03. Kesakitan Zanna.

1735 Words
"Bagaimana kabar kalian, hm?" tanya Mira, ibu Zanna. Zanna menoleh ke arah Dareen dan tersenyum, tak lupa Dareen membalas senyuman sang istri. "Baik, Ma." canggungnya. Mira tersenyum ke arah sang besan di sampingnya, sepertinya kedatangan mereka berdua di kediaman anaknya ada maksud tersembunyi. Nyonya Maya ikut tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Mira menatap Zanna kembali. Mengambil secangkir teh yang diberikan Zanna lalu menyeruputnya. Sebelum kemudian berucap. "Apa sudah ada perkembangan?" Zanna menautkan alisnya tak mengerti dengan pertanyaan sang ibu. "Ma-maksud Mama?" "Apa sudah ada tanda-tanda tentang, eum ... calon cucu untuk kami." lirih Mira. Zanna menelan ludahnya berat, di bawah meja dia meremas tangan sang suami. Ini adalah pertanyaan yang paling di takutkan oleh Zanna. Bagaimana bisa kedua orang tua ini menanyakan perkara keturunan jika mereka saja tidak pernah berhubungan seperti layaknya suami-istri. "Kami masih berusaha." Sahut Dareen, dia sendiri bingung harus menjawab bagaimana. Mira dan Maya terlihat kecewa dengan jawaban anak mereka. Mereka sangat berharap bisa segera menimang cucu, mengingat Zanna dan Dareen adalah anak tunggal. Dan mereka sudah lama menikah, siapa yang tak mengharapkan cucu jika ada di posisi kedua orang tua tersebut. Zanna menunduk, dia paling benci melihat raut kekecewaan di wajah sang ibu. Bukannya dia tidak ingin menuruti kemauan mereka hanya saja semakin hari perasaannya pada Dareen semakin hambar. Dia tidak merasakan apa itu cinta, apa itu arti pernikahan. Sedikit lama mereka mengobrol dan akhirnya kedua wanita paruh baya itu memutuskan untuk pulang. Zanna terdiam di dalam kamarnya, otaknya sibuk memikirkan apa yang diinginkan ibu dan ibu Dareen. Dareen masuk lalu mendudukkan tubuhnya di samping sang istri. "Jangan pikirkan ucapan mereka." Ucapnya santae. Zanna menatap tak suka dengan ucapan Dareen yang terkesan sangat tak peduli dengan perasaan kedua orang tuanya. "Apa kau tidak merasa bersalah?" Dareen menoleh ke arah Zanna. "Bersalah?" "Apa kau tidak melihat raut kekecewaan di wajah mereka?" Dareen mengangguk dan berdiri dari tempat duduknya. "Aku tahu, tapi aku bisa apa? Hubungan kita tak lebih hanyalah sebuah kata menikah. Hubungan kita hanya tertulis di atas kertas, tanpa adanya perasaan. Kau merasakan hal yang sama, bukan?" Entah mengapa Zanna merasa sakit dengan ucapan yang dikatakan Dareen namun apa yang pria itu katakan memang benar adanya. Dareen meninggalkan Zanna tanpa kata. "Kau mau kemana?" tanya Zanna, mengekor di belakang sang suami. Dareen membalik tubuhnya sembari mengerutkan kening. "Ada apa? Sejak kapan kau peduli dengan apa yang aku lakukan." Hati Zanna tersentak, benar juga apa yang dikatakan Dareen. Tak seharusnya dia menanyakan hal yang berhubungan dengan privasi Dareen. Meski mereka sepasang suami-istri. "Maaf, aku hanya bertanya." Sahut Zanna, dia memutuskan untuk kembali ke kamar. Dareen menghubungi Leo, mengajak pria itu keluar sekedar melepas penat. Awalnya Dareen hanya mengajak Leo melepas penat di salah satu cafe ternama sembari membahas pekerjaan sampai malam menjelang. "Aku malas pulang." Ujar Dareen. Leo menggelengkan kepalanya. "Tapi istriku sudah menelpon, aku harus pulang." sahut Leo. "Apa kau tidak ada kenalan?" Leo bingung dengan apa yang dimaksud sahabatnya ini. "Kenalan?" "Gadis." pungkas Dareen. Leo terkejut dan mendekatkan dirinya. "Reen, kau sudah punya Zanna. Untuk apa menanyakan seorang gadis, ha? Jangan gila, aku tidak setuju jika kau bermain di belakang istri mu." "Aku bosan, kau tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanku." Kekeh Dareen. Leo berdecak kesal memilih pergi meninggalkan sahabatnya yang tidak waras ini. Dareen hanya diam, dia menatayke sekeliling dan tanpa sengaja melihat seorang gadis. Gadis yang sedikit familiar di dalam ingatannya. Gadis itu menatap ke arah Dareen dan tersenyum. "Dareen." Bibir gadis itu berucap. Dareen terdiam, dia bisa membaca mimik ucapan gadis itu, lalu menunjuk dirinya sendiri. Gadis tersebut mengangguk, menuju ke arah Dareen. "Kau Dareen, kan? Apa kau sudah lupa dengan ku?" tanya gadis itu menggebu. Dareen sedikit mengingat siapa gadis di hadapannya, sontak senyuman pria itu muncul. "Friska?!" Gadis itu mengangguk brutal tanpa menunggu lama dia memeluk tubuh Dareen. Dareen membalas pelukan Friska tak kalah erat. "Bagaimana kabarmu? Aku sudah sangat lama mencari keberadaan mu." tutur Friska. Dareen melepaskan pelukannya dan meminta Friska duduk. "Maafkan aku," Dareen menunduk. Friska adalah kekasih Dareen, namun gadis itu pindah negara bersama keluarganya dan berjanji akan kembali setelah menempuh pendidikan di luar negri. Tetapi saat Friska kembali, Dareen tak lagi tinggal di tempat tinggal lamanya. Bahkan Friska kehilangan kontak pria tersebut. Sekian lama dia mencari keberadaan sang kekasih dan sekarang mereka dipertemukan dengan ketidak sengajaan. "Aku sangat merindukanmu." Friska terlihat begitu antusias. Berbeda dengan Dareen yang hanya menatap sendu ke arah sang kekasih lamanya. Dareen tak munafik, dia juga sangat merindukan sosok gadis cantik yang ada di hadapannya ini. Namun semua sudah berbeda, Dareen bukanlah sosok pria yang Friska kenal terdahulu. "Reen, ada apa? Apa terjadi sesuatu? Kau sekarang tinggal di mana?" Dareen meraih punggung telapak tangan Friska dan menangkup nya. "Maafkan aku." Dua kata yang terucap dari bibir Dareen. Perasaan Friska mulai tidak tenang. Dia hanya diam menanti kelanjutan ucapan pria di hadapannya. "Aku sudah menikah." Lanjut Dareen. Friska menegang, perlahan dia melepaskan genggaman tangan pria di hadapannya. Namun Dareen semakin mengeratkan genggaman tangannya di punggung telapak tangan Friska. "Dengarkan aku! Aku tidak sengaja melakukan semua ini." Friska bingung dengan perkataan Dareen, dia semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada pria di hadapannya ini. Dareen menarik napas dalam, lalu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, hingga berujung terjerumus ke dalam pernikahan. Friska sedih mendengar cerita Dareen, dia beralih duduk di samping pria tersebut memberikan pelukan pada pria yang masih berstatus sebagai kekasih lama nya ini. "Lalu bagaimana dengan istrimu? Apa dia tidak mencintaimu?" Dareen menggeleng pelan. "Maaf, aku sudah salah paham padamu." Lirih Friska merasa prihatin. Dareen tersenyum, dia merasakan kenyamanan saat bersama gadis ini. Friska masih tetaplah gadis yang dulu dia kenal. Gadis yang selalu mengerti dirinya. "Aku sangat merindukanmu." ucap Dareen. Friska mengangguk dan kembali memeluk prianya. "Apa aku berdosa memeluk suami orang?" kekeh gadis itu. Dareen tersenyum, ucapan Friska sangat lucu menurutnya. Dia pun bingung harus menjawab bagaimana. "Tidak, karena aku tidak memiliki perasaan pada istriku. Aku pun akan membebaskan dia, andaikan dia memiliki kekasih." Friska melepaskan pelukannya. "Apa aku masih boleh menganggap mu sebagai kekasih?" Tanyanya penuh harap. "Em. Kita masih sepasang kekasih. Tapi maaf ... kita harus merahasiakan hubungan kita dari keluargaku. Apa kau tak apa?" Friska terdiam namun dia mencoba mengerti dengan apa yang dimaksud Dareen. Mengingat prianya ini sudah berstatus sebagai suami orang. "Apa kau ingin merayakan pertemuan kita?" Friska mengalihkan pembicaraan. Dareen mengangguk dan mereka berdua pun memutuskan untuk pergi ke sebuah club malam. Di mana mereka dulu pernah menghabiskan waktu muda mereka di sana. Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun sampai. Friska terlihat begitu bahagia, menggandeng tangan sang kekasih. "Tempat ini tidak mengalami perubahan besar, ya." Dareen mengangguk, berlanjut mereka memesan ruang VIP. "Apa kau senang?" tanya Dareen, mengelus kepala Friska yang menyender di d**a bidangnya. Rasanya Dareen kembali hidup setelah sekian lama terjebak dalam pernikahan semu. "Aku sangat bahagia, sudah lama sekali aku menanti hari-hari seperti ini." Dareen memesan wine mahal dan mereka berdua pun berpesta. Menghabiskan malam panjang berdua. Pukul 00:00, Friska terbangun dari lelapnya. Mereka ketiduran setelah mabuk dan bernyanyi bersama. Dia menoleh ke arah Dareen. Menatap wajah damai prianya. Friska mendengus lesu, mengingat jika pria ini sudah tak lagi sendiri. "Apa aku salah? Tapi aku mencintainya." Friska mengecup kening sang kekasih. Dia beralih menuju kamar mandi, sekedar mencuci wajah agar kembali segar. Lalu keluar dari ruangan tersebut, mencari seseorang untuk membantu membawa tubuh Dareen keluar. Friska memutuskan untuk mengantarkan Dareen pulang. Beruntung tadi Dareen memberitahukan alamat rumahnya. Zanna tak bisa tidur, entah mengapa hatinya terasa sangat gelisah. Tak biasanya Zanna menunggu kepulangan Dareen. "Ada apa denganku?" kesalnya. Biasanya Zanna akan menghabiskan malamnya pergi ke klub malam, namun hari ini dia sama sekali tak ada keinginan untuk bersenang-senang. TING .. TONG .. Suara bel pintu berbunyi, dengan cekatan Zanna segera membuka pintu. Hatinya mendadak lega saat melihat Dareen berdiri di ambang pintu. Namun dalam keadaan mabuk. "Ka-kau mabuk?" Zanna kesusahan memapah tubuh sang suami. Tanpa menghiraukan mobil yang berhenti di halaman rumahnya. Dia tidak peduli dengan siapa sang suami pulang. Friska tersenyum sendu melihat wanita yang menyandang sebagai suami kekasihnya itu. "Dia cantik, aku takut jika Dareen mencintai nya." Zanna membawa tubuh sang suami ke dalam kamar. "Aku mencintaimu!" Racau Dareen. Zanna terdiam, dia tersenyum. Apa suaminya baru saja mengatakan cinta untuknya? "Friska! Aku sangat mencintaimu!" Zanna terdiam, menatap sakit ke arah sang suami yang tersenyum ke arahnya. "Friska? Siapa dia?" batin Zanna. Dia tersenyum kecut, kenapa dia harus tahu? Siapa dia hingga ingin ikut campur urusan Dareen. Dengan cepat Zanna merebahkan tubuh Dareen. Namun Dareen menarik tubuh Zanna hingga posisi wanita itu ambruk di atas tubuh sang suami. Jantung Zanna berdetak kencang, dia tidak pernah mengalami momen seperti saat ini. Tatapan mata Zanna tak lekat dari wajah tampan Dareen. Kenapa dia baru menyadari jika suaminya ini sangatlah tampan. Dengan cepat Zanna menggelengkan kepalanya, lalu memilih beranjak dari atas tubuh sang suami. Zanna selesai membersihkan tubuh Dareen. Dia berusaha untuk membuang rasa penasaran terhadap siapa yang baru saja bersama suaminya. Melihat bekas lipstik yang tertempel di baju pria itu, semakin membuat Zanna yakin jika suaminya baru saja bertemu dengan wanita yang bernama Friska. Zanna menarik napas dan merebahkan tubuhnya di samping Dareen. "Kau hanya teman tidurku, tidak lebih." bisiknya pada dirinya sendiri, menepis rasa gelisah yang sedari tadi mendera hatinya. Dareen memiringkan tubuhnya, merengkuh sang istri. Jantung Zanna berdetak kencang, kenapa Dareen semakin membuatnya tak bisa tenang. "Jangan lakukan ini." Zanna mengangkat tangan Dareen agar tidak menindih tubuhnya. "Aku ingin memiliki mu seutuhnya. Kenapa kau selalu menolak ku?" Dareen membuka mata sayu nya. Menatap sakit ke arah Zanna. Di matanya, Zanna adalah Friska. Friska yang selalu menolak sentuhan darinya. Zanna menatap nanar mata Dareen. "Apa maksudmu?" "Friska, biarkan aku melakukannya." Dareen menindih tubuh Zanna. Zanna hanya bisa memejamkan matanya, tanpa sadar air mata mengalir dari pelupuk mata wanita itu. Hatinya sakit namun dia tidak bisa menolak permintaan pria di atasnya. Dareen mulai mendekatkan wajahnya dengan wajah Zanna, ini kali pertama mereka melakukan apa yang di sebut dengan bersentuhan bibir. "Friska, aku mencintaimu." Bisikan lembut mengalun di telinga Zanna. Zanna semakin menangis sesenggukan. Suaminya, menganggap dirinya wanita lain. Ingin rasanya dia berteriak marah, tetapi kenapa tubuhnya terasa lemah untuk sekedar menolak. Hanya tangisan penuh kesakitan yang keluar dari bibir wanita tersebut. Malam itu terjadi pergumulan tanpa adanya cinta, malam yang akan menjadi saksi kesakitan seorang Zanna. Tersiksa dalam hubungan membosankan tanpa ada kepastian, menjalin pernikahan di atas kertas. Terasa seperti terperangkap dalam sangkar tak kasat mata, terbelenggu oleh rantai pengikat yang tak mungkin bisa terlepas untuk selamanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD