10. Tanda Pita

1265 Words
Bab 10  Ika pikir tidak punya kesempatan melihat Salman selama persami ini. Karena kenyataannya lokasi kegiatan PMR dan paskibra selalu terpisah jauh. Selain di acara api unggun malam tadi yang berlangsung sekilas karena guyuran hujan membubarkan acara itu. Lalu siapa yang mengira pagi ini Salman datang dengan sendirinya di saat Ika tidak lagi berharap. Jalan hidup itu memang aneh, tidak bisa diterka atau direncanakan sekali pun bisa berubah. “Man, tahan Man kita udah sampe di unit kesehatan.” Fahri membopong Salman yang wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya lemas. “Kenapa temannya? Ada masalah?” Bukan, bukan Ika yang bertanya dan menangani Salman tapi kakak senior. Ika di sana hanya berperan sebagai anak bawang atau figuran yang membantu. Tapi sebenarnya tugas figuran itu bukan hanya bengong tapi harus mengamati dengan baik secara seksama. Dan belajar dari cara kakak senior menangani atau membantu orang yang membutuhkan pertolongan. “Dia muntah setelah makan tadi. Mungkin masih merasa mual atau kepalanya pusing.” Jelas Fahri dalam keadaan panik. “Makan apa?” Mendengar adik junior yang baru datang itu muntah setelah makan, wajah kakak PMR ikutan panik dan tegang. Di tambah lagi Salman mengenakan pita pada bahu tangannya. Pita itu punya arti tanda sebagai orang penderita penyakit bawaan. Saat persami dimulai, mereka yang memiliki masalah riwayat kesehatan atau sesuatu yang bersifat pribadi diminta memasang tanda pita agar mudah dikenali pembina dan panitia jika terjadi apa-apa. “Makan bubur kacang ijo Kak. Kayaknya sih buburnya gak apa-apa tapi saya cemas teman saya kenapa-kenapa jadi saya bawa ke sini.” Lebih baik melakukan antisipasi tindakan awal, pikir Fahri. “Ri...” Suara lemah Salman memanggil. “Fahri... Gue gak apa-apa...” “Hah!? Yakin?” Fahri bingung. “Kita udah terlanjur sampe di sini juga. Cek aja Man, tanggung.” Salman menggeleng, yang paling paham kondisi tubuhnya adalah Salman sendiri. “Gue cuma mual karena jijik. Atau bisa juga karena masuk angin. Memang badan gue kurang sehat tapi bukan sesuatu yang parah kok.” Panjang lebar Salman menjelaskan kondisinya. Fahri belum melepas tangannya dari tubuh Salman, merasa semua kepanikannya sesaat lalu langsung luntur jatuh ke tanah. Sampai energi tubuh dan semangatnya juga hilang. “Sial, nakutin aja nih anak satu.” Maki Fahri dalam hati. Perasaan yang bercampur antara kesal dan lega. “Yakin kamu gak apa-apa? Coba sini kakak bantu sebentar.” Suhu tubuh Salman dicek, begitu juga dengan denyut nadinya. “Iya, kamu sedikit demam. Pulang nanti segera periksakan diri ya,” Pesannya. “Lalu, apa kamu mau sarapan aja di sini? Bubur kami anak PMR normal kok, gak dikasih campuran macam-macam. Bubur nasi normal.” Kakak PMR tersenyum, rasanya tidak asing dengan anak-anak paskibra atau pramuka yang selalu menuai korban macam ini. “Eh? Gak apa-apa kok Kak, saya jadi repotin kalau gitu.” Tolak Salman canggung juga malu. “Enggak apa-apa kok. Dari pada perut kamu kosong, nanti demamnya tambah lagi.” Kakak senior menatap Ika yang sedari tadi terdiam gugup. Salman sang pujaan hati berada sangat dekat di depan matanya. Entah mengapa dia kikuk dan membantu, menatap Salman secara langsung saja rasanya sulit. Apalagi saat ini Ika juga bisa mendengar jelas suaranya itu. “Dik,” Panggil kakak senior pada Ika. “Bisa kamu tolong bungkus bubur kita buat teman satu ini.” Pintanya. Tanpa kata Ika segera melakukan permintaan itu. “Duh Kak, gak apa-apa jadi repotin.” Fahri ikutan tidak enak hati. “Oh, kamu mau juga sekalian?” Tawar kakak pada Fahri juga. “Saya gak perlu Kak, saya udah makan bubur tadi sampe abis kok!” Tolak Fahri tegas. Dan itu benar, Fahri tidak berbohong. Ia tidak punya masalah dengan bubur kacang hijau buatan ekskulnya sendiri, seperti mayoritas anak paskibra lainnya. Hanya Salman yang menunjukkan reaksi berlebihan serupa kelas drama seperti ini. *** Fahri dan Salman kembali ke lokasi ekskul paskibra berkumpul dengan oleh-oleh buah tangan bubur nasi buatan ekskul PMR. Teman-teman yang lain dalam penantian dan cemas pada kepastian kondisi Salman. Saat melihat keduanya kembali, Salman dan Fahri dihujani pertanyaan. “Bagaimana? Apa kata mereka?” Dengan wajah serius. “Lo udah gak apa-apa Man? Minta ijin aja sama kakak senior kalau gak kuat.” Teman satu ini tipe pengertian. “Sabar Man, tahan tinggal upacara penutup kok. Abis itu kita pulang. Lo masih kuat ‘kan?” Dan yang ini tipe pemberi semangat dan motivasi. “Helo guys, tenang-tenang... Dia gak apa-apa cuma mual.” Lalu ini Fahri yang bicara. Melihat yang lain sama paniknya seperti dirinya sesaat lalu, Fahri sangat paham itu. Tapi Salman terlihat sehat hingga bisa kembali bergabung dengan yang lain. Dan berjalan dengan kekuatan sendiri, tidak seperti saat pergi tadi yang dibopong Fahri. Bukankah itu sudah cukup bukti yang kuat, begitu Fahri menjelaskan pada teman-teman lain. “Terus ditangan lo itu apa?” Tanya Tegar penasaran apa yang Salman bawa. “Ini bubur, bubur nasi.” Jawab Salman polos sekalinya buka suara. “Udah-udah bubar, nanti kena tegur kakak senior loh!” Fahri membubarkan kerumuman. Anak-anak yang lain kembali pada kesibukan masing-masing. Setelah sarapan agenda berikutnya sudah menanti dan saat ini mereka sedang bersiap untuk itu.  “Man lo makan aja dulu buburnya. Gue mau kabarin kakak ketua dulu ya.” Saat pergi ke unit tugas kakak ketua yang memberi ijin. Jadi Fahri merasa harus melapor balik perkembangan situasi terkini pada kakak ketua juga. “Kaget lo gue Man, kirain kenapa-kenapa. Abis bikin panik sih, lo pake tanda pita pula waktu gue perhatiin.” Ya mereka sangat panik karena tanda pita yang Salman pasang. Takutnya Salman punya penyakit berat atau serius, reaksi Fahri juga membuat mereka tidak bisa memikirkan hal lain atau yang baik-baik. “Ahaha... Maaf ya udah bikin heboh.” Salman bukan mau buat acara prank apalagi cari perhatian. Ia memang tidak bisa makan sesuatu yang kotor, meski itu hanya mendengar kata lalat yang identik kotor. Keluarganya memang membesarkan dengan protektif pada makanan, tidak sembarangan. Orang lain akan menyebutnya anak rumahan yang hidup terlalu sehat. “Gak apa-apa, asal semua baik-baik aja.” Yang lain sepakat, asalkan tidak terjadi hal buruk semua bisa dimaklumi. “Tapi kenapa Salman pake tanda pita?” Tanya seorang yang lain berbisik pada Tegar. Karena merasa kalau Salman dengar mungkin akan tersinggung. “Gak apa-apa kok. Salman memang punya masalah kesehatan tapi rasanya itu privasi Salman jadi gue gak bisa ngomong.” Senyum Tegar canggung. “Kalo kata Fahri itu juga syarat dari orang tuanya, Salman harus inget kondisinya dan hati-hati jadi dia pasang pita itu.” “Ohh...” Ada alasan dibalik tindakan Salman dan Fahri rupanya. Sementara itu, kembali pada Ika di unit kesehatan setelah Salman dan Fahri pergi. “Hei, kamu kenapa?” Tanya kakak senior melihat Ika terus-terusan melamun, tidak fokus pada tugas pos penjagaan. “Haloo, Ika?” Panggilnya lagi. “Oh! Maaf Kak, maaf...” Ucap Ika panik. “Kamu aneh banget deh, tadi masih gak kenapa-kenapa. Capek?” Tanyanya cemas. “E-enggak kok Kak. Maaf...” Ika masih terbuai momen kunjungan Salman yang tiba-tiba sampai membuatnya melamun. Mencoba mereka ulang setiap detik-menit kehadiran Salman, pada setiap ucapan, gerakan Salman meski dalam jangkauan sudut matanya. Hingga saat di mana Ika memberikan bubur nasi pada Salman. Tangan Salman yang menyambut pemberiannya, saat itu seolah waktu berjalan dalam slow motion. Baru kali itu Ika berada sangat dekat dengan Salman hingga ia bisa memperhatikan jemari serta kuku Salman yang rapih dan bersih terawat. Padahal Salman laki-laki tapi kenapa jemari tangannga bisa terlihat indah dan bersinar seperti itu. Atau semua itu hanya berlaku terlihat dalam efek filter pandangan mata Ika seorang. Pastinya kejadian ini menjadi bagian dari sejarah besar kisah percintaan Ika yang sepihak. ***bersambung  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD