07. Pergi Menjauh.

1054 Words
"Hei, ada apa denganmu?" bingung Zanna, berusaha melepaskan pelukannya Dareen. Dareen terdiam, dia segera melepaskan pelukannya dari tubuh Zanna. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba bisa bersikap dramatis seperti ini? "Maafkan aku." Singkat Dareen segera mengalihkan pandangannya. Zanna tersenyum manis, dan itu terlihat sangat cantik di mata Dareen. "Jadi kau setuju dengan keputusan berpisah? Kita akan terbebas dari hubungan palsu ini." riang Zanna. "Kenapa kau tiba-tiba ingin berpisah dariku? Apa kau sudah punya kekasih?" Tanya Dareen. Zanna menggeleng brutal. Dareen tersenyum getir, karena merasa jika Zanna tidak jujur kepadanya. "Baiklah, jika itu keinginanmu." putus Dareen meskipun ada rasa tak rela di dalam hatinya. Zanna berdiri dari tempat duduknya dan menepuk kedua bahu Dareen. "Mulai hari ini aku akan tinggal di rumah keluargaku. Semoga harimu menyenangkan." Dareen menatap sayu kepergian Zanna dari hadapannya. Hatinya terasa gundah, ingin menghentikan sang istri namun dia tak bisa. Zanna mengemasi semua barang-barang nya dan kembali ke ruang tamu menemui sang suami. "Aku akan pergi, ku harap kita bisa tetap berteman." Dareen mengangguk tumbuhnya terasa kaku, mulutnya tak bisa berucap. Dia terlalu pengecut untuk menuruti kata hati kecilnya. "Aku akan mengantarmu." "Tidak usah, aku sudah dijemput temanku." Sahut Zanna dengan cepat. Dareen lagi-lagi hanya bisa mengangguk, dan mengantarkan kepergian sang istri dari mulut pintu. Zanna memejamkan kedua matanya, dalam hati berharap jika Dareen akan menghentikan kepergiannya. Namun nyatanya apa yang ada di dalam angannya hanyalah sebuah halusinasi. Siapa Zanna? Hingga mengharap simpati Dareen. Zanna semakin yakin jika Dareen memang tidak ada rasa sedikit pun kepadanya. Dareen meluruhkan tubuhnya di depan pintu, tanpa sadar air mata mengalir dari kedua kelopak matanya. Tangan pria itu bergetar mengusap air mata yang mengalir membasahi kedua pipinya. "Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Kenapa aku harus menangis?" . . . Pada nyatanya Zanna tidak kembali ke rumah. Dia sudah merencanakan hal ini jauh-jauh hari, Zanna hanya ingin pergi jauh dari kehidupan Dareen. Dia tidak ingin rasa yang ada di dalam hatinya semakin tumbuh dan akan menyakiti dirinya sendiri kelak. "Zanna, apa kau yakin dengan keputusan yang akan kau ambil?" Tanya sosok pria yang tak lain adalah Michael. Zanna hanya mengangguk tanpa melihat ke arah Michael. Dia sibuk dengan pemikirannya sendiri, keputusannya sudah bulat Zanna tidak ingin kembali dalam kehidupan Dareen. Satu jam berlalu, Dareen tak bisa berhenti memikirkan Zanna. Dia ingin menghubungi keluarga istrinya namun sedikit ragu. Bagaimana jika nanti keluarga Zanna bertanya macam-macam? Batinnya. Ck, tidak ada cara lain, Dareen akan menghadapi kenyataan yang kemungkinan akan terjadi pada hidupnya. Dengan segenap keberanian Dareen menghubungi nomor keluarga Zanna. Jantungnya berdegup kencang, antara takut kena marah keluarga Zanna. Tak lama sambungan telpon pun terhubung. "E-e, halo ..." 'Iya, halo. Ada apa, Nak?" tanya sang ibu mertua. "Apa Zanna sudah sampai di rumah?" tanya Dareen, napasnya hampir saja berhenti karena gugub. 'Zanna? Dia tidak pulang, Nak.' Suara ibu Zanna terdengar khawatir dan juga terkejut. Dareen tak kalah syok mendengar perkataan ibu mertuanya. Jarak rumahnya dengan rumah keluarganya Zanna tidak terlalu jauh dan tidak mungkin memakan waktu satu jam. "Ah, baik. Saya akan menghubungi, Zanna, Ma." Putus Dareen secara tiba-tiba. Dia tidak ingin bicara terlaksana banyak lagi dengan ibu Zanna. Dareen sudah cukup panik dengan keadaan yang menurutnya sangatlah aneh ini. Dengan tergesa Dareen menghubungi Zanna. Dan sayangnya ponsel wanita itu tidak aktif. "Astaga!!! Di mana dirimu? Jangan membuatku khawatir." Dareen berjalan mondar-mandir sembari berusaha menghubungi sang istri. . . . Dua jam berlalu, akhirnya Zanna sampai di kediamannya. Sebuah apartemen cukup mewah yang Zanna beli secara diam-diam beberapa bulan yang lalu. "Zanna, sudah sampai." Michael membangunkan Zanna yang sudah terlelap. Zanna membuka kedua matanya perlahan dan mencoba mengumpulkan segenap nyawanya. "Aku ketiduran." Gumam Zanna, memijit kepalanya yang sedikit pusing. Michael tersenyum. "Maaf aku membuatmu terkejut." Kekeh Michael, mengelus pucuk kepala Zanna lembut. Michael pun akhirnya membantu membawakan koper besar Zanna masuk ke dalam apartemen baru wanita tersebut. Sedang Zanna mengekor di belakang Michael. "Terimakasih atas semuanya. Aku harap kau bisa menjaga rahasia kita." tutur Zanna. "Em, jangan khawatir." Angguk Michael mantap. Mereka mengobrol sebentar sebelum Michael akhirnya memutuskan untuk pamit pulang. Tanpa Zanna ketahui jika Michael ternyata juga membeli apartment di dekatnya. Tentu saja agar dia semakin gampang mengawasi pergerakan Zanna. Jangan sampai dia lalai dan gaji yang di janjikan Leo hangus. Zanna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dia hanya diam menatap langit-langit ruang kamarnya. "Mungkin ini jalan terbaik untukku." Gumamnya, sebelum kemudian terlelap. Di sisi lain Dareen sudah seperti orang kehilangan akal, kesana-kemari mencari keberadaan Zanna yang sayangnya sama sekali tak ada yang tahu. Bahkan dia juga datang ke rumah Leo, namun nihil. "Kau di mana?" Geramnya, antara frustasi dan kesal secara bersamaan. Sejujurnya Leo sudah mengetahui tentang rencana kepergian Zanna, karena wanita itu sendiri juga berpamitan padanya. Tentu saja Leo setuju, dia hanya ingin melihat benarkah Dareen tidak akan membutuhkan Zanna? Karena mungkin menyadarkan seseorang itu terkadang harus dengan cara ditinggalkan. Friska datang ke rumah Dareen, sudah dua hari lamanya pria itu tak menghubungi dirinya. Friska menjadi khawatir. "Sayang, apa yang terjadi padamu? Apa kau sakit? Kenapa tidak mengangkat panggilan telpon k" rengek Friska, sembari bergelayut manja di lengan Dareen. Saat ini gadis itu sedang berada di kantor Dareen. Dareen hanya acuh dan sibuk dengan pekerjaannya, kali ini Dareen benar-benar menjadi sosok pria yang dingin. Semenjak kepergian Zanna. Leo yang sedari tadi melihat interaksi sahabatnya dengan sosok gadis tersebut hanya bisa menyunggingkan senyum evil nya. Dia yakin jika Dareen sejujurnya juga menyimpan rasa pada Zanna hanya saja dia tidak mau mengakui hal itu. DRTTT ... Drtt ... Ponsel Leo berdering dia segera mengangkat panggilan telepon nya. Raut wajah pria itu mendadak pucat saat berbicara dengan lawan telpon nya. . Dareen melirik ke arah Leo sedikit penasaran dengan apa yang yang terjadi pada sahabatnya. "Kau ok?" Tanya Dareen. Leo menoleh ke arah Dareen dan berdiri dari tempat duduknya. "Reen, sepertinya aku harus pergi. Ada sesuatu yang terjadi pada keluargaku." Alasannya. Tanpa menunggu persetujuan dari Dareen, Leo berlari meninggalkan ruangan tersebut. Dareen sempat bingung dengan apa yang terjadi, ingin mengikuti Leo namun pekerjaan yang harus dia selesaikan masih sangat banyak. Alhasil Dareen mengurungkan niatnya dan melanjutkan aktifitasnya lagi. Sosok yang menghubungi Leo tadi tak lain adalah Michael. Pria itu memberitahukan pada Leo jika Zanna masuk rumah sakit. Wanita itu tiba-tiba saja pingsan tengah keluar bersama Michael. Belum tau pasti apa penyebab nya, maka dari itu Leo sangat panik begitu juga dengan Lisa. Mereka berdua langsung menuju ke kediaman Zanna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD