Bab 9

1703 Words
Happy Reading *** Keesokan harinya, Vero keluar dari kamar mandi, ia duduk di kursi sambil menatap penampilannya di cermin. Ia seketika teringat tentang Kafka yang ingin tidur dengannya. Ia menggelengkan kepala, jika mengingat kejadian tadi malam, ia bisa gila. Ia tahu bahwa jika libido pria sudah diubun-ubun, target cuma satu, yaitu pelampiasan s*x. Ia tahu bahwa kenapa kaum pria itu suka membahas obrolan seks, mereka sangat bersemangat jika membahas hubungan intim dengan pasangan. Di selingi dengan tawa yang terbahak, terlihat sangat antusias dalam obrolan panjang dengan antusias dan bahagia. Ia mengerti bahwa, setiap pria pasti akan tergoda secara visual, apalagi hal seksi pasti akan membuatnya menggila. Pria mulai berimajinasi, apa yang terjadi kemudian. Perhatiannya fokus pada tubuhnya yang sensual. Apa yang akan terjadi jika ia mengiyakan ajakan itu. Mungkin bisa jadi Kafka membanting setir lalu mengajaknya chek in di hotel terdekat atau ke apartemennya. Lebih gilanya lagi melakukan hubungan intim di mobil. Oke, melakukan hubungan intim di mobil itu sangat bahaya jika dilakukan di luar, dan bisa aman jika mobil berada di dalam hutan dan garasi rumah. Ia teringat, bagaimana saat sensasi bercinta di dalam mobil. Dulu ia pernah melakukan hubungan intim dengan Jay di dalam mobil, sungguh rasanya sangat luar biasa. Awalnya hanya ngobrol ringan sambil menyetir dan tertawa-tawa. Selanjutnya Jay meraba-raba bagian sensitive tubuhnya, akhirnya mereka melakukan itu di mobil. Itu merupakan hubungan seks terliarnya, we did his car, like real car. Ia mengalami o*****e beberapa kali di dalam mobil. Ia tahu bahwa Jay itu selalu menjaga tubuhnya agar tetap prima. Itu dulu beberapa tahun yang lalu, saat mereka di Inggris, ketika mereka sedang perjalan camping. Ia sebenarnya penasaran bagaimana Kafka di ranjang. Apakah dia hebat di ranjang? Apakah ia bisa puas? Jika dilihat dari bentuh tubuh proporsional, dan dadanya yang kokoh, otot-otot lengannya yang terlihat kuat, ia yakin dia sangat piawai di ranjang, menghujami tubuhnya. Oh God, bisa-bisanya ia memikirkan bagaimana Kafka di ranjang. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding. Ia tidak ada lebihnya sama seperti Kafka. Vero membuyarkan lamunanya, ia melangkahkan kakinya menuju lemari, ia mengambil sheath dress berwarna navy. Setelah mengenakan pakaian, ia mengoles makeup pada wajahnya. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, ia melirik jam menggantung di dinding menunjukan pukul 08.00 menit. Ia akan bergegas turun ke bawah, untuk sarapan. Di rumahnya memiliki rutinitas yang harus di hadiri yaitu breakfast bersama-sama. Ia melihat ruang di lantai bawah, ia menatap mama dan papa sudah berada di meja makan dan sedangkan bibi entah hilang ke mana. Vero berikan senyum terbaiknya kepada mama dan papa. “Pagi, ma, pa,” ucap Vero, ia melangkah mendekati meja, lalu ia duduk di kursi tepatnya di samping papa. “Pagi juga sayang,” ucap papa. Ia melihat toast di atas piring, di sana juga ada potongan buah segar dan jus jambu kesenangannya. Vero mengambil gelas berisi air mineral, dan lalu meneguknya secara perlahan. “Semalam kamu pulang jam berapa, Ver?” Tanya mama menatap putrinya. “Jam 12 sih ma, kenapa ma?” “Sama siapa pulangnya?” Tanya mama. “Sama temen ma.” Mama menatap putrinya, “Oiya, bagaimana plan kamu, katanya mau buka cookies,” tanya mama, menanyakan prihal keinginan putrinya membuat cookies ciptaanya yang akan dipasar ke masyarakat luas. “Hemmm …” “Kamu sudah kelamaan nganggur loh di rumah Ver. Mama dan papa nggak suka kamu hanya stay di rumah, cari kegiatan apa kek gitu, biar nggak dilihat orang bahwa kamu nganggur,” ucap mama, kesekian kalinya menasehati putrinya. “Iya, ma. Ini juga mau di jalani, kok.” “Kamu sudah kelamaan di manja. Mau papa ambil semua fasilitas kamu, kartu kredit, apartemen, mobil papa tarik ya.” “Jangan dong pa. Tapi kan, Vero udah bantu-bantu mas Andre sama papa di kantor.” “Tapi papa lebih senang kamu memanfaatkan bakat kamu kemarin. Katanya kamu mau buat cookies, buat rendang, di coba aja dulu salah satunya. Untuk masalah marketing itu gampang.” “Iya, ini mau di kerjain, papa.” “Nanti papa suruh orang kantor, buat cari admin satu orang untuk bantu kamu ngurusin admin social media dan satu orang bantu kamu sebagai pastry.” “Admin boleh cariin satu asal cewek. Tapi kalau pastry kayaknya jangan dulu papa. Kan belum jualan, Vero buat cookies dulu, sample untuk foto katalog, endorse artis, dulu buat cari market pasar.” “Oke. Kapan kamu pindah Ver? Soalnya kalau kamu nggak pindah, kamu nggak bisa berubah.” “Ini aja, bisa langsung pindah, kok ma,” ucap Vero, ia tahu ini sudah ratusan kali mama menyuruhnya pindah. “Ini mau balik ke apartemen, sekalian mau belanja, buat cookies,” ucap Vero memberi alasan, padahal sebenarnya ia masih betah di rumah ini dari pada di apartemen. “Good, gitu dong. Mama tuh mau kamu berkembang, jangan taunya pacaran terus. Siapa mantan kamu itu.” “Si Jay,” dengus Vero. “Iya, si Jay, kabarnya supermarketnya udah sampe seluruh Indo, bantuin ayahnya.” “Ih, mama tau dari mana?” “Yah, denger-denger dari rekan bisnis mama. Harusnya kamu, bisa lebih berkembang lepas dari mantan kamu itu.” “Iya, iya,” Vero, ia menggigit toast nya, ia harus mencoba cookies lagi di apartemennya untuk pemotretan katalog. *** Setelah sarapan Vero mengambil tas Hermes, ia juga mengambil kunci mobil. Ia melangkah menuju garasi, ia masuk ke dalam mobil BMW putih miliknya. Ia memanuver mobil, lalu meninggalkan area rumah berpagar tinggi itu. Ia menghidupkan audio mobil, selama perjalanan menuju apartemen, ia mendengarkan lagu kesayangannya. Ia melihat suasana hari Minggu kota Jakarta tampak lengang. Hanya butuh beberapa menit akhirnya ia tiba di district 8, ia memarkir mobilnya di basement. Sebelum menuju ke apartemen, ia mampir berbelanja dulu di The Gourmet by Ranch Market yang terletak di lantai LG-01. Vero melangkahkan kakinya menuju supermarket, ia seketika teringat dengan Kafka, lagi-lagi pria itu tidak lepas dari ingatannya. Ia mengedarkan pandangannya kesegala penjuru area, ada beberapa pengujung juga ikut masuk ke gerai, ia mengambil troli. Ia menuju rak bahan-bahan kue, ia mengambil choco chip untuk cookies, coklat, pewarna makanan, tepung terigu, gula, segala s**u, ia juga tidak lupa membeli telur. Ia hafal apa saja bahan-bahan yang ia perlukan membuat cookies, karena ini adalah bidangnya. Ia tidak lupa memasukan beberapa bahan makanan berupa perdagingan, sayur-sayuran, dan minuman, karena untuk beberapa hari ini ia tidak diperbolehkan pulang ke rumah lagi demi kata grow up. Setelah beberlanja, ia melangkahkan kakinya menuju kasir. Ia menatap ada beberapa orang yang mengantri di sana. Di satu sisi ada seorang pria yang menatapnya dari kejauhan, ia tidak percaya bahwa mereka dipertemukan lagi di sini. “Vero!” Vero menoleh ke belakang, ia menatap Kafka tidak jauh darinya, pria itu menenteng keranjang belanja yang isinya hanya minuman. Penampilan Kafka sekarang jauh berbeda dengan semalam, rambutnya berantakan namun tidak mengurangi ketampananya. Dia mengenakan kaos hitam dan celana pendek berwarna senada. Ia menelan ludah, melihat otot bisep dibalik kaos yang dikenakannya. Ia tidak tahu, penampilan Kafka sekarang, jauh lebih tampan dari pada penampilan formalnya. Dia terlihat sangat sexy mengenakan pakaian rumahan seperti itu. Jantungnya seketika berdesir, dan ia menelan ludah ketika pria itu sudah berada di hadapannya. “Kita bertemu lagi di sini,” ucap Kafka, ia merasa specheels dipertemukan lagi dengan Vero. Sepertinya dunia ini sangat sempit. Ia memperhatikan penampilan Vero, wanita itu mengenakan dress berwarna navy, dia terlihat sangat sexy seperti biasa. “Jangan-jangan kita jodoh,” ucap Kafka, ia mengedipkan mata menggoda Vero. “Enggak akan pernah terjadi,” dengus Vero. Kafka tertawa, entahlah kekesalannya tadi malam hilang berganti bahagia dipertemukan lagi dengan gadis ini. “Sadar nggak sih kalau kita sering ketemu, bukannya itu tanda-tanda jodoh.” “Ngarep banget jodoh sama saya. Kita di sini hanya kebetulan, karena saya penghuni apartemen sini.” “Kita berada di lantai yang sama.” “Itu juga kebetulan, mungkin saat itu papa saya dan papa kamu beli unit ini dengan sahabatnya, hitung-hitung bantu temen, karena di lantai yang sama saat itu lagi ada diskon dan promo.” Kafka tertawa, “Mungkin aja.” Kafka melirik barang belanjaan Vero yang sudah penuh, “Penuh banget belanjaan kamu, mau buat kue ya?” Tanya Kafka menyelidiki apa yang ada di dalam troli. “Iya.” “Mulai di usir dari rumah?” “HAH!” Kafka tertawa, “Kelihatan sih disuruh hidup mandiri.” “Kok, kamu tau sih,” ucap Vero kesal. “Kan kamu yang cerita tadi malam, kamu sering diusir dari rumah. Kelihatan dari wajah kamu yang bete itu.” “Ih, apaan sih.” Vero lalu mendorong trolinya menuju kasir di susul oleh Kafka di belakangnya. Ia melihat kasir memasukan semua belanjaan Vero di dalam shopping bag. Kafka mengambil kartunya debitnya dan menyerakan kepada kasir. Vero menoleh menatap Kafka, kartu berwarna gold itu sudah di tangan kasir. “Total berlanjaan semua Rp. 808.000,“ ucap kasir. “Pakai ini aja mba,” ucap Vero menyerahkan kartu ATM nya. “Ini, bapaknya kasih kartunya sama saya bu.” “Pakai ini aja, mba. Jangan punya dia, kan ini belanjaan saya,” ia tetap tidak ingin dibayarin oleh Kafka. “Udah mba, pakai itu aja. Sekalian ini bayar punya saya juga, yang ini,” ucap Kafka, ia ke sini hanya membeli kopi dan beberapa minuman softdrink. “Baik pa.” Kasir lalu men scan barcode pada minumannya, ia melirik Vero yang kini memasukan lagi kartunya di dompet. Wanita itu menyimpan barang belanjaanya di dalam troli. Ia melihat kasir menyelesaikan transaksinya lalu mengucapkan terima kasih. Kafka melihat Vero melangkah menjauhinya, ia mengejar wanita itu, lalu menyeimbangi langkahnya. Ketika berada di depan lobby, Vero terpaksa harus meninggalkan troli, karena ia tidak boleh membawa troli itu keluar mall. “Barang belanjaan kamu banyak? Mau dibantuin nggak?” Tanya Kafka. “Enggak usah, bentar lagi juga nyampe lift?” “Yakin? Berat loh itu,” tunjuk Kafka. Vero memandang Kafka, baginya pria itu sangat mengganggu, ia mencoba mengangkat salah satu shopping bag itu, benar kata Kafka bahwa beban itu sangat berat. Tidak hanya satu tapi ada tiga paperbag di sana. Kafka yang melihat itu lalu menaruh minumannya ke dalam shopping bag dan mengangkatnya begitu saja. Vero hanya menatap Kafka yang sudah melangkah menjauhinya. Ia menarik nafas mengikuti Kafka menuju lift. “Ih, nyebelin banget sih, ketemu terus! Jakarta sempit banget sih, nyebelin banget!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD