Tiba - tiba Pak Fuad masuk dapur. Dengan tampang sedih. Ia sudah mendengar obrolan istri dan anaknya. Dan ia ingin segera menyampaikan kabar yang baru saja ia terima.
"Buk ... ternyata Fauzi nggak jadi bisa anter kita malam ini. Deh Hanifah masuk rumah sakit, gejala tipes." Pak Fuad menyampaikan dengan nada yang rendah, dengan intonasi yang tenang.
Seketika ia menjadi pusat perhatian di sana.
Sora kemudian tersenyum miris. "Ya udah, nggak apa - apa. Kayaknya aku sama Samran emang nggak jodoh, deh. Pertama Bude Pangestutik tiba - tiba bikin heboh, eh, sekarang Om Fauzi malah batal bisa antar. Ya udah, kita nggak jadi ke sana malam ini."
Sora mengucapkan itu sembari meniriskan tahu isi yang baru saja ia goreng. Dan memasukkan lagi tahu isi yang belum digoreng ke dalam wajan berisi minyak panas.
Sejenak suasana jadi hening. Semua orang sama - sama bingung harus bicara apa. Harus bersikap bagaimana.
Hanya terdengar suara keras tahu yang digoreng dan juga suara ces - ces dari panci yang digunakan untuk mengungkep ayam utuh.
Sembari mengangkat ayam ingkungnya, tiba - tiba Bu Rahma mendapatkan sebuah hidayah. Sebuah bantuan dari Tuhan, atas nalurinya sebagai seorang ibu yang tidak tega dan tidak rela anaknya disakiti berkali - kali.
"Mbak, tadi kamu bilang, si Samran bersikap biasa aja, kan?" tanyanya.
Sora mengangguk dengan tampang datar. "Ya, dia bersikap seperti biasanya. Kayak nggak terjadi apa - apa."
"Nah ... kalau gitu, gimana seandainya kamu tanya dia. Dia bersedia apa nggak jemput kita untuk pergi ke rumahnya. Hitung - hitung ngetes seberapa besar dia mau berkorban untuk kamu. Untuk ngetes keseriusan si Samran. Gimana?"
Pertanyaan itu seketika menjadi fokus bersama. Dan Pak Fuad mendadak begitu bangga pada istrinya yang sangat jenius.
"Oke, deh. Aku tanya si Samran dulu." Sora langsung mengambil ponselnya.
Ternyata Samran baru saja mengirim pesan baru lagi. Mungkin karena Sora yang jadi lama membalas pesannya.
'Sora, karena kamu masih sibuk, ya udah dilanjutkan dulu aja pekerjaannya. Aku juga mau masak buat menyambut tamu besar nanti malam. Semangat ya, Sora. Sampai ketemu nanti malam.'
Sora membaca pesan dari Samran, dan ia jadi semakin yakin, bahwa Samran memang benar - benar belum tahu tentang pembatalan perjodohan itu.
"Nih, Buk, Pak ... Samran tuh beneran belum tahu tentang pembatalan perjodohan itu. Dia barusan kirim pesan lagi. Katanya sampai jumpa nanti malam. Bahkan dia mau masak sendiri buat menjamu kita."
Sora memperlihatkan pesan Samran itu pada ibu dan bapaknya. Dua orang pasutri itu jadi makin bingung dengan situasi ini.
"Ya udah deh, Mbak. Kamu tanyain dulu aja yang tadi. Malah lebih ngetes keseriusan si Samran tuh. Apakah dengan dirinya yang udah capek masak, masih mau jemput kita ke rumah juga. Terus nanti anter kita balik pulang juga." Bu Rahma menjelaskan dengan menggebu - gebu.
"Oke deh, oke." Sora pun langsung melakukan permintaan ibunya itu.
'Mas Samran ... ternyata Om Fauzi yang mau nganter kami ke rumah Mas nanti malam, membatalkan janjinya tiba - tiba. Karena Tante Hanifah istrinya, mendadak sakit. Kena gejala tipes. Sekarang lagi dirawat di rumah sakit. Apa Mas Samran bisa jemput kami? Kalau nggak bisa ya nggak apa - apa. Kalau gitu kami tunda aja pergi ke sananya.'
Pesan Sora yang terkesan sangat ketus itu, langsung dikirim tanpa dibaca ulang terlebih dahulu.
Tidak tahu lah. Sora sudah cukup pusing untuk bisa berpikir dengan benar.
"Udah dibales mbak?" tanya Bu Rahma.
"Astaga Ibuk ... Baru juga dikirim!" jawab Sora frustasi.
Mereka pun menunggu pesan balasan Samran dalam diam. Ternyata tak seperti sebelum - sebelumnya, Samran cukup lama membalas pesan Sora.
"Dia beneran udah sibuk masak kali. Makanya udah nggak pegang HP," ucap Sora.
"Mungkin," sahut Bu Rahma. "Ya udah, ditunggu aja. Lihat reaksinya nanti bagaimana. Masaknya juga udah aja, Mbak. Kita bawa seadanya yang udah mateng. Ya ngapain kita bawa masakan banyak ke sana. Tahunya nanti di sana cuman dikasih tahu, 'perjodohan ini tidak bisa dilanjutkan'. Kan males tuh."
Sora mendadak terkikik. Sebenarnya ia cukup sedih jika itu benar akan terjadi nanti. Tapi cara bicara Bu Rahma membuat Sora geli. Mengingat ia sangat jarang melihat ibunya nge - gas.
Sementara Pak Fuad hanya diam. Membayangkan dan mempersiapkan diri akan apa pun yang akan terjadi nanti.
***
Sampai sore menjelang maghrib, Samran tetap belum membalas pesan. Perasaan Sora semakin tak menentu. Begitu pun kedua orang tuanya.
Mereka bahkan belum mengemasi semua makanan yang akan dibawa ke sana. Juga belum bersiap - siap ganti baju sama sekali.
Menunggu jawaban Samran dulu seperti apa.
"Gimana? Udah dijawab, Mbak?" tanya Bu Rahma, entah sudah yang ke berapa kali.
Sora lagi - lagi menggeleng.
Bu Rahma mendekati anak sulungnya itu. "Nggak apa - apa, ya, Mbak. Misal ternyata perjodohan ini benar - benar batal, tolong kamu jangan berkecil hati. Sabar. Allah sedang menguji kesabaran kamu. Jika memang belum berjodoh, pasti akan diganti dengan yang lebih baik."
Bu Rahma menasihati anak sulungnya itu. Nasihat yang sama, yang juga ia berikan pada Sora pada kegagalan perjodohan yang sudah - sudah.
Namun meski sudah dikatakan berulang kali. Itu akan tetap membuat hati Sora mencelos tiap kali mendengarnya. Dan membuat gadis itu merasa sesak mendadak. Namun tidak bisa menangis secara terang - terangan. Hanya bisa menahan.
"Aku udah kebal kali, Buk. Tenang aja. Toh cowok di dunia buka cuman si Samran." Begitu lah jawaban Sora. Meski hatinya sudah pasti hancur di dalam sana.
Sora menatap layar ponselnya. Masih belum ada balasan apa - apa.
Mendadak Sora jadi kembali teringat pada Alshad. Sedang apa Alshad kira - kira di sana?
Di saat Sora dipermainkan oleh drama perjodohan seperti ini, wajah Alshad mendadak memenuhi pikiran Sora.
Sora mendadak membayangkan Alshad sebagai sosok terbaik yang masih disimpan Tuhan darinya.
Sora tersentak kemudian. Karena ada sebuah pesan baru di ponselnya.
Pesan dari Samran.
Sora tidak langsung membuka pesan itu.
Bertepatan dengan adzan maghrib yang berkumandang.
"Aku mau sholat dulu, ya, Buk." Sora berpamitan.
"Iya, buruan sana."
Sora kemudian langsung bergegas pergi, menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Sementara Bu Rahma hanya bisa menatap putrinya dengan prihatin.
***
Sora akhirnya bisa menangis dengan puas di tengah - tengah sholat yang sedang ia lakukan. Air matanya menetes terus tak mau berhenti. Ia juga sesekali tak mampu menahan isak tangis.
Pada sujud terakhirnya, ia mengucapkan semua gundah gulananya dalam hati. Dan ia juga memanjatkan doa panjang selepas sholat berakhir.
"Ya Allah ... Hamba tidak mau berburuk sangka ke pada - Mu. Bohong jika ini tidak berat. Ini sangat berat. Terlebih ini sudah beberapa kali terjadi. Hamba tidak tahu apa rencana - Mu. Yang hamba tahu, rencana - Mu pasti lah akan jadi yang terbaik. Hamba mau mengikuti arus saja. Hamba mau ikhlas saja. Tapu hamba mohon, bantu lah hamba dalam berproses menjadi ikhlas itu. Karena jujur, ini sama sekali tidak mudah."
Sora melanjutkan tangisnya beberapa saat sembari memohon ampun atas dosa - dosanya. Bisa jadi ia mendapatkan ujian selalu gagal dalam perjodohan, adalah karena dirinya yang terlalu banyak dosa.
Selesai sholat dan berdoa, Sora lalu segera memeriksa ponselnya. Ia membaca basmalah dulu sebelum membuka pesan dari Alshad.
'Astaga ... semoga cepat sembuh Tante Hanifah. Maaf ya Sora. Aku baru pegang hp lagi. Ini mau sholat maghrib dulu. Baru nanti lanjut masak, kurang sedikit. Gini aja, gimana kalau aku panggilkan taksi online saja untuk nganter kamu dan ibu bapak ke sini. Nanti pulangnya baru aku antar, deh. Soalnya sekarang aku masih belum selesai masak.'
Sora tidak merasakan kebohongan dalam jawaban Samran. Samran pasti benar - benar fokus masak, sampai tidak memegang ponsel sama sekali.
Sora membaca pesan itu dengan tenang. Namun tentu saja ia tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk menjawabnya.
Sora pun akhirnya segera keluar dari kamar, untuk memperlihatkan pesan itu pada kedua orang tuanya, dan bertanya harus menjawab bagaimana.
***