06. Memilih berpisah.

1728 Words
Semakin hari Zanna dan pria yang tempo hari wanita itu temui semakin akrab. Siapa pria itu? Yah! Dia adalah Michael. Pria asing yang menawarkan kebaikan secara tiba-tiba untuk Zanna, terdengar aneh namun itulah kenyataannya. Pria baik yang dikirimkan untuk Zanna menjadi teman bertukar cerita. Zanna tak lagi merasa kesepian semenjak bertemu dengan Michael. "Apa yang membuat adik kecil ku ini terlihat begitu sumringah, heh?" canda Lisa, melihat Zanna sibuk dengan layar ponselnya diiringi dengan senyuman yang tertera di bibir gadis tersebut. "Aku punya teman baru, dia sangat baik padaku." bisik Zanna, selama hidupnya dia tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini. Atau mungkin karena dirinya terlalu lama terjebak dalam belenggu pernikahan? "Benarkah? Siapa dia?" Tanya Lisa antusias. "Michael, aku bertemu dengannya tanpa sengaja beberapa hari yang lalu." Lisa tersenyum dan memeluk tubuh Zanna penuh kasih sayang. Bersyukur sekali wanita karena Zanna bisa kembali tersenyum. "Hari ini aku mau bertemu dengannya." tutur Zanna lagi. "Kau tidak pulang?" Tanya Z pasalnya Zanna sering tinggal di kediamannya akhir-akhir ini, dengan alasan malas melihat Dareen bersama Friska setiap waktu. "Kak." panggil Zanna. Lisa mengangkat dagunya sekilas, menjawab panggilan Zanna. "Apa aku harus bercerai dengan Dareen? Aku bosan hidup seperti ini bersamanya." "Pikirkan baik-baik, ok. Keputusan ada di tanganmu." Ucap Lisa mengelus belakang kepala Zanna lembut. . . Dareen terbangun dari tidurnya, melihat ke arah samping biasanya Zanna ada di sana namun sudah dua hari ini wanita itu menginap di kediaman Leo. Pikiran Dareen melambung entah kemana, dia khawatir jika Zanna berani melakukan hal yang tidak-tidak dengan sahabatnya. "Akkh, tidak mungkin. Leo tidak mungkin menghianati istrinya." Dareen mengusak rambutnya kasar. Dia memilih bangun dan segera membersihkan diri. Lalu kembali bekerja seperti biasanya. Dia merasa seperti ada yang kurang semenjak Zanna tidak ada di rumah. Entah apa itu, Dareen pun juga tak tahu. Dan terlebih dia juga malas bertemu dengan Friska, semakin hari menjalani hubungan dengan gadis itu semakin pula Dareen bisa melihat sift Friska. Gadis itu terkesan seperti hanya mencintai hartanya saja. Bahkan Dareen sekarang sudah jarang memberikan uang untuk Zanna. CKLEK! Dareen menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Zanna masuk ke dal rumahnya. Tanpa menghiraukan keberadaan Dareen. "Kau sudah pulang?" Tanya Dareen dengan bodohnya. Zanna sedikit terkejut lalu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hari ini dia ingin cepat bertemu dengan Michael. Ada yang ingin dia ceritakan dengan teman barunya itu. Dareen menatap sedih ke arah Zanna yang kini sudah menaiki tangga. Ingin rasanya meminta maaf pada istrinya namun ras gengsi di dalam hatinya terlalu mendominasi. "Ck, bagaimana caranya menyalakan kompor?" Lirih Dareen, hendak membuat kopi namun air di dalam dispenser sudah habis. Dia lupa tidak mengisinya. Biasnya Zanna yang menghandle semua kebutuhan rumah. Zanna selesai dengan persiapannya, dia segera menghubungi Michael. Sembari menunggu, Zanna menuruni tangga menuju ke lantai bawah. "Kau mau kemana?" Tanya Dareen, melihat penampilan cantik Zanna pagi itu. "Keluar." Hanya satu kata yang keluar dari bibir Zanna. Dia malas berbicara dengan Dareen. "Kemana?" penasaran Dareen. "Apa itu penting?" tanya balik Zanna. "Kau istriku! Aku berhak tahu kemana kau pergi!" Dareen sedikit meninggikan suaranya. "Oh, sejak kapan kau menganggap ku sebagai istrimu? Ingat, pernikahan kita hanya tertulis di atas kertas. Selebihnya tidak ada yang penting lagi." Dareen berjalan mendekati Zanna. Mencengkram kedua bahu wanita tersebut membuat Zanna sedikit meringis. "Setidaknya kita tetap bersama demi orang tua kita." "Apa kau pernah memikirkan perasaanku?" lirih Zanna. "Aku lelah, aku tersiksa. Aku tidak tahu arah, aku tidak memiliki tujuan hidup." Dareen melepaskan cengkraman tangannya perlahan. Tatapan mata Zanna yang memancarkan kesedihan terlihat jelas. Dan itu membuat hati Dareen berdenyut nyeri melihatnya. Dareen tak bisa berkata-kata, ucapan Zanna sudah mewakili semuanya. "Reen, tidakkah sebaiknya kita bercerai saja? Demi kebaikan kita berdua. Kau bisa hidup bahagia dengan gadis pilihanmu. Begitu juga dengan diriku." Dareen meluruhkan tubuhnya. "Bagaimana dengan orang tua kita?" "Mereka pasti akan mengerti." Zanna memilih pergi dari hadapan Dareen. Dia tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Dareen menjambak rambut nya frustasi. Rasanya sulit sekali untuk menerima permintaan Zanna. Dia tidak menganggap Zanna sebagai istrinya namun dia juga tidak ingin kehilangan wanita tersebut. Apa sebenarnya yang Dareen inginkan? Apakah dia terlalu egois? Zanna menunggu kedatangan Michael di sebuah taman tak jauh dari rumahnya. Dia teringat dengan ucapannya saat di rumah. Apa benar ini keputusan yang harus dia ambil? "Apa yang kau lamunkan?" Zanna menoleh cepat ke arah samping. Di sana Michael sudah berdiri entah sejak kapan. Bodohnya Zanna yang tak menyadari keberadaan pria tersebut. "Tidak ada." Sahut Zanna. Michael terkekeh geli dan ikut mendudukkan tubuhnya di samping Zanna. "Cerita padaku jika kau banyak masalah." Zanna tersenyum, menatap jauh pemandangan di hadapannya. "Aku baru saja meminta untuk berpisah dengan suamiku." Michael terkejut sembari membuka mulutnya kecil. "Apa kau bercanda? Pikirkan baik-baik, Zanna. Apa benar kau tidak memiliki rasa apapun pada suami mu?" Zanna menunduk dan menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak. Itu sudah keputusanku." Michael mengangguk, sepertinya dia tidak bisa melakukan apapun. Itu sudah keputusan Zanna. Biarkan wanita itu yang menentukan jalan hidupnya. "Zanna." Panggil Michael. "Hm?" Zanna menoleh ke arah sang pria. "Apa kau tidak pernah melakukan hal itu bersama suami mu?" Tanya Michael canggung. Zanna terdiam, sejujurnya dia malu bercerita masalah itu. Namun dia harus mengatakannya pada Michael. Karena memang kejadian itu tidak pernah ia sengaja. "Pernah." Michael tersentak dengan kedua mata melotot. "K-kau bilang tidak pernah mencintai suami mu. Lalu bagaimana bisa kau melakukan hal itu, akhh! Aku tidak bis berpikir." "Dengarkan aku! Aku tidak sengaja melakukan semua itu. Dareen pun tidak menyadari jika dia pernah merenggut kegadisan ku!" Kesal Zanna. "Bagaimana bisa?" Tanya Michael dengan tampang polosnya. "Dia sedang mabuk, hanya aku yang mengetahui kejadian pada saat itu." lirih Zanna. Michael menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku juga sering mabuk, tapi aku selalu ingat dengan apa yang owrnyaku lakukan." Gumam Michael. Zanna mendengar gumaman pria di sampingnya. Jika Dareen juga mengingat apa yang pernah dia lakukan padanya, kenapa pria itu tidak pernah menayangkan perihal apa yang sudah terjadi? Kenapa Dareen hany bersikap seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka berdua? "Hah, lupakan. Bagaimana kalau kita pergi ke kafe milikku saja?" Usul Michael. Zanna pun mengangguk antusias dan mereka pun memutuskan untuk pergi. Tanpa menyadari jika Dareen sedari tadi mengawasi mereka berdua dari jarak jauh. Pria itu terlihat tengah menahan emosi dengan kedua tangan merepal erat. "Karena pria itu kau meminta berpisah dariku?" batin Dareen. . . . Dareen terlihat tengah duduk di atas kursi kebesarannya. Sembari memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Tak lama Leo datang dan duduk di sofa tak jauh dari tempat duduk Dareen. "Ada masalah, Sobat?" "Hm." Gumam Dareen dengan mata terpejam. "Apa karena Zanna?" tebak Leo. Dareen membuka matanya dan melihat ke arah sang sahabat. "Aku tidak tahu kenapa ku selalu memikirkan Zanna. Dan terlebih tadi dia meminta berpisah denganku." Leo menarik sudut bibirnya. "Jika kau tidak mencintai nya lepaskan saja." Santai Leo. "Aku tidak bisa." "Kau egois." Kekeh Leo menertawakan sikap sahabatnya yang terbilang sangat pengecut. "Aku tidak bisa melepaskan Zanna." Lanjut Dareen. Leo memicingkan matanya. "Kenapa? Bukannya kau sendiri yang mengatakan jika tidak memiliki perasaan pada Zanna?" "Ada alasan lain yang membuatku tidak bisa melepaskannya." Leo mendengus kesal, akhir-akhir ini Dareen sering sekali menyembunyikan sesuatu darinya. Dia seperti tidak lagi mengenal Dareen sahabatnya yang dulu. Leo mengabaikan ucapan Dareen yang hanya membuat dirinya pusing. Lalu merogoh saku jasnya mengambil ponsel. Menghubungi seseorang di kejauhan sana. "Apa kau bersama Zanna?" Tanya Leo. " ... " "Aku ingin bertemu denganmu." " ... " "Baiklah, antarkan dia pulang dan temui aku di restoran XX." Leo menutup sambungan telponnya dan kembali ke ruangan pribadinya. . . Leo menunggu kedatangan sosok yang baru saja dia hubungi. Beberapa menit kemudian sosok tersebut datang dan langsung duduk di hadapannya. "Apa kau menunggu lama?" tanyanya. "Tidak, apa Zanna tahu jika kau mengenalku?" tanya Leo. "Tentu saja tidak, apa kau pikir aku sebodoh itu? Ah, ngomong-ngomong aku juga mulai tertarik dengan wanita itu." "Jangan macam-macam! Aku tidak menyuruhmu untuk menyukainya. Aku hanya menyuruhmu menghibur perasaannya saja!" Kesal Leo. Di balas kekehan renyah dari sosok pria di hadapannya. Yah, sosok itu tak lain adalah Michael, pria yang menjadi teman baik Zanna. Bukan tanpa alasan Michael hadir tanpa sengaja di kehidupan Zanna. Leo hanya ingin melihat Zanna tersenyum. Dan tidak memikirkan Dareen lagi. "Aku merasa ada yang janggal di sini." Michael mengatakan. "Janggal? Maksudmu?" tanya Leo. "Zanna bercerita padaku, jika Dareen pernah berhubungan dengan nya saat pria itu sedang mabuk. Menurut penilaian ku, sepertinya Dareen mengingat semuanya. Tapi aku tidak tahu kenapa dia tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Zanna. b******n sekali." Leo terdiam, dia memikirkan perkataan pria di hadapannya. Jika di pikir apa yang Michael katakan benar juga. "Dekati Zanna, aku ingin melihat reaksi Dareen." Pinta Leo. "Jika aku mencintai Zanna bagaimana? Kau selalu saja memerintahkan hal sulit padaku." "Jika kau mencintai Zanna, maka aku tidak akan membayar gaji mu." "Kejam sekali." Keluh Michael. . . Zanna memutuskan untuk pergi ke kediaman orang tuanya. Dia ingin mengatakan jika ingin mengakhiri hubungannya dengan Dareen. "Apa? Jangan main-main dengan ucapan mu, Nak! Apa kau sedang bertengkar dengan suami mu?" tanya sang ibu. "Ma, selama ini aku tidak pernah bahagia dengan kehidupan pernikahan ku. Aku lelah, Ma." "Apa maksudmu, Nak? Selama ini kau dan Dareen terlihat baik-baik saja." "Itu hanya sebuah kebohongan. Kami tidak pernah saling mencintai. Bahkan Dareen juga memiliki kekasih sekarang ini." Ibu Zanna terkejut dan mengguncang kedua bahu sang putri. "Jadi ini alasan mu ingin berpisah dengan Dareen? Dia berani selingkuh darimu?!" Emosi sang ibu. "Ck, Mam. Bukan seperti itu. Aku dan Dareen tidak saling memiliki perasaan. Bahkan aku juga tidak melarang dia memiliki kekasih." Hah! Rasanya orang tua Zanna sudah frustasi. Tak mengerti lagi dengan apa yang terjadi dengan rumah tangga putrinya. Dareen pulang selepas kerja, dia mencari keberadaan Zanna. Lalu menghubungi Leo, barang kali istrinya ada di sana. Namun ternyata tidak, Zanna tidak ada di rumah Leo. Apa dia pergi bersama pria asing yang baru di lihatnya tadi pagi? Batin Dareen gelisah. Ting ... Tong .. Dareen segera membuka pintu. "Zanna? Aku dari mana?" Tanya khawatir Dareen. Zanna menarik lengan Dareen mengajak pria itu duduk. Wajah Zanna terlihat begitu antusias. "Aku sudah bicara dengan ibuku. Jika kita akan segera berpisah. Sekarang giliran mu, Bicaralah pada kedua orang tuamu jika kita tidak saling mencintai." Dareen syok dengan perkataan sang istri. Tidak pernah terpikirkan oleh nya jika Zanna akan melakukan hal sejauh ini. "Jangan seperti ini." Dareen merengkuh tubuh Zanna, memeluknya begitu erat. Zanna tertegun dengan kedua mata membola. Jantungnya berdegup kencang, ada apa dengan Dareen? Batin Zanna bertanya-tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD