuliskan resepnya, Bapak bisa membeli vitaminnya di apotik." Kenan mengangguk sambil mengambil sebuah kertas yang berisi resep vitamin. Setelah mengucapkan beberapa kata untuk Niara dan dirinya patuhi, pria muda berjas itu pergi meninggalkan calon orangtua tersebut. Pikiran Niara benar-benar buntu, dia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. "Kau bisa berjalan?" Niara mendelik mendengar pertanyaan Kenan. Bukannya membalas, Niara malah turun dari ranjang, dengan langkah pelan ia mengambil tas kerjanya. Lalu mulai memakai sepatu tingginya, namun belum juga selesai memakai sepatu. Kenan malah menukar sepatu tersebut dengan sandal rumahan. "Pakai itu." Niara menganga tak percaya dengan sikap Kenan yang sekarang mulai mengaturnya. "Mas Ken, lo gila yah! Yang bener aja dong, gue pake sendal keteplek gini?!" "Saya tidak mau dengar, sepatu tinggi tidak baik bagi ibu hamil. Kamu harus mulai memperhatikan dari sekarang, saya akan melarang kamu memakai sepatu seperti ini!" Niara melotot mendengar titahan Kenan. Pria di depannya itu benar-benar sudah gila. "Mas Kenan apaan sih! Kenapa sekarang jadi ngatur-ngatur gue?!" Seru Niara kesal. "Ini untuk kebaikan kalian berdua, bagaimana kalau kamu terjatuh hah?!" "Ya jatoh ke bawah lah, masa ke atas." "Ara!" "Apasih! Lagian aku masih nggak percaya kalau aku hamil." Kenan mengambil sebuah foto di dalam jasnya, lalu dia menyodorkan pada Niara. Wanita itu mengerutkan keningnya bingung, namun di sana terdapat namanya dan juga usia kandungannnya. "Apa kau masih tidak percaya?" Tanya Kenan yang melihat Niara hanya diam saja. "Aku tidak mempercayai ini. Ini membuatku gila!" Kenan mengangguk menyetujui perkataan Niara. Di dalam mobil mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tangan Niara mengelus perutnya yang terasa sangat keras, dia masih menyangsikan jika dirinya telah berbadan dua. Tapi, melihat kenyataan di depan mata sedikit demi sedikit dia mulai percaya. "Kita akan menikah, sesuai kesepakatan di awal." Niara bahkan lupa jika ada perjanjian tak tertulis seperti itu. "Nggak bisa yah, kalau nggak usah nikah?" "Dan membiarkan anak itu tidak memiliki orangtua yang utuh?" "Gue bisa kok besarin dia sendiri, dan Mas Kenan bisa ketemu dia kapan aja." Kenan mendengus tidak percaya dengan perkataan Niara. "Saya tidak percaya, toh mengurus diri sendiri saja kamu tidak bisa." Jawaban Kenan seketika menusuk hatinya, Niara seketika mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tidak mau dirinya terlihat cengeng di depan Kenan. Pria itu dari dulu hingga sekarang selalu membuatnya sakit hati dengan perkataannya. Bisa-bisanya dulu dia cinta dengan pria bermulut tajam seperti Kenan. Setelah sampai di rumahnya, Niara segera turun dari mobil Kenan. Dia tidak perlu menunggu Kenan, lebih baik dirinya mengurung diri di dalam kamarnya. "Ra, kamu nggak apa-apa kan sayang?" Tanya ibunya begitu melihat Niara masuk ke dalam rumah dengan wajah yang masih pucat. "Aku cuman kecapean aja kok, Bu." Balasnya dengan senyum menenangkan. "Bener? Kamu nggak bohongin Ibu kan?" "Beneran, Niara cuman capek aja. Niara ke atas yah, mau istirahat." Sang ibu tidak bisa menghalangi putri kesayangannya, dia membiarka Niara ke kamarnya. Tak lama kemudian, Kenan muncul membuat ibu Niara tersenyum. "Selamat malam, Tan." "Malam, ayo masuk ke dalam. Niko sama ayah ada di dalam." Kenan mengangguk dia mengikuti wanita paruh baya itu dari belakang. Kenan sepertinya datang di waktu yang tidak tepat, karena keluarga Niara sedang makan malam. Awalnya dia akan menunggu saja sampai mereka selesai makan, tapi Kenan tidak di izinkan. Karena dia juga harus ikut makan, dengan terpaksa Kenan menurut. "Maaf sebelumnya, saya sudah menganggu acara makan malam kalian." "Ah kamu ini, Ken. Kayak ke siapa aja, kamu mau ngomong apa sih kayaknya serius banget." "Maaf, saya mau menikahi Niara." Seketika itu juga ruang makan hening, ketiga anggota keluarga Niara memandang Kenan dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Namun Niko sepertinya mulai teringat sesuatu, seketika itu juga dirinya bangkit dari kursi yang di dudukinya kemudian meninju wajah Kenan. "b******k! Ini yang gue takutin!" "Astaga Niko! Kamu ini apa-apan!" Teriakan sang ibu tidak membuat Niko menghentikan pukulannya pada Kenan. Namun ayah Niko segera memisahkan karena melihat Kenan tidak melawan. "Bisa kamu jelaskan, alasan apa yang membuat kamu ingin menikahi Niara?!" "Niara hamil, dan dia hamil anak saya." Perkataan Kenan yang tak merasa ragu pun membuat mereka yang berada di sana syok. "Astaga!" "Ken apa yang kamu katakan itu benar?" Kenan memandang pria paruh baya di hadapannya itu dengan sendu, dia mengangguk sebagai jawaban. Tanpa di prediksi, calon ayah mertuanya itu meninju pertu Kenan sehingga pria itu jatuh terdorong ke belakang. "b******n! Bisa-bisanya kamu lakukan itu pada Niara! Gadis yang kamu anggap sebagai adik kamu sendiri, dan sekarang kamu menghamilinya! Pria b******k macam apa kamu, Kenan!" "Maafkan saya, Om. Ini semua kecelakaan, saya tidak bermaksud meniduri Niara. Kami mabuk!" Ibu Niara hanya bisa menangis mendengarnya. "Saya tidak mau tahu! Kamu harus menikahi Niara." "Saya sudah mengajaknya untuk menikah, tapi Niara menolak. Bisakah kalian membujuknya, agar mau menerima pernikahan ini." "Astaga Niara, apa yang kamu pikirkan Nak. Kenapa kamu tidak mau." "Niara biar menjadi urusan kami, dan saya tunggu kedatangan keluarga kamu besok Kenan! Jika tidak, saya akan mengobrak-abrik perusahaan kalian." Kenan berdiri dari jatuhnya, dia mengangguk menyetujui. "Terima kasih, Om. Saya akan membawa orangtua saya besok. Dan saya benar-benar minta maaf, karena telah merusak Niara." Setelah mengatakan hal itu, Kenan pamit. Pria itu memandang Niko yang tengah memandang kepadanya dengan wajah membunuh. Dan Kenan merasa jika sikap Niko wajar terhadapnya. Niara mengurung diri di dalam kamarnya, dia tidak mau jika akan di adili oleh keluarganya. Dia belum siap melihat orangtuanya dan kakaknya harus kecewa kepadanya, maka dari itu dia memilih untuk mengurung diri. "Sayang, buka pintunya Nak." Niara diam mendengar suara sang ibu. "Ara, keluar sayang. Ayo kita bicara." Namun lagi, lagi Niara hanya diam. "Ra, kami nggak akan marahin kamu kok. Kalau itu yang kamu takutin," Dan ini suara kakaknya. "Ayah sudah meminta Kenan untuk tanggung jawab nikahin kamu, besok keluarganya akan kemari." Perkataan ayahnya membuat Niara melotot, dan dia segera berteriak. "AKU NGGAK MAU NIKAH SAMA DIA! AKU NGGAK MAU NIKAH SAMA Kenan?!" Mendengar teriakan Niara membuat ibunya itu kembali menangis. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD