Bukan Perhitungan Terbaik

1404 Words
"Bapak aja deh sana yang tanya sama Sora. Ibuk bingung mau ngomongnya gimana!" Bu Rahma yang tak jua menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri, akhirnya melempar mandat itu pada sang pemberi mandat sendiri. "Lhah, kok jadi Bapak! Ibu aja sana?" Ternyata sang pemberi mandat sendiri pun enggan melaksanakan mandatnya sendiri. "Bapal tuh ya. Bisanya cuman kasih solusi. Tapi realisasinya nol." Bu Rahma langsung protes lada presiden rumah tangganya itu. "Lhah, Ibuk kan ibunya Sora. Pasti lebih tahu kan gimana caranya ngobrol sama Sora yang baik dan bener, biar dia kalau sakit hati nggak parah - parah amat gitu lho!" Pak Fuad mencari alibi. "Alah ... Bapak mah alesan aja. Bilang aja nggak berani. Gitu aja susah amat!" Pak Fuad hanya bisa garuk - garuk tengkuk, padahal tidak merasa gatal. Bu Rahma yang kesal pada sang suami, kemudian langsung berbalik pergi. Dan berjalan ngudruk ke dapur. Sementara Pak Fuad membuntut di belakang Bu Rahma. Tapi berhenti di balik dinding. Mengintip istrinya dan anak sulungnya dari tempat tersembunyi. *** Bu Rahma langkahnya semakin memelan. Terlebih setelah kakinya menginjak lantai dapur. Terlebih lagi setelah menatap putri sulungnya yang kini sedang menggoreng tahu isi. Dilihat sekilas, Sora tampak biasa saja. Seperti tidak terjadi apa - apa. Kesimpulan sementara, Sora masih belum tahu perihal pembatalan perjodohan itu. Samran belum memberi tahu Sora. Tapi bisa jadi, Sora sebenarnya sudah tahu. Karena anaknya itu sangat pandai menyembunyikan kesedihannya, karena tidak mau menyusahkan orang tuanya. Contohnya saja, dulu saat kampus Sora dinonaktifkan. Sora tidak berani bilang pada Bu Rahma atau pun Oak Fuad. Ia pendam sendiri sampai Bu Rahma malah tahu dari berita di sosial media. Lagi, saat perjodohan yang terakhir -- sebelum dikenalkan dengan Samran -- Sora dikenalkan dengan seorang laki - laki yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil. Laki - laki itu sudah matang. Usia sudah hampir 40 tahun. Sora setuju untuk diperkenalkan dan merasa cocok. Tapi justru laki - laki itu yang tidak cocok. Karena menganggap Sora masih terlalu muda. Sora berlagak tak apa. Berlagak kuat. Tapi Bu Rahma memergoki putrinya itu menangis diam - diam di kamar. Dan sekarang sekali lagi, Sora harus menghadapi sebuah momen yang sama. Kegagalan perjodohan. "Buk ...." Karena Bu Rahma malah melamun di ambang pintu, justru Sora lah yang menyapa ibunya duluan. Membuat Bu Rahma tersenyak, dan segera kembali ke dunia nyata. "Ibuk kok malah ngelamun. Sini buruan lanjutin masaknya. Itu ingkungnya udah matang dan empuk banget pasti. Udah diungkep dari tadi kan." Bu Rahma memandang Sora dengan tatapan prihatin. Dari gelagatnya, Sora memang sedang tidak terlihat sedih. Terlihat biasa saja. Bahkan cenderung ceria, antusias mempersiapkan makanan yang rencananya akan dibawa ke rumah Samran nanti malam. Bu Rahma yang masih belum sampai hati, akhirnya memilih untuk menunda dulu mengatakan fakta menyesakkan itu pada Sora. *** Pak Fuad kecewa karena ternyata sang istri belum mengatakan fakta itu pada Sora. Tapi kalau dilihat dari raut wajah Sora, sepertinya Sora belum tahu mengenai hal itu. Terdengar dering ring tone ponsel Pak Fuad. Laki - laki itu segera berlari mengambil ponselnya di kamar. Ia buru - buru mengangkat teleponnya, begitu tahu yang melakukan panggilan adalah adiknya, Pak Fauzi. Seseorang yang rencananya akan mengantarkan mereka ke rumah Samran nanti malam.Mengingat keluarga Sora belum punya mobil. Jadi minta tolong kerabat yang sudah punya mobil. Kebetulan sekali Pak Fauzi menelepon. Karena Pak Fuad juga akan memberi tahu sekalian. Kalau rencana ke rumah Samran nanti malam, barang kali akan batal dilakukan. "Halo ...." "Halo, Mas Fuad ... "Iya, ya ... ada apa, Zi?" Pak Fuad ingin basa - basi dulu sebelum mengatakan apa yang ingin ia sampaikan. "Anu Mas Fuad ... sebelumnya ... aduh ... aku jadi nggak enak ngomongnya." Pak Fuad mengernyit karena curiga dengan apa yang akan adiknya katakan. Sepertinya ini adalah pertanda buruk. "Ada apa, Zi? Udah ngomong aja nggak apa - apa. Aku juga ada sesuatu yang mau aku omongin. Kebetulan kamu telepon. Jadi sekalian aja." "Ini lho, Mas ... ibunya anak - anak ... sakit. Sekarang lagi di UGD rumah sakit. Kata dokter harus opname. Gejala tipes, Mas. Maaf banget, nanti malem, aku nggak jadi bisa nganterin Sora. Maaf ya, Mas." Pak Fuad terdiam. Merasa jahat karena ia lega mendengar berita adik iparnya sakit. Uhm ... maksudnya lega karena ternyata adiknya batal bisa mengantar ke rumah Samran. "Ya Allah ... ya udah, Zi. Nggak apa - apa. Semoga Dek Hanifah segera sambuh. Ini lho, tadi aku juga mau bilang. Kalau rencana nanti malem sebenarnya batal. Ditunda dulu. nggak jadi nanti malam." Pak Fuad tidak berterus terang tentang kenyataan yang ada. Demi menjaga perasaan anaknya juga. Dan belum tentu juga kalau perjodohan ini benar - benar dibatalkan. "Ealah ... aku jadi agak lega, Mas. Soalnya nggak enak batalin janji. Padahal urusannya penting." "Alah, kamu tenang aja. Udah, fokus sama kesembuhan Dek Hanifah dulu. Gampang nanti aku kabarin kalau jadi ke sana." "Iya, Mas. Sekali lagi maaf ya, Mas." "Udah nggak apa - apa. Semoga Dek Hanifah cepet sembuh." "Aamiin, makasih, Mas." Telepon pun akhirnya diakhiri. Pak Fuad sedikit bisa bernapas lega kini. Karena tidak enak juga jika ia yang membatalkan. Mengingat ia sendiri yang minta tolong. Kok ia juga yang membatalkan. Apa lagi adiknya itu termasuk orang yang sibuk, banyak sekali urusannya. *** "Buk ... Ibuk kenapa sih, kok dari tadi diem mulu?" tanya Sora akhirnya. Rasanya aneh melihat ibunya yang biasa hobi berghibah, kini justru diam saja seperti orang bingung. Padahal Sora sudah penasaran dengan apa yang dibicarakan Bu Rahma dan Bude Liza di depan tadi. Bu Rahma pun tersenyum canggung. "Anu ... Nduk ...." Bu Rahma terlihat masih begitu berat mengatakan maksudnya. "Kenapa, Buk? Tadi Bude Liza cerita apa sama, Ibuk?" tanya Sora akhirnya. Bu Rahma menunduk, serba salah. "Anu, itu lho ... uhm ... gimana? Tadi ... Samran ngomong sesuatu sama kamu nggak?" tanya Bu Rahma. Ia akhirnya menemukan sebuah awalan yang cukup bagus, untuk mengawali obrolan yang sangat sensitif ini. Sora mengernyit. Tak mengerti dengan apa yang akan dibicarakan sang ibu. Tapi juga sudah berfirasat, bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi. Dan itu pasti ada hubungannya dengan perjodohannya dengan Samran. Mengingat tadi ia mendengar namanya disebut. Dan baru saja, ibunya menanyakan Samran. "Nggak tuh, Buk. Ya ngobrol aja kayak biasanya. Nggak ada sesuatu yang spesial. Ngobrol biasa aja kok." Sora berusaha menjawab dengan santai dan biasa saja. Meski di dalam sana jantungnya juga dag - dig - dug tak keruan. "Tadi lho, Nduk. Bude Liza cerita." Bu Rahma pun memulai ceritanya dengan begitu berhati - hati. "Tadi katanya Bu Pangestutik main ke pasar. Terus bilang. Katanya dia habis dari orang pintar buat nanyain perhitungan jodoh kamu sama Samran menurut weton. Nah, hasilnya ... katanya perhitungan weton kalian, bukan yang terbaik. Kalau kayak gitu, berarti sama dengan Bu Pangestutik mengakhiri perjodohan itu, kan?" Bu Rahma berhenti dulu sejenak, untuk melihat reaksi Sora. Sora pun tertegun. Rasanya Seperi deja vu. Karena kejadian yang sama -- tentang kegagalan perjodohan -- bukan pertama kali ini ia alami. "Kok Samran nggak ngomong apa - apa, ya," jawab Sora akhirnya. Ekor matanya menangkap ada pesan baru di ponselnya. Ia menatap dengan lebih jelas. Seperti yang ia tebak, itu pesan dari Samran. "Nih, orangnya barusan kirim pesan lagi." Sora langsung membuka pesan itu lalu membacanya. "Isi kesannya juga masih nyambung dengan obrolan kami tadi. Nggak ada yang aneh." Sora memperlihatkan pesan itu lada ibunya. Yang membuat Bu Rahma heran. "Terus ... kenapa tadi Bu Pangestutik bilang begitu sama Bude Liza?" Sora pun berpikir keras. Kira - kira kenapa, ya? "Coba kamu tanya langsung aja deh sama Samran, Mbak. Kali aja dia bisa jelasin secara lebih jelasnya." Sora menggigit bibir bawahnya. "Aduh ... gimana, ya?" Sora bingung untuk mengawali obrolan itu dengan Samran. Ia pasti akan merusak suasana indah pada obrolan mereka sejak tadi. "Jangan - jangan Bu Pangestutik masih bilang sama orang tuanya Samran aja, Pak Hartawan sama Bu Harumi. Tapi orang tuanya belum pulang kerja. Akhirnya jadi belum ada yang kasih tahu Samran." Bu Rahma pun langsung membuat perkiraan. Sora mengangguk, menganggap opini ibunya cukup masuk akal. Tapi pikirannya juga mengingkari hal itu. "Tapi kan, Buk. Ada hp. Bisa dong Samran dikabarin lewat HP. Ini kan momen penting, Buk. Apa lagi Samran anak satu - satunya. Pasti dijaga banget kan sama orang tuanya. Kalau ada apa - apa, pasti langsung dikasih tahu, lah." Bu Rahma makin bingung. "Iya juga ya. Aduh ... terus gimana dong ini." Sora pun kembali menggigit bibir bawahnya. Semakin bingung harus bagaimana. Padahal sejauh ini semuanya indah. Tapi kenapa mendadak justru ada masalah seperti ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD