Malam menjelang, Zanna terbangun dari lelapnya. Menatap ke sekeliling sedikit bingung dengan suasana kamar yang ia tempati.
"Kau sudah bangun?" Sosok wanita menyapa. Zanna menoleh ke arah wanita tersebut yang ternyata berada dari Lisa.
"Kenapa aku ada di sini?" tanyanya.
"Tadi kau ketiduran dan aku meminta suamiku untuk memindahkanmu ke kamar ini. Em, sudah malam ... Ayo, kita makan malam bersama." ajak Lisa selanjutnya.
Zanna mengangguk dan mengikuti Lisa ke ruang makan. Di sana sudah ada Leo yang tersenyum ke arah mereka berdua.
"Bagaimana dengan perasaan mu? Apa sudah lebih baik?" tanya Leo.
"Em, iya." Sahut Zanna mendudukkan tubuhnya berhadapan dengan Leo.
Zanna melihat layar ponselnya seperti tengah mengecek sesuatu. Lantas setelahnya wajah wanita itu meredup.
"Apa Dareen tidak menghubungimu?" Tanya Leo.
Zanna terkejut bagaimana bisa Leo mengetahui apa yang sedang ia lakukan. Leo terkekeh sembari menerima sajian makanan yang diberikan istrinya.
"Sudah jangan pikirkan, makanlah! Aku akan mengantarkan mu pulang setelah ini." Lanjut Leo.
Zanna pun mengangguk dan memulai makan malamnya dengan tidak berselera, pikirannya melambung pada bayangan sang suami yang entah sekarang sedang apa bersama Friska hingga mengabaikan dirinya.
Dareen memilih kembali pulang, setelah mengantarkan Friska. Sedikit merasa aneh karena rumahnya masih terlihat gelap.
"Mungkin Zanna pergi bersenang-senang lagi." batinnya, karena itu sudah rutinitas Zanna sejak mereka menikah.
Dareen langsung membersihkan tubuhnya, menatap pantulan tubuhnya di dalam cermin. Entah mengapa dia merasa ada yang janggal terjadi. Dareen berusaha mengingat namun sayangnya sama sekali tidak bisa.
TING ... TONG ...
Suara bel berbunyi membuyarkan lamunan Dareen. Dengan cepat pria itu berjalan menuju ke arah pintu.
CKLEK!
Pintu terbuka, sontak membuat Dareen mengernyit heran. Bagaimana bisa Zanna pulang bersama Leo. Bahkan wanita itu belum mengganti bajunya.
"Ada apa dengan tatapan matamu itu? Minggirlah! Biarkan istrimu masuk!" Sarkas Leo.
Dareen memberikan jalan untuk Zanna. Tanpa berucap apapun Zanna langsung masuk ke dalam dan menuju ke kamarnya.
Dareen menatap sinis ke arah Leo. "Apa yang sedang kau rencanakan, Leo?! Aku tidak ingin kau menghianati Lisa."
Leo menyunggingkan sudut bibirnya, dan menepuk d**a bidang Dareen. "Jangan memikirkan hidup ku sobat! Pikirkan dirimu sendiri." Leo pergi dari hadapan Dareen setelah mengatakan hal itu.
Dareen merepalkan genggaman tangannya. "Sial!" Sembari memukul udara kosong.
Zanna selesai membersihkan dirinya, lalu turun ke lantai bawah menuju ke arah dapur.
"Apa kau sudah makan malam?" tanya Zanna tanpa memfokuskan pandangannya pada sang suami.
Dareen tak menjawab, menoleh sekilas ke arah Zanna lalu kembali memainkan layar ponselnya. Zanna mendengus kesal, berusaha bersikap sabar.
"Reen, apa kau mendengar suaraku?" Tanyanya sekali lagi.
"Aku tidak lapar." jawabnya.
Zanna mengangguk, dan tak melanjutkan aktifitasnya. Dia memilih mengambil segelas jus laku kembali menuju kamarnya. Namun baru saja dia melangkah menaiki tangga, suara Dareen mengintruksinya.
"Aku ingin bicara."
Zanna membalik badan dan berjalan menuju ke arah sang suami.
"Cepat, aku ingin tidur." titah Zanna, meletakkan segelas jus di tangan kanannya ke atas meja.
Dareen menatap tajam wajah sang istri yang terlihat santae menatap dirinya. "Sudah berapa kali aku mengatakan padamu. Jangan bermain dengan pria beristri. Leo sudah memiliki istri, dan kau--"
Zanna tersenyum tipis, sembari mencondongkan wajahnya mendekati wajah Dareen. "Sttt ... sebaiknya kau berkaca terlebih dahulu. Apa bedanya dengan Friska yang mendekati mu. Kau sudah punya istri, ingat itu."
Dareen terdiam, apa yang dikatakan Zanna itu benar. "Tapi kita tidak saling cinta. Kita hanya--"
"Jika begitu, tidakkah lebih baik kita tidak saling ikut campur urusan masing-masing. Biarkan aku melakukan apapun yang aku inginkan, begitu juga denganmu." Pungkas Zanna. Memilih pergi meninggalkan Dareen yang kini tengah menggerutu marah. Dia hanya tidak ingin Zanna menghancurkan hubungan keluarga Leo. Tak apa jika wanita itu mendekati pria lain asal kan jangan sahabatnya.
Keesokan paginya, Zanna sudah selesai dengan acara memasak sarapan pagi untuk Dareen. Biar bagaimanapun dia akan belajar menjadi seorang istri. Meski hubungan mereka jauh dari kata sepasang suami-istri.
Dareen berjalan menuruni tangga dan sedikit terkejut karena melihat banyak makanan terjajar di atas meja. Zanna memasak? Begitulah kira-kira isi pikiran Dareen.
Zanna menoleh ke arah tangga saat mendengar suara langkah kaki. "Kau sudah bangun? Kemarilah ... aku sudah memasak makanan kesukaanmu." tuturnya dengan senyuman manis. Dareen tertegun, terpana dengan senyuman Zanna. Begini kah rasanya memiliki seorang istri? Dia akan memasak sarapan pagi dan tersenyum menyambut kedatanganmu.
"Kenapa berhenti?" heran Zanna.
Dareen segera menggelengkan kepalanya dan bergegas turun menuju ke ruang makan. Tatapan matanya tertuju pada banyaknya makanan yang terlihat sangat lezat di hadapannya.
"Sejak kapan kau bisa memasak?" Tanya Dareen.
Zanna mengerucutkan bibirnya. "Aku belajar masak beberapa Minggu terakhir. Semoga saja rasanya tidak mengecewakan. Aku memasak makanan kesukaanmu, meski rasanya jauh berbeda dengan masakan mama."
Dareen mengangguk antusias, dia segera mengambil salah satu menu kesukaan nya. Ayam panggang mentega. Mengirisnya sedikit lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Matanya terpejam menikmati rasa nikmat dari setiap gigitan daging ayam di dalam mulutnya.
Zanna sedikit was-was karena takut dengan hasil masakannya. "Ba-bagaimana? Apa tidak enak?" tanya Zanna khawatir.
Dareen membuka kedua matanya lebar dan tersenyum ke arah sang istri. "Ini sangat enak. Aku menyukainya, jika kau memasakkan ku setiap hari, aku yakin tidak akan makan di luar lagi." tawa Dareen, sembari memakan lahap ayam goreng di hadapannya.
Zanna menahan senyumannya, hanya mendengar pujian dari Dareen rasanya sudah ingin melayang. Ada apa dengan dirinya?
Mereka pun melanjutkan acara sarapan bersama diiringi dengan canda tawa.
Diam-diam Dareen mencuri pandang wajah Zanna. 'Kenapa aku baru menyadari jika Zanna sangat cantik.' gumamnya.
DRTTT ... DRTTT ...
Ponsel Dareen bergetar, dia melihat ke arah layar ponselnya. Tertera nama Friska di sana namun entah mengapa Dareen tidak ingin menghiraukan panggilan dari kekasihnya itu. Hari ini Dareen ingin menghabiskan waktunya bersama Zanna.
"Kau tidak berkerja?" tanya Zanna, sembari membereskan bekas piring kotor ke dalam wastafel.
"Aku masuk siang hari ini. Apa kau ada acara hari ini?" tanya Dareen balik.
"Tidak." Singkat Zanna.
"Mau ikut denganku?" Tanya Dareen lagi.
Zanna menghentikan acara mencucinya dan menatap ke arah sang suami. Ini kali pertama Dareen mengajak dirinya ikut ke kantor. "Apa tidak apa-apa? Bagaimana dengan Friska?"
Dareen tersenyum. "Dia sedang sibuk dengan acaranya sendiri."
Zanna tersenyum kecut, kenapa di sini dirinya yang merasa sebagai orang ketiga padahal dia istri sah Dareen.
"Baiklah." singkat Zanna.
Pukul 09:00.
Zanna bersiap-siap begitu juga dengan Dareen.
"Sudah siap?" Tanya Dareen.
"Em." angguk Zanna, mereka pun berlanjut pergi ke kantor bersama.
Beberapa menit akhirnya merekapun sampai. Berpapasan dengan Leo di loby kantor. Zanna dan Dareen menghentikan langkahnya begitu juga dengan Leo. Dareen menarik sudut bibirnya, dan berkata.
"Aku akan menjaga wanita ini agar tidak mengganggu hubungan mu dengan Lisa."
Zanna mendorong tubuh Dareen. Dia tersinggung dengan perkataan menyakitkan yang diucapkan Dareen. "Jadi ini alasan mu mengajakku pergi ke kantor? Kau hanya takut aku mengganggu Leo?"
Leo merepalkan kedua tangannya, ingin rasanya memberikan pukulan pada pria di hadapannya itu. Hatinya sakit melihat raut kecewa di wajah Zanna. Tanpa berucap sepatah kata apapun, Leo langsung merengkuh tubuh Zanna.
Dareen sangat syok dengan apa yang dilakukan sahabatnya itu. "Apa-apaan ini?!" Marahnya.
Zanna mendorong pelan tubuh Leo, dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia pikir hubungannya dengan Dareen akan lebih baik tapi nyatanya pria itu sama saja. Zanna tak berarti di mata Dareen.
Leo menghubungi Lisa, meminta sang istri untuk menemui Zanna. Wanita itu butuh teman saat ini.
Zanna berjalan tak tentu arah, hatinya hancur tak berbentuk. Tak ada motivasi hidup di dalam dirinya. Tak berapa lama sebuah mobil berhenti di samping Zanna.
Zanna memicingkan matanya melihat siapa yang ada di dalam mobil tersebut.
"Butuh tumpangan?" sosok pria tampan tersenyum ke arahnya.
Zanna diam, dia tidak mengenal pria ini. Ia memilih melanjutkan langkahnya. Mobil itu melaju pelan mengiringi langkah Zanna.
Zanna kesal akhirnya memilih duduk di halte bus. Mobil itu juga berhenti dan sosok di dalamnya keluar, lalu berjalan menuju ke arah Zanna. Tanpa meminta izin pada Zanna, pria tersebut duduk di sampingnya.
Zanna tak peduli, dia sibuk berperang dengan perasaannya.
"Apa kau sedang ada masalah?" tanya pria itu.
Zanna tak menjawab, dia mengalihkan pandangan matanya.
"Hapus air matamu, jangan sampai semua orang mengira aku telah menyakiti wanita secantik dirimu." sosok pria itu memberikan saputangan berwarna putih untuk Zanna.
Zanna menatap tak suka ke arah pria di sampingnya. Namun menerima saputangan pemberian pria tersebut. Pria itu tersenyum dan menatap jalanan di depannya.
"Aku pikir hanya aku saja orang paling menyedihkan di dunia ini. Tapi setelah melihatmu, aku percaya jika semua orang punya kesedihan masing-masing." ucapnya.
Zanna menoleh kearah pria disampingnya. Mendengarkan celotehan pria tersebut.
Pria itu merasa diperhatikan menoleh ke arah Zanna dengan senyuman tampannya. "Boleh aku bercerita tentang hidup ku padamu? Aku butuh teman curhat."
Entah mengapa Zanna mengangguk, dia merasa simpati pada pria di sampingnya. Walaupun mereka belum mengenal satu sama lain. Tapi Zanna dapat melihat jika pria itu bukan pria jahat.
"Kekasihku memilih kembali dengan kekasih lamanya. Padahal kita sudah berencana akan melangsungkan pernikahan." lanjut pria itu.
Zanna masih diam. Menatap sedih wajah pria di sampingnya. Dia hanya ingin menjadi pendengar untuk saat ini karena hatinya juga tak kalah hancur.
"Aku sangat mencintainya, namun dia memilih pergi. Padahal pria yang dia dekati sudah memiliki istri. Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan istrinya saat ini." Kekeh pria itu.
Zanna semakin tertarik dengan cerita pria di sampingnya itu. Karena dia dapat merasakan perasaan sosok yang pria itu tengah ceritakan.
"Jika kau mencintai kekasih mu, kenapa kau membiarkan dia pergi?" tanya Zanna pada akhirnya.
Pria itu tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku harus berjuang jika orang yang aku perjuangkan tidak menganggap keberadaan ku."
Zanna menunduk, hatinya tercubit mendengar penuturan pria tersebut. "Kau benar, hanya orang bodoh yang mau bertahan dengan hubungan toxic."
Pria itu melirik sedikit ke arah Zanna. "Apa kau memiki masalah yang sama miris nya denganku?"
Zanna tersenyum dan kembali menitikkan air mata. "Lebih menyedihkan dari masalah yang kau rasakan."
"Benarkah? Kau wanita tangguh sepertinya." Kekeh pria itu.
Zanna ikut tersenyum. "Benar, aku wanita tangguh sekaligus bodoh. Hanya wanita bodoh yang mau bertahan dengan hubungan tanpa ada kepastian seperti diriku."
Pria itu diam, menunggu kelanjutan ucapan wanita cantik di sampingnya. "Jangan menganggap dirimu bodoh, bukan dirimu yang bodoh tapi pasanganmu."
"Aku sudah menikah tapi rasanya aku belum mengerti apa arti dari makna pernikahan."
"Kalian saling mencintai?"
"Tidak." Sahut Zanna.
Pria itu semakin heran dengan Zanna, wanita itu menikah namun tidak saling mencintai. Pernikahan macam apa itu?
"Apa karena perjodohan?" tanya pria itu lagi.
Zanna bingung harus menjawab apa. Pasalnya memang benar dia menikah karena perjodohan namun di sisi lain pernikahan itu terjadi atas persetujuannya. Jika saja dia menolak mungkin kedua orang tuanya juga akan kembali berpikir. Lalu siapa yang salah di sini? Karena keputusan tanpa berpikir panjang Zanna dan Dareen, mereka berdua terjebak dalam hubungan ini.