HAPPY READING
***
Vero masuk ke dalam mobil mewah milik Kafka, ia menatap Kafka yang sedang memanuver mobil. Pria itu bersandar di kursi sambil memegang setir, tatapannya fokus ke dapan, dia memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Baginya titikk terganteng pria itu saat menyetir mobil. Tangan kiri Kafka berada di persneling.
Vero tanpa sengaja melihat jam tangan yang di kenakan Kafka, pria itu mengenakan jam tangan dengan brand Omega. Ia tahu merek jam tangan yang di pakai Kafka itu adalah jam tangan mewah yang berasal dari Swiss. Omega itu sendiri didirikan oleh Louis Brandt pada tahun 1848. Dan hingga saat ini Omega memang dikenal sebagai salah satu merek jam tangan mewah terbaik dunia. Kualitas dan spesifikasi sangat tinggi. Ia tidak membayangkkan bahwa Kafka mengeluarkan banyak uang untuk sebuah jam tangan.
Ia teringat kejadian beberapa menit yang lalu, ia yakin Kafka bertanya kenapa ia menyematkan pria itu sebagai kekasihnya di hadapan sang mantan. Ia seperti terperangkap dalam umpannya sendiri. Ia memikirkan apa yang akan ia jawab jika Kafka bertanya tentang penyematan itu. Ia hanya bisa menjawab karena kepepet dan ego untuk mempertahankan diri di hadapan mantan.
Kafka melirik Vero, “Tadi itu mantan kamu?” Tanya Kafka membuka topik pembicaraan, agar suasana mobil tidak terlalu sepi.
“Eh, iya,” ucap Vero gelagapan, baru saja ia memikirkan jawaban, sekarang pria itu bertanya apa yang ia pikirkan.
“Sudah lama kamu pacaran sama dia?” Tanya Kafka lagi.
“Lumayan.”
“Berapa tahun?”
“Hampir empat tahun,” ucap Vero pelan, ia sebenarnya tidak suka jika Kafka bertanya tentang sang mantan.
“Lama juga, ya.”
“Yah, begitulah, dari semenjak kuliah, dia dulu ambil master di London sedangkan saya menyelesaikan bachelor di Paris. Kita ketemunya di Inggri..”
“Why break up?”
“He is possessive, arrogant, and toxic. Saya nggak bisa berkembang jika bersama dia terus. Awal-awal pacaran mungkin suka dengan sikap dia, selalu ada buat saya, apa-apa dikabarin. But, lama kelamaan, kenapa saya seperti ini? Kenapa saya tidak berdiri sendiri? Kenapa harus mengikuti kata-kata dia? Kata ngikutin kata dia, hal sepele jika lama balas chat, dia marah, marahnya hingga berhari-hari dan membuat hubungan tidak sehat,” ucap Vero menjelaskan kepada Kafka.
“Terus, kenapa kamu tiba-tiba menyematkan pacar di hadapan dia?”
Vero sudah menduga, pasti Kafka akan bertanya seperti ini, “Jujur karena ada dia. Tadi di dalam lounge, dia sama pacarnya, saya nggak tau wanitanya siapa. Saya juga nggak tau, tiba-tiba menghadang kita tadi depan pintu masuk. Dia tanya kamu siapa? Yaudah saya jawab pacar. Jujur, itu reflek, saya nggak ada maksud apa-apa dengan kamu.”
“Saya hanya ingin terlepas dari dia, dan nggak gangguin saya lagi.”
Kafka menarik nafas, ia menatap Vero cukup serius ketika ia menghentikan mobilnya di depan lampu merah.
“Itu tandanya kamu memanfaatkan saya di depan dia?”
“Bukan begitu maksud saya.”
“Terus, apa kalau bukan, memanfaatkan apa dong?”
“Bukan begitu …”
“Hemmm.”
Vero lalu terdiam, ia sulit sekali mencari jawaban yang tepat, “Yah, mau gimana lagi,” ucap Vero pada akhirnya, ia sudah kehabisan kata-kata.
Kafka melirik Vero yang hanya diam, ia lalu menghidupkan audio music agar suasana tidak terlalu sepi. Mereka saling terdiam satu sama lain, karena sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Rumah kamu di Permata Hijau?” Tanya Kafka ia mebuka topik pembicaraan berbeda, ia juga tidak terlau banyak membahas, karena status pacar. Toh, tadi saat di pesta ia juga mengatakan bahwa Vero kekasihnya.
“Iya.”
“Tinggal sama orang tua?”
“Iya, masih tinggal sama orang tua.”
“Harusnya seumuran kamu sudah harus move dari rumah orang tua.”
“I know, memang sudah sering disuruh pindah sama mama dan papa. Kata mama saya tuh terlalu manja kayak princess, saya di suruh kerja sama mama. Cuma pas saya kerja di rumah bantu bibi masak. Bibi malah nggak usah di suruh bantu, katanya buat repot,” ucap Vero.
“Terus, habis kuliah kemarin pernah sih saya kerja jadi barista di coffee shop. Cuma beberapa bulan aja, terus mama nggak tega gitu lihat saya, tiap hari pulang malem muka capek.”
“Terus.”
“Saya pernah juga kerja jadi pastry di salah satu restoran. Itu di sana saya nggak kuat, capek banget tekanan kerja di kitchen capek, cuma bertahan satu bulan. Well, sampe sekarang nganggur.”
“Ada sih plan mau buat cookies dengan brand sendiri. Tapi nanti deh, masih bantu-bantu papa sama mas Andre di kantor. Tapi saya sudah buat resep untuk cookies, tinggal cari karyawan bantu jadi pastry saya sama admin media social. Rencananya emang buat rumahan dulu.”
“Buatnya di mana?”
“Nah itu, mama nyuruh pindah ke apartemen, biar plan saya jalan.”
“Jadi kapan kamu pindah?”
Vero mengedikan bahu, “Enggak tau, mama dan papa juga nggak nanya-nanya lagi tentang rencana saya buat cookies, mungkin udahh capek kali ya, saya yang nggak gerak.”
“Saya saranin kamu harus berkembang, buktiin kalau kamu bisa. Agar mantan kamu percaya bahwa kamu itu independent.”
“Ini lagi ngumpulin niatnya.”
Kafka mellirik Vero, sebenarnya tadi ia hanya basa-basi saja menanyakan tentang kehidupan Vero. Ia Ia melanjutkan perjalanan menuju perumahan permata hijau.
“Kamu punya tempat tinggal sendiri?”
“Punya.”
“Di mana?”
“District 8 SCBD.”
Kafka mengerutkan dahi, ia menoleh menatap Vero cukup serius, “Tower apa?”
“Tower Infinity?”
“Lantai berapa?”
“Lantai 22.”
Kafka menyungging senyum, bisa-bisanya ia satu lantai dengan wanita itu. Masalahnya ia tinggal di tower apartemen yang sama di lantai yang sama, hanya saja beda nomor unit apartemen. Ia tidak tahu, ini kebetulan atau tidak.
“Kamu nggak tinggal di sana kan?”
“Tinggal di sana kok, sebagian pakaian saya sudah dipindahi, tapi nggak sering sih. Lebih sering nginap tempat mama dari pada di apartemen. Kenapa?”
“Enggak sih, nanya aja. Syukurlah kalau kamu sering di rumah orang tua kamu. Enggak tinggal sendiri, jadi nggak merasa terganggu juga punya tetangga kayak kamu.”
Alis Vero terangkat, ia lalu menatap Kafka, ia reflek menutup mulutnya dengan tangan, “OMG! Jangan bilang kamu tinggal di sana juga,” tebak Vero.
Kafka tertawa, ia menepuk setir mobilnya, ia merasa kesal sendiri, kenapa kejadian seperti ini tanpa di duga,
“Exaclty, tower yang sama dan di lantai yang sama.”
“Really?”
“Yes.”
“Oh My God!” Teriak Vero dalam hati.
“Saya tidak tahu kenapa saya selalu berhubungan dengan kamu.”
“Saya juga nggak mau berhubungan dengan kamu.”
“Sebanyak-banyak apartemen di Jakarta kenapa kita bisa satu gedung yang sama, parahnya lagi, lantai yang sama.”
“I don’t know.”
Kafka melirik Vero, ia sudah masuk di perumahan, “Rumah orang tua kamu yang mana?”
“Itu, yang ada pohon pinangnya di luar pagar,” tunjuk Vero.
Akhirnya mobil Kafka berhenti di rumah berpagar tinggi itu. Ia menghidupkan lampu dasbor, ia dapat melihat wajah Vero secara jelas di bawah penerangan lampu dasbor yang seadaanya. Jika diliihat secara dekat seperti ini, ia akui bahwa wanita itu memiliki wajah yang cantik, bibirnya penuh, bentuk wajahnya berbentu V yang diidam-idamkan wanita masa kini.
“Vero,” ucap Kafka.
Vero melepas sabuk pengamannya, memandang Kafka, “Iya.”
“Untuk masalah tadi di lounge.”
“Masalah yang mana?” Tanya Vero.
“Masalah kamu, menyematkan saya sebagai pacar.”
“Terus.”
“Saya pikir itu, itu menjadi permasalahan yang cukup rumit.”
“Rumitnya di mana?” Vero tidak mengerti, ia pikir Kafka tidak membahasnya lagi. Lagian setelah ini ia tidak akan bertemu dengan Jay lagi. Bertemu Jay di lounge hanya kebetulan saja.
“Permasalahan kita yang tanpa sengaja tadi. Saat di pesta, saya memberitahu bahwa kamu kekasih saya, sehingga keluarga saya beranggapan bahwa kamu kekasih saya. Dan begitupun kamu mengatakan hal yang sama dihadapan mantan kekasih kamu. Ini sangat complicated menurut saya.”
“Bukannya impas ya, take and give gitu. Saya tanpa sengaja aja tadi bertemu Jay, menjaga ego saya saja, karena di dalam lounge tadi dia bawa kekasihnya. Jadi enggak apa-apa dong, secara kebetulan kita simbiosis mutulisme.”
“I know, saya pikir kita memang harus menjalani ini?”
“Menjalani seperti apa?”
“Pacaran fake saja, agar menyempurnakan semuanya.”
“HAH! Enggak, enggak, enggak, bisa,” Vero protes keras, bisa-bisanya Kafka berinisiatif untuk menjadi pacaran secara fake.
“Kenapa nggak bisa? Tadi kita sudah melakukannya.”
“Bukannya gitu, saya nggak bisa jadi pacar fake kamu, jangan aneh deh.”
“Tapi saya perlu kamu.”
“Perlu apa?”
“Saya perlu kamu saat-saat genting. Misalnya, tidur sama kamu mungkin.”
“What?” Vero terbelalak kaget, ia kaget luar biasa ketika Kafka mengajaknya tidur, ia tahu bahwa tidur yang di katakana Kafka itu bukan tidur seperti ia tidur di tempat tidur dengan nyenyak. Tidur yang di maksud mendesah di tempat tidur yang sama.”
“Lo tuh sinting, ya!” Vero dengan cepat keluar dari mobil dan lalu membanting pintu, ia baru tahu bahwa pria itu lebih memikirkan s**********n. Baru kali ini ia menemukan seorang dokter yang otaknya dipenuhi dengan ranjang.
Kafka tertawa, ia membuka power window, ia menatap ekpresi wajah Vero yang tengah kesal. Ia tidak tahu kenapa ia mengatakan ingin tidur bersama wanita itu.
“Pikirkan lagi kata-kata saya, kita hanya memastikan apakah kita cocok di ranjang atau tidak.”
“Crazy!” Teriak Vero, ia lalu masuk ke dalam pintu pagar, ia pastikan tidak akan pernah berhubungan dengan dokter gila itu lagi.
Kafka melihat tubuh Vero menghilang dari balik pintu pagar, ia tertawa terbahak-bahak di dalam mobil. Ternyata ekpresi kesal wanita itu sungguh menggemaskan. Ia memanuver mobilnya lagi, dan meninggalkan area perumahan itu. Padahal tadi ia tidak bermaksud untuk mengatakan tidur bersama, namun reaksi wanita itu meledak-ledak.
***