Bab 5

1403 Words
Niara benar-benar mengurung diri di kamar seharian, bahkan hingga esok hari wanita itu diam di kamarnya. Kedua orangtuanya bahkan tidak berangkat ke kantor, mereka tinggal di rumah membujuk anak bungsu mereka. Niara akan membukakan pintu jika asisten rumah tangga yang membawakan makanan untuknya, selebihnya tidak. "Ara." "Aku nggak mau, Bu. Aku nggak mau nikah sama Mas Ken!" "Sayang, buka pintu dulunya ya. Kita bicarain baik-baik." "Nggak! Aku tetep nggak mau nikah sama dia!" "Kasih alasan sama Ibu, kenapa kamu nggak mau nikah sama dia?" "Aku nggak cinta sama dia, dan aku juga punya kekasih." "Terus kamu mau nikah sama kekasih kamu gitu?" Kali ini suara Niko yang bersuara, gemas juga dengan sikap keras kepala Niara. Niara yang ditanya seperti itu diam. "Kasian bayi kamu sayang, kalau kamu nikah sama pacar kamu." Niara terdiam, diam bukan berarti menyetujui perkataan ibunya. Justru dia berpikir, dia tidak akan menikahi kekasihnya. Dia saja tidak tahu dia mencintai siapa, dia tidak percaya pada semua pria. Mana mau dia menggantungkan hidupnya pada pria, belum tentu dia menikah akan bahagia kan? Jadi memang pilihannya kali ini untuk tidak menikah itu benar. "Tapi aku nggak cinta sama dia, Bu." "Alah dulu cinta kan? Masa sekarang nggak?!" "Mas Niko diem deh, nggak usah ikut campur. Ini semua juga gara-gara Mas Niko. Mas Niko kan yang nyuruh aku nikah sama dia, kalau aku hamil." "Iya masa aku suruh pacar kamu buat tanggung jawab?!" "Pokonya aku nggak mau nikah sama Mas Kenan. Titik!" "Bisa kasih alasan masuk akal ke Ibu, kenapa kamu ngotot nggak mau nikah sama ayah jabang bayi kamu, Ara?" "Karena aku nggak cinta sama dia, Ibuuu .... Itu udah cukup kan?" Baik sang ibu maupun Niko dan sang ayah, hanya bisa menghela napasnya berat dibalik pintu. Niara itu keras kepala, pendiriannya pun selalu keras. Tidak ada yang bisa melawan kekeras kepalaan Niara, ayah nya saja selalu luluh jika Niara sudah mogok. Mungkin karena Niara putri bungsu dikeluarga mereka, apapun yang mereka inginkan pasti akan dikabulkan. Tapi lain lagi ceritanya kalau seperti ini. "Ra, dengerin ayah." Niara diam masih dengan bibir yang mengerut lucu. "Coba kamu bayangin kalau posisi kamu jadi bayi kamu? Kamu emang mau nggak bareng Ayah sama Ibu? Kita pisah rumah? Seminggu di Ibu seminggu di Ayah? Apa kamu mau seperti itu?" Penjelasan ayahnya membuat Niara membayangkan, dasarnya ibu hamil memang sensitif. Jadi begitu dia membayangkan dia sedih, wajahnya perlahan menyendu sambil mengelus perut ratanya. "Terus gimana nanti kalau anak kamu tanya? Kok ibu sama ayah nggak tinggal satu rumah? Apa yang kamu akan katakan pada dia, Ra? Jangan karena ke egoisan kamu anak kamu jadi korbannya, nanti kamu akan menyesal sayang." Dan setelah mengatakan hal itu, Niara terisak. Dia menangis membenarkan perkataan sang ayah yang benar adanya, dibalik pintu mereka mulai mendengar tangisan Niara. Niko yang memang memiliki kunci cadangan Niara segera membuka pintu kamar sang adik, disana mereka melihat Niara yang duduk di atas ranjang dengan wajah yang tertutup oleh kedua tangan. Bahu Niara bergetar, dia menangis membuat mereka menghampirinya. Ibu Niara seketika memeluk sang anak, namun tak ayal dia menangis juga. Niko dan ayahnya hanya bisa menghela napasnya, Niko mengusap bahu Niara berusaha menegarkan. Setelah beberapa menit mereka berpelukan, Niara pun melepaskan pelukannya dan memandang keluarganya. "Maafin Niara." "Ssttt nggak sayang, nggak perlu minta maaf. Kami mengerti, jadi kamu mau kan nikah sama Kenan?" Dengan lemas Niara mengangguk. "Nggak masalah kalau kalian nikah tanpa cinta, Ibu yakin cepat atau lambat kalian akan saling cinta. Lagi pula, Ibu nggak percaya sama pria lain untuk suami kamu." Niara yang mendengar perkataan ibunya hanya membatin, ibunya tidak tahu saja jika dia sudah pernah mencintai Kenan. Dan karena dia sudah pernah mencintai Kenan maka dari itu lah dia tidak mau harus hidup dengan dia. "Itu baru anak ayah, kamu nggak perlu pikirin hal yang lain. Sekarang kamu siap-siap sebentar lagi keluarga Kenan akan kemari." "Bisa nggak kalau Niara diam aja di kamar?" "Kamu sakit?" Kali ini Niko yang bertanya dengan nada khawatir. "Aku masih lemas," "Yasudah nggak apa-apa, nanti biar kita yang ngobrol sama keluarga mereka. Kamu ganti baju dulu aja," Niara hanya mengangguk lemas, jelas saja lemas orang kemarin dirinya tidak tidur memikirkan ini semua. Jika kedua orangtuanya tahu dia pingsan wah habis dia tidak diperbolehkan lagi bekerja. Terlebih sekarang dia sedang hamil, makin-makin over protective pasti. Niara mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur biasa, dia mencuci muka dan juga menggosok gigi. Rambutnya ia sisir, dan wajahnya ia hanya olesi pelembab namun bibirnya ia biarkan kering. Niara bukan alasan semata untuk diam di sini, tapi dia benar-benar masih lemas. Dia hanya ingin tiduran, tanpa mau turun ke bawah. Dia juga tidak peduli jika keluarga Kenan nanti tidak menyukai sikapanya yang sekarang. Yang terpenting dia tidak bertemu dengan pria sialan itu, dia tidak mau. Kalau bisa nanti ketika menikah pun dia terpisah, dia di rumah dan Kenan di tempat pernikahan mungkin bisa dia bicarakan seperti ini. Bilang saja ini kemauan bayinya, jika seperti itu kan keinginan dia bisa dikabulkan. Keluarga Kenan datang tak lama kemudian, keluarga mereka memang sudah berteman baik. Bahkan sebelum Niko dan Kenan berteman, orangtua mereka telah berteman terlebih dahulu. Maka begitu Kenan mengatakan jika dirinya akan menikahi Niara mereka sangat senang tentu saja, namun mendengar alasan dibalik semua pernikahan Kenan. Kedua orangtau Kenan jelas saja marah bahkan mereka murka, namun mereka juga mendukung jika Kenan mau bertanggung jawab dengan masalahnya. Kini kedua keluarga itu mulai berbicara mengenai pernikahan mereka, Niko masih marah pada Kenan tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Niko hanya meminta satu hal pada Kenan untuk tidak menyakiti Niara. Tidak tahu kah Niko, jika dia pernah menyakiti Niara dulu. "Boleh kita lihat Niara?" Tanya ibu Kenan. "Tentu saja boleh, tapi sepertinya dia tertidur. Karena tadi sore dia mengatakan jika dia masih lemas." Kenan yang tidak sengaja mendengar Niara yang lemas langsung saja meminta izin untuk menemui wanita itu. Tak lupa dia membawa sebuah paperbag yang berisi vitamin, dia kemarin melupakan vitamin untuk Niara. Kamar Niara terletak di paling ujung, beruntunglah pintu kamar wanita itu tidak dikunci jadi Kenan bisa masuk ke dalam tanpa kesulitan. Kamar Niara gelap, sengaja mungkin wanita itu matikan lampunya. Namun dia tidak menyukai begitu melihat jendela kamar Niara yang terbuka lebar. Apa yang dipikirkan wanita itu sebenarnya? Apakah dia sengaja untuk membuat sakit? Ck benar-benar kekanakan. Kenan duduk di atas ranjang Niara, memandang wanita itu dengan pikiran berkecamuk. Pernikahan mereka akan di adakan satu minggu lagi, karena kedua orangtua mereka tidak ingin cucu mereka lahir sebelum mereka menikah. Kenan sendiri tidak bisa menolak, karena mungkin itu yang terbaik juga. Tak berapa lama orangtua mereka masuk ke dalam kamar Niara, ibu Kenan menatap sendu wajah Niara. Mereka kemudian mulai kembali mengobrol, mengomentari Niara yang terlihat begitu kuyu. Membuat Niara terbangun dari tidurnya, Niara memandang orang-orang yang berada dikamarnya. Dia jelas terkejut melihat orangtua Kenan ada di sini tengah memandangnya. Bahkan ibu Kenan langsung memeluk tubuhnya dan menangis, membisikan kata sayang dan juga terima kasih karena mau menerima pernikahannya dengan Kenan. "Saya lupa, kamu harus minum ini." Kenan menyodorkan paperbag nya kepada Niara yang di ambil Niara dengan malas. Setelah orangtua mereka pergi meninggalkan kamar Niara, di dalam kamar hanya ada Niara dan Kenan saja. Mereka memang perlu berbicara berdua. "Kita akan menikah minggu depan." "Mas Kenan emang sengaja ya bikin aku kagetan?" Kenan hanya diam. "Lagian kenapa mesti cepet-cepet sih, heran gue. Udah ngebet pengen ngawinin gue?" Setelah mengatakan hal itu, Niara dibuat kaget karena aksi Kenan yang kini mulai memajukan wajahnya. Bahkan membuat Niara kembali tertidur dibantalnya. Wajah mereka begitu dekat, hidungnya bahkan sudah bersentuhan dan bibir mereka nyaris saja bersentuhan. Degup jantung Niara menggila, saking gugupnya Niara menutup kedua matanya. Kenan sendiri menyukai aksinya kini yang menggoda Niara. Mulut wanita di bawahnya ini memang sesekali perlu diberi pelajaran. "Perbaiki kata-kata kamu, saya tidak suka kata elo, gue digunakan ketika kita sudah menikah. Kamu sekarang tunangan saya, jadi turuti apa yang saya ucapkan. Jika tidak saya tidak akan segan-segan mengawini kamu, paham?" Niara yang sudah tidak bisa berpikir jernih hanya bisa menganggukan kepalanya, membuat Kenan menyeringai. Pria itu kemudian bangkit berdiri, masih dengan mata yang mengawasi Niara. "Saya pulang dulu, besok saya akan jemput kamu untuk konsultasi kandungan." Niara yang mendengar kata-kata itu segera menyibak selimutnya. Belum sempat dia membantah, Kenan sudah memotong perkataannya. "Tidak ada kata penolakan!" Tandasnya final kemudian berlalu meninggalkan kamar Niara. Setelah kepergian Kenan, Niara langsung saja menyumpahi pria sialab itu. Dan dia sudah menduganya jika pernikahannya nanti dengan Kenan tidak akan berjalan dengan normal. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD