Bosan: 02

1530 Words
Selesai dengan acara resepsi pernikahan, Dareen dan juga Zanna kembali ke rumah pribadinya. Seperti biasa, tiada yang spesial antara keduanya. Seharusnya malam itu adalah malam yang paling dinanti para pasangan pengantin baru. Namun berbeda dengan pasangan satu ini, semua masih tetap sama, selayaknya hubungan persahabatan. "Aku tak menyangka jika akan melelahkan seperti ini," keluh Zanna, seraya membersihkan wajahnya. "Iya, kau benar. Aku juga heran, kenapa ada banyak orang yang mendambakan pernikahan? Padahal, rasanya melelahkan," sahut Dareen, berlahan pemuda itu memejamkan kedua matanya. Sungguh, ia sangat lelah setelah seharian penuh harus berdiri di atas altar bak pajangan. Zanna menatap layar ponselnya, yang tiba-tiba menyala. Ia sengaja mengaktifkan mode senyap pada benda pipih tersebut. Tak ingin diganggu teman-teman yang menurutnya sangat tidak penting. Mereka selalu menanyakan perihal malam pertama, tak ada topik pembicaraan lain. "Geser sedikit, aku mau tidur," Zanna mendorong tubuh Dareen yang berlahan meringsut minggir, memberikan tempat lebih luas untuk sang istri. Begitulah malam ini, tiada kegiatan apapun selain tidur lelap. Keesokan paginya. Zanna bingung harus melakukan apa, ia tak tau apapun mengenai pekerjaan rumah tangga. "Aku lapar, tapi aku tidak bisa memasak," lirihnya, akhirnya wanita muda itu memutuskan untuk memesan makanan. Dareen merentangkan kedua tangannya. "Engghhh ...," berusaha merenggangkan otot tubuhnya. Pemuda itu menatap langit-langit di atasnya, sembari meletakkan kedua lengannya di bawah kepala sebagai bantal. Menerawang jauh angan-angan di dalam otaknya, ia kembali berpikir. Mungkinkah ini nyata? Aku sudah mempunyai istri di usiaku yang sangat muda?. "Reen ... kau sudah bangun apa belum? Jika sudah, turunlah! Aku sudah pesan makanan!" teriak Zanna dari lantai bawah. Tanpa menunggu kedatangan sang suami, Zanna langsung melahap makanan yang baru dipesannya. Tak lama Dareen menuruni tangga dari lantai atas. "Kau pesan apa?" tanya pemuda itu. "Ayam goreng, kenapa? Apa kau tidak suka?" "Suka," singkat Dareen, dan langsung memakan makanannya di hadapannya. Sekian bulan telah berlalu, tiada yang berbeda dari hubungan Zanna dan Dareen. Semua masihlah sama, datar. Yang membedakan hanyalah Dareen yang sekarang sudah bekerja, dan jarang pulang. Zanna merasa jenuh dengan kehidupannya, ia memilih untuk pergi bersenang-senang bersama teman-temannya. Menghabiskan uang sang suami untuk membeli barang-barang tidak penting. Karena Zanna belum bisa memikirkan bagaimana cara menggunakan uang keluarga. Yang ia tau hanya bersenang-senang dengan sahabat-sahabat seangkatannya yang kini masih kuliah. Ingat, Zanna masih sangatlah remaja. "Hei ... apa suamimu tidak marah?" "Marah kenapa? Aku bosan tau, di rumah terus," sahut Zanna. "Apa kau tidak kasihan pada Dareen, dia kerja keras, lebur setiap hari. Dan hasilnya hanya untuk kau habiskan," "Dareen tidak akan marah padaku," ucap Zanna dengan santainya. Waktu menunjukkan pukul 00:00. Dareen berjalan lunglai memasuki rumah besarnya. Perutnya terasa sangat lapar, berharap jika ada makanan di rumahnya. Tapi semua itu terlalu mustahil, siapa yang akan menyiapkan semua itu? Zanna? Ck, jangan berharap. Dareen membuka pintu kamarnya berlahan, takut jika mengganggu tidur sang istri. Namun sesaat kemudian, pemuda itu dibuat terkejut. Karena tak mendapati sang istri di kamarnya. "Hah, dia belum pulang," lelahnya, seraya melonggarkan dasi di krah kemejanya yang terasa begitu mencekik. Selanjutnya Dareen menuruni tangga, menuju ke lantai bawah, lebih tepatnya menuju ke arah dapur. Sekedar membuat mie instan untuk mengganjal perutnya. Tak berapa lama pemuda itu kembali dikejutkan dengan suara deritan pintu yang terdengar terbuka. Dareen memalingkan pandangannya, ia sudah menebak siapa sosok yang membuka pintu itu, siapa lagi jika bukan Zanna. Dareen sebenarnya ingin menegur kebiasaan istrinya tersebut, namun entah mengapa ia merasa canggung untuk sekedar berucap. Mengingat komunikasi mereka yang terbilang sangat jarang, mereka hanya akan saling menegur sapa jika ada hal penting yang ingin mereka bahas saja, selebihnya tidak ada. Semenjak menikah hubungan Dareen dan Zanna terkesan sedikit renggang. Tak seperti pada saat dulu mereka bersahabat di bangku sekolah. Sekarang mereka lebih disibukan dengan kegiatan masing-masing. "Kau dari mana?" tanya Dareen sekedar basa-basi. "Dari rumah teman," sahutnya acuh sambil melanjutkan langkahnya menuju ke lantai atas. Tak ada lagi perbincangan setelah itu. Dareen selesai dengan acara makan tengah malamnya. Ia segera bergegas baik ke lantai atas, menuju ke kamarnya. Ingin segera tidur karena besok ia harus berangkat pagi. Baru saja memasuki ruang kamarnya, Dareen sudah disuguhkan dengan pemandangan memuakkan. Di mana ada banyak tumpukan barang-barang tak berguna yang Zanna beli. "Bisakah kau menggunakan uangku untuk sesuatu yang lebih berguna?" tanya pemuda itu jengah. Sambil menidurkan tubuhnya di kasur besar ruang kamar itu. Zanna yang sedang membersihkan wajah, seketika menghentikan aktivitasnya. "Ijinkan aku bekerja, agar aku tidak menghabiskan uangmu!" ketus wanita tersebut. Dareen yang memang sudah malas untuk sekedar berbicara, memilih untuk memejamkan kedua matanya. Terserah wanita itu mau berbuat apa. Pukul 05:00. Dareen sudah bangun dari tidurnya. Ia segera bersiap untuk bergegas pergi ke kantor. Memandang sekilas ke arah sang istri yang masih setia bergumul di bawah selimut tebalnya. "Heh!" Dareen menghela napas, kemudian berlaku pergi dari kamarnya. Zanna membuka kedua matanya, sebenarnya ia sudah bangun sedari tadi. Hanya saja ia enggan untuk melihat keberadaan sang suami. "Aku hidup satu atap bersama suamiku. Tapi kenapa aku merasa jika kami hanyalah orang asing, yang tak pernah mengenal satu sama lain?" kekeh miris Zanna. Zanna menghubungi sahabatnya, ia ingin bertemu. Sekedar mencurahkan isi hati. Ingin ia bercerita pada kedua orang tuanya, tapi ia urungkan. Zanna tidak ingin membuat keluarganya ikut sedih memikirkan keluarga barunya yang masih terbilang seumur jagung. Biarlah Zanna berpura-pura bahagia, demi kedua orang tuanya. *** Di kantor milik Dareen. Pemuda itu terlihat tengah bersandar di kursi kebesarannya. Meratapi kehidupan yang menurutnya sangatlah datar. Hingga kedatangan sosok pemuda yang menyandang sebagai sekretaris sekaligus sahabat Dareen. "Melamun lagi, Bro!" ucapnya, mengagetkan sang sahabat sekaligus atasannya itu. "Ck, mengagetkanku saja," "Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan? Perusahaanmu berkembang pesat, kau punya istri yang cantik. Lalu apa lagi yang kurang, hah?" tanya sosok bernama, Leo itu. "Hidupku terasa hambar. Bagaikan makanan tanpa ada bumbu," Leo menukikkan kedua alisnya. "Kau ini kenapa? Apa kau bertengkar dengan istrimu?" "Tidak," "Apa kau punya wanita lain?" "Tidak," "Apa istrimu kejam, apa istrimu yang selingkuh?" "Bukan semuanya," "Lalu apa?!" Leo dibuat bingung dengan tingkah sahabatnya yang menurutnya sulit untuk dimengerti. "Tidak ada apa-apa," "Maksudmu?" "Iya, tidak ada apa-apa." Dareen menegaskan. Leo semakin bingung, sebenarnya apa yang Dareen katakan? Tidak mungkin pemuda ini bersedih jika tidak ada apa-apa yang terjadi di keluarganya. "Leo ..," "Em," sahut Leo, masih memfokuskan perhatiannya pada laptop di hadapannya. "Apa kau sering bercanda dengan istrimu?" Leo mendongakkan wajahnya, merasa aneh dengan pertanyaan atasannya. "Tentu saja, memangnya kenapa? Kau ini aneh sekali. Namanya suami istri ya ... sudah pasti sering bercanda lah ...," "Bagaimana rasanya?" Leo semakin membelalakkan kedua matanya. Ia mulai menganggap jika sahabatnya ini sudah tidak waras. "Reen ... kau ok?" "Kau pikir aku sedang sakit, hah?!" tak terima Dareen. "Habisnya pertanyaanmu itu terlalu aneh. Apa kau tidak pernah bercanda dengan istrimu? Ada-ada saja," kekeh Leo, melanjutkan aktivitasnya. "Tidak," "Hehh ...!!" syok Leo, hampir saja terjungkal dari tempat duduknya. Dengan segera ia meneguk air minum dari dalam gelanya hingga tandas. Sebelum kemudian kembali bertanya pada sahabat anehnya itu. "Reen ... jangan bercanda," "Aku sungguh-sungguh, untuk apa aku bercanda? Aku hanya bertanya padamu. Tapi kau sudah terkejut duluan," ucap Dareen santai. Leo berpindah tempat di samping Dareen. "Reen ... sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan istrimu?" "Datar," satu kata yang mampu menjelaskan semua pertanyaan Leo. "Jangan bilang jika kau tidak pernah menyentuh istrimu," "Iya ... dugaanmu benar," Leo kembali memelototkan kedua bola matanya. Sungguh aneh tapi nyata, dua manusia yang sudah terikat dalam hubungan suami istri, namun tidak pernah saling menyentuh. Apa itu? Adakah hubungan ajaib seperti itu? Ada, itulah hubungan yang Dareen dan Zanna tengah jalani. "Reen ... tak bisakah kau mengubah jalan pemikiran kalian?" tanya Leo prihatin. "Aku tidak tau, sepertinya terlalu sulit untuk mengubah semuanya." *** Tanpa diduga, hari ini tiba-tiba saja kedua ibu dari Zanna dan Dareen datang ke kediaman sepasang suami istri tersebut. Mengingat hari ini adalah hari Minggu, Zanna sudah bersiap-siap untuk kembali bertemu dengan teman-temannya. Sedang Dareen memilih istirahat di rumahnya. TING ... TONG ... Suara bel pintu berbunyi, mengalihkan atensi Dareen yang sedang asik menonton TV. Dareen menekan tombol interkom di samping pintunya, melihat siapa yang bertamu di pagi ini. Sontak kedua bola matanya melebar, saat melihat sosok kedua nyonya besar tengah berdiri di depan pintu. "Astaga! Mama datang kesini," gugubnya, segera berlari ke lantai atas untuk menemui sang istri. "Ada apa, Reen?" tanya Zanna, yang sudah siap untuk pergi. "Cepat ganti bajumu! Mama kita ada di depan," beritahunya. "Apa?!" Zanna tak kalah syok dengan Dareen. Dengan segera ia melepaskan pakaian beserta aksesorisnya. Menghapus make up tebas yang susah payah ia poleskan di wajah cantiknya. "Bukakan pintu untuk mama! Aku akan segera turun," pinta Zanna. Dareen mengangguk dan segera bergegas membuka pintu. "Mama! Kenapa datang tidak mengabariku?" tanya Dareen, pura-pura terkejut. Sambil mempersilahkan kedua ibunya masuk ke dalam rumah. "Memangnya kenapa? Kami hanya ingin memberikan kejutan untukmu dan juga menantu cantikku," sahut ibu kandung Dareen. Zanna sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. "Mama!" serunya, berusaha memasang wajah cerianya. "Oh, menantu cantikku," sambut sang ibu mertua. Zanna memeluk kedua wanita paruh baya itu bergantian. Dareen yang melihat pemandangan di hadapannya hanya bisa tersenyum miris. 'Andai saja semua kebahagiaan ini benar-benar nyata, bukan hanya kebohongan. Aku pasti akan sangat bahagia. Sayangnya ... tidak semua hal yang terlihat nyata adalah sebuah kenyataan, melainkan hanya sebuah ilusi semata. Yang terlihat indah di depan mata, tetapi menyesakkan di belakang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD