04. Sakit dalam diam

1737 Words
Keesokan paginya, Dareen terbangun merasakan kepalanya teramat pening. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi pada dirinya semalam, terkahir kali dia mengingat bersama Friska lalu bagaimana bisa dirinya sekarang ada di rumah? Akh, Dareen memutuskan untuk segera membersihkan diri. Sedang Zanna kini tengah sibuk dengan kegiatannya di dapur. Tubuhnya terasa remuk selepas kegiatan semalam. Sembari memasak wanita itu memikirkan apakah Dareen mengingat apa yang terjadi semalam pada mereka? "Zanna? Tumben sekali kau masak." Sapa Dareen yang terlihat menuruni tangga. Zanna sedikit menegang, bayangan tentang Dareen semalam kembali memenuhi otaknya namun dengan cepat dia menetralkan ekspresinya dan tersenyum. "Kau tidak berkerja?" tanyanya. "Tidak, hari ini aku ambil cuti. Papa yang menghandle pekerjaan kantor." Sahut Dareen. Berlanjut duduk di ruang makan. "Zanna, apa kau tau siapa yang mengantarkan ku pulang semalam?" tanya Dareen. Zanna menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah sang suami. "Tidak, memangnya siapa?" tanyanya penasaran. Dareen berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menghampirinya sang istri. "Aku ingin bercerita sesuatu padamu." Ucapnya sembari tersenyum. Zanna ikut tersenyum lalu mengangguk. "Ceritakan padaku, bukankah kau menganggap ku sebagai temanmu?" Dareen mengangguk dan mendudukkan tubuhnya di pantri dapur. "Apa kau mengingat Friska?" Zanna mengerutkan keningnya. "Bukankah dia kekasihmu saat masih sekolah?" "Benar sekali. Semalam aku bertemu dengannya dan menghabiskan waktu dengan nya." Zanna menunduk segera melanjutkan kegiatannya mengiris daun bawang. Jemarinya bergetar, hatinya terasa gundah. Entahlah, dia rasanya ingin protes pada suaminya mengenai haknya sebagai seorang istri. "Aku!" Tanpa sengaja jemari Zanna terkena pisau. "Ssshh ..." Air mata mengalir dari pelupuk matanya. Bukan karena sakit akibat luka di jemarinya melainkan luka di dalam hatinya. Dareen terkejut dan segera meraih tangan Zanna, mengulum jemari Zanna yang terlihat berdarah. "Kenapa kau tidak hati-hati, astaga. Jika tidak bisa memasak, sebaiknya memesan makanan saja seperti biasa. Jangan melukai dirimu sendiri." Zanna semakin meledakkan tangisannya, hatinya mendadak sensitif. Ucapan Dareen semua terkesan salah di pendengarannya. "Apa kau pikir aku tidak pecus menjadi seorang istri, hah?! Kau selalu menganggap ku tidak berguna!" Zanna berlari menuju ke kamarnya. Membiarkan Dareen kebingungan di lantai bawah. "Ada apa dengannya? Tidak biasanya dia tersinggung dengan ucapan ku." Dareen menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia meraih ponselnya dan menghubungi Friska. Dareen sengaja mengambil cuti hanya karena ingin jalan-jalan dengan kekasihnya. Zanna mengobati luka di jemarinya sembari menangis sesenggukan. "Ada apa dengan ku? Apa aku sudah tidak waras? Untuk apa aku menangis hanya karena luka kecil seperti ini!" Omelnya, berusaha menepis rasa sakit di dalam hatinya. Tak lama Dareen masuk ke dalam kamar mereka. "Apa kau sudah mengobati lukamu? Ah, iya. Aku minta maaf sudah menyinggung perasaan mu. Eum, aku juga sudah memesan makanan di bawah, jika kau lapar makanlah. Aku akan keluar sebentar." Zanna menoleh sinis ke arah sang suami. "Kau mau kemana?" tanyanya. "Kencan dengan Friska. Jangan bilang pada kedua orang tua kita, jika kau ingin berkencan dengan kekasihmu aku juga akan tutup mulut." Dareen berpose mengunci mulutnya sendiri. Zanna hanya diam mengamati sang suami yang terlihat sangat antusias dengan kencannya. "Sebenarnya apa arti pernikahan kita, Reen?" Lirih Zanna. Dareen terdiam, mendekati tubuh sang istri. "Ada apa denganmu, hm? Bukankah aku sudah pernah menjawabnya?" Sahut lembut Dareen, karena merasa jika Zanna tidak baik-baik saja. Namun dia tidak peka jika penyebab kediaman sang istri tak lain adalah dirinya. "Jika aku ingin kau tetap di rumah, apa kau akan tetap pergi?" Tanya Zanna dengan tatapan penuh kesakitan. Dareen tersenyum. "Maafkan aku, aku tidak bisa membatalkan janjiku dengan Friska. Em, begini saja ... bagaimana jika kau ikut dengan ku? Aku hanya ingin jalan-jalan saja." "Apa kekasihmu tidak keberatan?" Dareen menggeleng cepat. "Dia sudah tahu mengenai hubungan kita, Friska tidak akan marah padaku. Dia sangat percaya dan mengerti diriku." Zanna mengangguk, entah mengapa dirinya merasa begitu bodoh. Kenapa dia harus ikut dengan mereka? Bukankah hanya akan menyakiti perasaannya? Friska sampai di kediaman Dareen, dia tersenyum melihat Zanna yang berdiri di samping Dareen. Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Zanna. "Perkenalkan, aku Friska." Zanna tersenyum dan menyambut tangan putih Friska. "Zanna." "Baiklah, bagaimana jika kita berangkat sekarang." ajak Dareen kemudian. Mereka pun berangkat menuju ke salah satu wahana permainan. Zanna duduk di kursi belakang sedang Dareen dan kekasihnya duduk di bangku depan. Sesampainya di tempat yang mereka tuju, Dareen langsung menggandeng tangan Friska, berjalan masuk ke wahana permainan. Sedang Zanna mengekor di belakang mereka bak pengawal tak dianggap. "Reen!!" tak jauh dari sana terlihat sosok pria memanggil Dareen. Mereka bertiga menoleh ke sumber suara dan di sana ada Leo. "Leo?! Kau tidak masuk kerja?" tanya Dareen. Leo berlari kecil menghampiri mereka bertiga. "Ayahmu sangat baik, dia memberikan cuti untuk ku karena bosku tidak masuk kerja." Kekehnya. Dareen mengangguk. "Kau sendirian?" Leo mengangguk dan melihat ke arah Friska dan Zanna. "Iya, anak istriku sedang ke luar kota. Kau--" menunjuk ke arah Friska. "Ah, kenalkan dia Friska, kekasihku." Leo membolakan matanya lebar, apa dia tidak salah dengar? Dareen membawa gadis lain di depan mata istrinya? "Ck, ada apa denganmu? Ayo masuk, bergabung dengan kami." Dareen menarik lengan Leo. Leo menatap iba ke arah Zanna, dapat dia lihat jika wanita itu sedari tadi hanya diam dan melamun. Hanya pria bodoh yang tak melihat kesakitan terpancar dari kedua mata Zanna. Mereka berempat memutuskan untuk duduk di depan kedai. "Kau ingin memesan apa?" tanya Dareen, tersenyum menatap penuh puja ke arah Friska. "Minuman dingin saja." Sahut Friska. Dareen mencubit kecil hidung bangir Friska, dia begitu gemas dengan kekasihnya ini. Leo hanya diam menatap interaksi sahabatnya, tak habis pikir dengan ulah Dareen. Bagaimana bisa dia bermesraan di depan Zanna? "Zanna, kau mau pesan apa?" Tanya Leo, dia hanya merasa kasihan pada wanita ini. Zanna terlihat sedikit kaget dengan tawaran Leo, terlihat Zanna tengah menahan tangisan dalam diam. "A-aku mau ke toilet sebentar." Tanpa menunggu sahutan dari Leo, Zanna berlari menuju toilet di sana. Leo mengikuti kepergian Zanna, dia hanya khawatir pada wanita tersebut. Dan benar saja, ternyata Zanna tidak pergi ke toilet melainkan tempat sepi. Wanita itu menangis sembari membekap mulutnya sendiri, tubuhnya bergetar. Leo mendengus kesal dia membalik badan dan membeli tisu di kedai terdekat. Lalu menghampiri Zanna lagi. "Usap air matamu, apa kau tidak malu menangis di tempat ramai seperti ini?" Sembari menyodorkan tisu ke arah Zanna. Zanna diam, menoleh ke arah Leo. Dengan cepat dia mengusap air matanya menggunakan punggung telapak tangan. "Ck, gunakan tisu ini! Wajahmu bisa terluka jika kau menggunakan tanganmu!" Kesal Leo, tanpa menunggu persetujuan dari Zanna pria itu mengusap air mata wanita tersebut. Zanna hanya pasrah, air matanya tak bisa berhenti. Justru semakin menjadi. "Hik ... hik ... jangan katakan pada Dareen jika aku menangis." isaknya. Leo menghela napas dan mengangguk lalu merengkuh tubuh Zanna, membiarkan wanita itu menangis di pelukannya. "Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian? Ceritakan padaku. Aku berjanji akan menjadi pendengar untuk mu, aku tidak akan mengatakan apapun pada Dareen, meski aku sahabatnya." Tutur Leo, mengelus belakang kepala Zanna. Dia sudah menganggap wanita itu sebagai adiknya sendiri. Zanna tak bisa berkata-kata, dia hanya ingin menangis tanpa alasan pasti. Berperang dengan perasaannya sendiri. Setelah beberapa detik akhirnya Zanna bisa sedikit tenang. Leo pergi sebentar membeli minum untuk wanita tersebut. "Sudah lebih baik?" Tanya Leo, menyodorkan sekaleng minuman untuk Zanna. Zanna tersenyum dan menerima pemberian Leo. "Terima kasih." ucap Zanna, menyeruput minuman di tangan kanannya. "Kenapa kau menangis? Apa Dareen menyakiti mu?" Tanya Leo selanjutnya. Zanna menunduk dan menggeleng pelan. "Tidak, aku sendiri tidak mengerti kenapa aku menangis. Apa aku salah jika merasa sakit saya melihat Dareen bersama dengan Friska?" Leo mengelus punggung Zanna. "Tidak, itu hal yang wajar. Seorang istri pasti akan merasa kecewa jika melihat suaminya bersama dengan wanita lain." "Tapi kau tidak mengerti bagaimana hubunganku dengan Dareen. Kami tidak saling mencintai." "Lalu kenapa kalian menikah, hm?" Zanna diam, dia pikir pernikahan tidak akan serumit ini namun nyatanya semua salah. Pernikahan hanya membuatnya tersiksa. "Apa aku harus bercerai?" "Hei! Apa yang kau katakan? Pernikahan bukan untuk permainan. Pahami dirimu, bicaralah pada Dareen tentang apa yang kau rasakan." Zanna tersenyum getir tak ingin menjawab lagi ucapan Leo. Setelah sedikit berbincang, mereka pun kembali menuju ke tempat Dareen dan Friska. "Kalian darimana saja?" Tanya Friska, saat melihat Leo dan Zanna menghampirinya. "Oh, mencari angin segar." Sahut Leo. Zanna memilih diam menyembunyikan wajah sembabnya. Tak menyadari tatapan tak suka dari Dareen. "Ada apa dengan tatapan matamu itu?" Kekeh Leo. "Kau tidak macam-macam kan?" cerca Dareen. "Apa maksudmu?" Bingung Leo. "Ingat, kau sudah punya istri." Zanna mendongakkan wajahnya, tak bodoh bagi Zanna untuk tidak mengerti arah perkataan sang suami. "Apa kau pikir aku merayu Leo?" tanya Zanna sedikit emosi. Suasana hatinya sedang tidak baik dan pria itu justru memancing emosi nya. "Aku hanya tidak ingin rumah tangga sahabatku rusak karena mu." Tawa Dareen, bermaksud bercanda namun tak tahu situasi yang dialami Zanna. BRAKK! Zanna menggebrak meja di hadapannya, lalu memilih pergi meninggalkan mereka. Leo mengusak rambutnya frustasi, kenapa sahabatnya ini sangat bodoh?! "Kau ini benar-benar!" kesal Leo, berlari mengejar Zanna. Dareen terbengong melihat ke arah Friska. "Aku hanya bercanda, kenapa dia marah? Apa mungkin Zanna sedang pms?" gerutunya. Berbeda dengan Friska yang tampak sedikit murung. Dia seorang wanita, dan jelas mengerti apa yang sedang dirasakan Zanna. Sejujurnya Friska merasa bersalah, dia datang dan menjadi orang ketiga hubungan Dareen. "Sayang, kenapa? Apa kau tidak enak badan?" Panik Dareen, meletakkan punggung telapak tangannya di kening sang kekasih. Friska segera menghindar dan tersenyum canggung. "Tidak, aku baik-baik saja. Em .. bagaimana kalau kita pulang saja. Sepertinya Zanna sedang bersedih." "Ck, dia memang seperti itu. Sudah jangan pikirkan lagi, lagian Leo juga sudah menemaninya. Aku hanya ingin menghabiskan waktu ku dengan mu." Friska mengangguk, menuruti kemauan sang kekasih. Di sisi lain Leo, meraih tangan Zanna. "Lepaskan! Apa yang dikatakan Dareen benar! Jangan dekati aku! Aku hanya akan menjadi benalu bagi semua orang!" marah Zanna. Leo segera menarik tubuh Zanna dan memeluk nya erat. Berharap wanita itu sedikit tenang. "Sttt ... Jangan bicara lagi. Ikut denganku, nanti ku kenalkan dengan istriku." Zanna kembali menangis sampai tubuhnya melemas. Leo membawa Zanna pulang. Seperti janjinya, dia mengenalkan Zanna pada sang istri. Menceritakan semua apa yang tengah terjadi pada wanita tersebut pada sang istri. Lisa, istri Leo. Meraih tubuh ringkih Zanna dan membawanya dalam pelukan hangat. "Wanita malang, kenapa kau harus menderita seperti ini, hm?" iba Lisa, merasa prihatin pada Zanna. Lisa merupakan wanita yang memiliki sifat lembut, sama halnya dengan Leo. Leo tersenyum, bangga akan sikap sang istri. "Sayang, aku harap kau bisa membantu Zanna. Kasihan dia, harus menahan sedih setiap melihat suaminya dengan gadis lain." Bisiknya. Lisa mengangguk dan menunjuk ke arah Zanna yang tengah tertidur di pelukannya. "Bantu aku memindahkan tubuh Zanna."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD