Jika biasanya Kanu akan senang dengan penuh semangat menjalani rutinitas kuliahnya, tetapi kali ini amarah yang mendominasi. Sejak tadi, Kanu mencoba untuk menahan letupan kekesalannya. Sepanjang presentasi dari rekan kelasnya hari ini seolah tidak menarik sama sekali. Tatapan Kanu hanya memandang Bayu tajam.
"Tenang, Nu." Entah sudah berapa kali Revan mengingatkannya. "Bicara baik-baik saja nanti. Bahaya, ini di kampus." Seolah tidak lelah. Bahkan sepanjang malam Kanu tidak tidur memikirkan kekasih berserta sahabatnya.
Meski, Kanu masih bisa berpikir jernih untuk tidak melayangkan hantaman ke wajah Bayu, yang seakan tidak bersalah ketika dia menyapanya tadi.
Hampir dua jam proses pembelajaran berlangsung, akhirnya selesai untuk mata kuliah Kanu hari ini.
"Nanti ada yang mau gue bicarakan," ucap Kanu pada Bayu datar.
Bayu memandangnya singkat penuh tanya.
Kelas menjadi kosong setelah Dosen keluar.
"Gue jaga situasi dekat pintu. Urusan lo sama Bayu harus selesai hari ini."
Kanu yang sudah tidak menahan rasa kesalnya, hanya mengangguk singkat lantas menghampiri Bayu yang masih duduk tenang.
Bayu mengernyit menatap bingung. "Nggak biasanya lo begini. Mau bahas apa memang?"
"Lo jadian sama Sandra?" Akhirnya, pertanyaan yang berhasil dipendam Kanu terlontar. Ia sudah tidak bisa menahan lebih lama.
Tidak langsung menjawab, Bayu hanya menatap Kanu lekat. Ia tidak gentar, bahkan benaknya sudah menyiapkan kata demi kata alasan dan permintaan maaf. Tetapi Bayu lantas teringat wajah Sandra kala itu menjadikannya kesal. "Iya," jawab Bayu begitu tenang.
Apa? Kanu tidak salah dengar bukan? Ia tertawa sumbang menutupi hatinya yang semakin marah. Tidak ada sangkalan ataupun kata lain dari Bayu membuatnya ingin melayangkan pukulan saat ini juga. "Berengsek lo." Meski hanya keluar u*****n.
Kali ini Bayu hanya menatap datar. Ia sudah siap jika Kanu akan menghantamnya nanti. Terlihat buku jemari Kanu memutih meremas keras tas ransel.
"Nu, tahan, Nu." Revan yang sedari tadi menjaga situasi agar ruang kelas cukup aman menghampiri kedua sahabatnya, khawatir jika terjadi saling pukul. "Ini di kampus, ingat."
"Diam, Van." Kanu tertahan. "Gue juga nggak sudi sentuh muka dia." Seakan beribu perasaan bercampur menjadi satu, tertahan di dalam diri. Ternyata perkataan Revan selama ini benar. Ia telah dikhianati kekasih dan juga sahabatnya. Andai saja, ia mempercayai ucapan Revan sedari awal. Mungkin Kanu dapat sedikit menahan perasaan yang mencengkramnya bertubi.
"Sudah berapa lama?"
Bayu yang semula duduk bersandar, bangkit. Masih terlihat santai, sama sekali tidak menunjukan ketakutan. "Kita belum lama, baru seminggu." Mengingat Sandra, Bayu tersenyum tipis. "Mungkin seminggu nggak berarti buat lo. Karena gue tahu, lo sama Sandra jadian sudah jalan dua tahun." Dua tahun Bayu menahan semua gejolak dalam dadanya tiap kali melihat Sandra bersama Kanu. "Tapi gue yakin bisa buat Sandra lebih bahagia dibandingkan lo."
Lagi-lagi, Kanu nyaris menertawakan diri sendiri. Perkataan Bayu seakan menusuk. Seharusnya, ia tahu jika tak pernah membuat Sandra bahagia. Waktunya selalu dihabiskan untuk mengejar status, popularitas, dan kesuksesan. Sedangkan Kanu tak pernah paham tentang hal yang diinginkan oleh Sandra.
"Gue lupa, lo nggak pernah buat Sandra bahagia." Bayu meremehkan. "Lo terlalu sibuk sama urusan lo sendiri. Wajar kalau Sandra pilih gue, karena lo sibuk kejar nama."
Makin tercekat, Kanu hanya terpaku. Rongga dadanya seolah tak memiliki pasokan udara. Terlalu sesak untuk menjelaskan perasaannya kali ini. Bayu memang benar, ia terlalu hanyut dalam perannya sebagai selebriti baru. Namun, Kanu berani bersumpah, bahwa hal tersebut tak mengurangi sedikit pun cintanya kepada Sandra. "Kenapa harus Sandra?"
"Karena gue cinta sama dia," jawab Bayu tanpa beban.
Dada Kanu berdenyut. Hatinya sakit. Selama ini komunikasi di antaranya dan Sandra tak memiliki arti penting. Terlebih, Kanu baru saja mengingat, jika sering memperhatikan Sandra yang selalu tertawa lepas di saat bersama dengan Bayu. Sedangkan dirinya, hanya sekedar untuk menanyakan tentang kabar dan rutinitas Sandra. Ia tak bisa terus menerus berada di samping Sandra. Kanu bukanlah sosok yang diinginkan oleh Sandra. Kanu tidak bisa seperti Bayu yang selalu ada di sisi Sandra setiap waktu.
Namun, mengapa mereka begitu tega terhadapnya. Sandra bahkan tak mengatakan apapun kepadanya. Sandra masih sama seperti sosok yang Kanu kenal. Sama sekali tak mengucapkan tentang hal ini, bahkan tidak memutuskan hubungannya.
Setidaknya, jika Sandra meminta putus dari Kanu terlebih dahulu, keadaan ini takkan menjadi rumit. Kanu bahkan akan berusaha untuk lebih memaklumi atau sedikit merelakannya.
"Kalau begitu, buat dia bahagia. Kayak yang lo bilang tadi. Karena gue memang nggak pernah buat Sandra bahagia." Kanu merendah. Perasaannya sudah tidak berbentuk.
"Nu! Gue bilang jangan ada baku hantam, tapi nggak jayak gini juga." Revan tidak terima jika Kanu mengalah begitu saja. Dari tadi termangu menyimak pertikaian kedua sahabatnya, akhirnya bersuara.
"Nggak masalah, Van." Kanu yakin akan baik-baik saja setelah ini.
Revan memandang Kanu lebih khawatir.
"Mereka pasti punya alasan sendiri. Kalau memang Sandra cinta sama gue, dia nggak akan sama Bayu, 'kan?" Lagipula, Kanu tidak akan bisa memaksa perasaan Sandra untuk tetap memilih atau bersamanya.
Revan menggeleng tak percaya. "Gila lo, Bay! Sahabat macam apa lo."
"Semua ini nggak ada urusannya sama lo, Van. Kanu bahkan bisa lebih paham daripada lo." Bayu menatap Revan penuh peringatan. Cukup dua tahun Bayu diam, tetapi tidak untuk kali ini. "Tanpa lo suruh, Sandra sudah gue buat bahagia setiap hari."
Kanu menghela napas dalam tetapi samar saat memandang sebuah foto keluarga.
"Itu Kakak aku." Selina berdiri di sebelahnya menunjuk singkat.
Lagi-lagi, ucapan Revan bukan omong kosong. Selama apapun menghindar dari masalah, menjadikannya sadar Kanu belum terlepas sepenuhya. Bahkan alam seakan menertawainnya saat ini. Sandra merupakan kakak dari Selina, kekasihnya saat ini. Ia sedikit khawatir. Dunia seolah begitu sempit. Gamang pun dirasakan. Namun, cepat atau lambat, Selina akan mengetahui apa yang sudah terjadi.
"Kamu lebih cantik." Kanu mengulas senyum tipis. Tidak. Ia harus berbohong kali ini. Sandra yang lebih tenang membuat wanita itu jauh lebih menarik baginya. Bahkan, wajah Sandra tidak berubah, masih sama seperti dulu.
Selina terkekeh kecil. "Banyak yang bilang begitu."
"Ada nilai yang buat kamu lebih berharga untuk orang lain selain dari visual," ucap Kanu.
"Apa itu?" Selina mengernyit kecil.
"Kamu mau tahu?" Kanu kembali bertanya, wajah bingung Selina berhasil membuatnya tersenyum simpul.
"Hati?" Meski tidak yakin, Selina menebak asal.
"Hati yang tulus semakin buat kamu sempurna." Tanpa disangka Selina benar. Bersamaan dengan harapan Kanu di hati kecilnya, Selina berbeda dengan Sandra.
"Aku setuju." Walaupun, Selina tidak selalu berbuat baik, ia pun tidak sesuci malaikat, tetapi akan berusaha menjadi yang terbaik versinya.
"Aku baru ingat, kakak aku juga seumuran sama kamu. Tapi sayang banget, kakak nggak bisa datang hari ini." Selina setengah menggerutu.
"Kakak kamu lebih sibuk daripada kamu, ya." Perasaan Kanu sendiri saat ini menjadi tidak menentu. Namun, di sisi lain lega, Sandra telah melakukan tindakan yang tepat untuk menghindarinya.
"Hari ini masih kerja. Katanya, ada beberapa hal yang harus diurus." Selina menggeleng ngeri. "Aku nggak habis pikir."
"Nggak masalah. Masih bisa ketemu di lain waktu." Jelas Kanu yakin mereka akan bertemu dalam waktu dekat. Mungkin karena penasaran, Kanu tidak sabar menunggu waktunya nanti.
Selina melingkarkan tangan pada pinggang Kanu. "Maaf ya, akhir-akhir ini aku sibuk." Merema bahkan baru saja bertemu setelah dua minggu saling berjauhan. Dekapan serta usapan Kanu membuatnya sedikit tenang.
Kanu mengecup lembut kening Selina singkat. "Its okay. Aku tahu prioritas kamu."
"I Love you more." Selina berjinjit untuk mengecup pipi Kanu.
"Aku tahu." Kanu tertawa kala berniat menggoda Selina. Sejujurnya, ia belum yakin bisa merasakan rasa cinta Selina kepadanya. Belum lagi, Kanu yang baru kembali menjalani sebuah hubungan pasca putus dengan Sandra dulu. Membuatnya untuk lebih belajar menerima kisah yang lalu.
"Mau ke atas sambil tunggu papa sama mama aku?" ajak Selina telah menggandeng lengan Kanu.
"Ke atas ngapain? ke kamar kamu?"
Selina mengangguk cepat. "Iya boleh, kalau kamu mau bobo. Sore masih lama 'kan, Yang."
"Nanti kalau berduaan yang ketiga setan." Menahan tawanya, lagi-lagi Kanu menggoda.
"Aduh, susah deh kalau sama om-om."
Kanu tergelak lepas. "Aku belum setua itu."
Selina diam menatap Kanu lekat dengan tatapan berubah menggoda. "Mumpung Mama sama Papa aku belum pulang."
Sesampainya di lantai dua kediaman orang tua Selina, mereka lantas duduk di atas sofa bed. Kanu tersenyum ketika Selina bersandar. "Besok kamu syuting lagi?" Kanu mengusap rambut Selina lembut. Dipeluknya kedalam dekapan.
"Besok aku minta off. Rasanya lelah banget." Kegiatan syuting stripping memang menyita banyak waktunya. Selina seakan tidak punya ruang gerak untuk aktivitas lain. "Kayaknya aku salah ambil sinetron. Aku baru selesai syuting dini hari tadi."
Kanu pernah merasakan hal yang sama. Ia paham betul. Tidak ingin menyalahkan, akan tetapi kasus perselingkuhan mantan kekasih dan sahabatnya dulu karena jadwal striping yang sangat padat. "Kamu perlu terima kasih sama sinetron. Buktinya, popularitas kamu semakin meningkat."
"Kalau kamu mungkin sempat kejar popularitas, tapi aku masuk entertaiment nggak berambisi kayak kamu." Helaan napas Selina menyiratkan putus asa.
"Ini 'kan nggak selamanya. Nanti kalau sudah selesai kamu pasti kangen stripping."
Selina terdiam sesaat ketika ucapan Kanu memang benar. Toh, setelah ini, Selina tidak akan ambil lagi tawaran sinetron. Terlebih, kontrak itu sudah ia setujui yang tersisa hanya tanggung jawab atas profesionalismenya. "Aku sekarang tahu, kenapa sekarang sinetron bukan ranah kamu lagi."
Kanu terkekeh kecil. "Lagipula film lebih banyak benefitnya buat aku." Selain proses syutingnya tidak memakan waktu, honornya pun jauh lebih banyak.
"Sudahlah. Kamu memang jauh lebih senior daripada aku." Selina semakin lelah kala mengingat rentetan naskah yang berada di dalam kamarnya.
"Senior nggak selalu berjalan mulus, Selina. Perjalanan karir aku jauh lebih pahit." Teringat dulu ia harus berurusan dengan pihak berwajib karena salah satu fansnya mencelakaan sahabatnya.
Selina menegakkan tubuhnya, ditatapnya Kanu dengan lekat. Ia tidak bermaksud membahas karir kekasihnya, semua terlontar begitu saja tidak dapat dicegah. Namun, tanpa terduga disaat akan meminta maaf, Kanu sudah mengecup bibirnya.
Tanpa menolak, Selina lantas memejamkan matanya. Mungkin kecupan Kanu sedikit ia butuhkan, mengingat besok tidak akan ada pertemuan seperti ini dalam waktu dekat. Seakan tidak ingin lepas, Selina mulai mengesap bibir Kanu terlebih dahulu.
Kanu membalasnya dengan intens. Tangannya sudah berada di pinggang Selina, lebih mendekatkan jarak di antara mereka. Betapa Kanu merindukan Selina, seolah tampak jelas tersampaikan lewat ciuman mereka saat ini.
* * *