11. Semester Dua

1254 Words
Bab 11  Perpisahan yang berat Deby lalui, bukan sepenuhnya kesedihan karena Deby dan Ami membuat banyak kenangan indah saat persami. Setelah kepergian Ami, ada Sarah teman akrab Deby selanjutnya. Mereka selalu pergi kegiatan ekskul bersama dari Ciremai ke Malabar jika ada jadwal latihan. Walau mereka ikut ekskul yang berbeda. Deby bergabung dengan Paskibra dan Sarah ikut PMR. Di hari-hari latihan ekskul. Deby dan Sarah akan berangkat bersama dari Ciremai ke Malabar menggunakan transportasi khusus mereka, bemo. Pernah juga mereka terpaksa jalan sampai ke jalan raya yang dilewati angkutan umum kota karena bemo sudah kembali keperaduan sore itu. Meski berjalan kaki cukup jauh dan melelahkan, mereka menikmatinya. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol ngarol-ngidul atau bercanda begitu seru sampai perjalanan tidak terasa. Jalanan yang sepi, pepohon rindang tinggi berjajar yang meneduhkan pejalan kaki, Deby suka semua itu. Kadang Deby sengaja pulang berjalan kaki mengajak teman-temannya untuk sekedar mengirit ongkos. Deby paling suka berjalan di tengah jalan atau berjalan sejajar dengan teman-temannya, sengaja memenuhi badan jalan membentuk barisan. Seakan jalan itu milik mereka, kekanakan memang. Pada hari yang senantiasa damai seperti biasa, di dalam ruang kelas. “Tuker tempat duduk yaa? Jam pelajaran pak Hendro nanti gue duduk di bangku lo.” Pinta Deby pada seorang teman yang duduk di kursi paling belakang kelas. Tempat paling strategis untuk menghindari pengawasan dari meja guru. Cowok itu memandang Deby dengan wajah bingung. “Emang kenapa? Nanti gue duduk sama Sarah dong?” Di kelas siswa dan siswi terbiasa duduk berdampingan sesama jenis. Sudah seperti aturan mutlak meski tidak tertulis. “Iyaa, satu pelajaran aja...” Deby memelas, meminta sampai seputus asa itu. Tapi temannya masih tidak bisa mengerti, apalagi memberi ijin karena Deby tidak menjelaskan alasannya. “Paling dia mau baca komik di belakang.” Sambung Andikom a.k.a Andri Komarun, ketua kelas 1-5. Pembicaraan dari arah meja di belakangnya mau tak mau terdengar membuat Andikom jadi ikut angkat bicara. By the way, kenapa namanya menjadi Andikom karena di kelas ada nama Andri lainnya sehingga anak-anak di kelas memberinya nama alias. “Hehe...” Cengir Deby polos. Apa sejelas itukah niatannya itu sampai orang tahu kebiasaan freak Deby. Teman yang dimintai tolong menghela nafas panjang, lebih sulit untuknya mengerti Deby dari pada menyerahkan kursi ini. “Kalo gitu Sarah ikut pindah juga ke belakang biar gak keliatan aneh.” Saran pemiliki kursi yang tidak bisa menolak permintaan Deby. Sejak Ami pindah, yang menjadi teman sebangku Deby adalah Sarah. Deby mengacungkan jempol tangannya. “Beres!” Kalau Sarah pasti ikut saja apa kata Deby. Di waktu istirahat sekali pun Deby akan tetap berada di kelas membaca di sudut ruangan di temani sebungkus roti dan sebotol air mineral, baginya menu tadi sebagai santapan makan siang sudahlah cukup. Terkadang jika terlalu tenggelam dalam buku cerita yang dibacanya, Deby sampai melewatkan waktu makan siang. “Nih gue beliin di kantin, karena lo gak keluar kelas sama sekali. Cepat habisin sebelum bel masuk!” Sarah memberikan perhatian manis pada rekan sebangkunya. “Oke, makasih.” Ucap Deby tanpa beralih tatapan mata dari halaman komik yang sedang dibaca. Bila sudah masuk ke mode seperti itu, Deby telah pergi jauh ke dalam dunia fantasi dan ranah pribadi miliknya seorang. Fokus total dan tidak bisa diganggu. Sarah, tanpa Deby duga adalah bertipe karakter yang terobsesi pada hubungan pertemanan. Deby berteman dengan Sarah terbilang akur dan tidak pernah berselisih, kecuali satu waktu keduanya bertengkat untuk pertama kali. “Kita ‘kan bisa main sama-sama Sar?” Deby meminta pengertian Sarah. “Gak! Kalo bareng sama yang lain gue gak ikut. Kalian aja yang pergi.” Sarah kukuh tidak ingin merubah pendiriannya. Deby tersulut emosi. “Tapi ‘kan kita udah janji kemarin pergi bareng, lo mau batalin janji lo sama gue sekarang?!” “Kita bisa pergi lain waktu. Sekarang lo pergi aja sama yang lain.” Sarah tidak bergeming. “Ya udah kalo itu mau lo, bukan gue yang batalin janji ya!!” Deby tidak ingin setelah ini Sarah kemudian marah padanya. Yang ada saat ini Deby kesal dengan sikap keras kepala Sarah. Saat Deby hendak beranjak pergi Sarah berkata. “Tapi lo ‘kan bisa pergi sama gue gak usah ikut mereka.” Deby berbalik dengan raut wajah kecewa. “Gak bisa! Lo mau gue pilih antara lo sama teman-teman? Gue harus main sama lo terus, lo doang, dan lo lagi gitu?!” Sarah terkejut tidak menduga Deby akan semarah itu. “Gue juga perlu berteman sama yang lain dan seharusnya lo juga begitu.” “Lo gak bisa selamanya ngandelin gue. Ke kamar mandi lo selalu minta diantar bareng. Waktu istirahat ke kantin harus terus bareng lo juga. Sebenernya yang lo butuhin itu teman atau pengasuh?” Ledakan protes Deby yang terucap tanpa kendali membuat Sarah hampir menangis. Pertengkaran mereka selevel kelas anak sekolah, sangat kekanakan. Tapi bagi keduanya ini pertengkaran yang amat serius. Sarah tidak pernah tahu bahwa Deby memiliki banyak keluhan tentang dirinya. Selama ini Sarah pikir dirinya dan Deby saling cocok satu sama lain. Maka dari itu Sarah hanya bermain dengan Deby. Karena bagi Sarah satu teman yang bisa mengerti bagaimana dirinya sudah cukup. “Sampai lo sadar apa kesalahan lo, gue gak mau ngomong sama lo dulu.” Deby pergi meninggalkan Sarah siang itu sepulang sekolah untuk bergabung bersama teman-teman lain yang menunggunya. *** Deby mendiamkan Sarah, tidak menyapa, juga mengajak bicara hampir satu pekan penuh. Di hari berikutnya Sarah mencoba berbaikan dengan Deby, ia menyiapkan suatu rencana. Saat Deby tidak berada di mejanya, juga tidak terlihat berada di dalam kelas. Sarah menaruh sejumlah permen coklat yang diremas dan dibungkusnya dengan kertas koran, lalu menaruh permen coklat itu di laci meja milik Deby. “Pelajaran cukup sampai di sini, jangan lupa kerjakan tugas kalian dan kumpulkan minggu depan.” Guru menutup pelajaran. Sepulang sekolah saat Deby berkemas barang bersiap pulang, merogoh laci meja memastikan tidak ada barang yang tertinggal, bungkusan koran berisi permen coklat dari Sarah itu baru ia temukan. “Siapa yang simpan sampah di laci gue?!” Saat Deby membuka gumpalan koran mencurigakan itu, ia dapati permen coklat kesukaannya yang biasa ia beli di kantin. Sarah berdiri di hadapannya, sudah mempersiapkan bait dialog untuk meminta maaf pada Deby. “Gue gak mau kita terus marahan, diam-diaman, gak temanan lagi. Maafin gue yang egois, bikin lo kesel dan banyak ngerepotin.” Deby tidak bisa bersikap kejam setelah perbuatan Sarah yang meluluhkan hatinya. Hanya Sarah yang memperhatikan Deby sejauh ini dan membuatnya merasa terharu, hanya Sarah teman yang tahu bahwa permen coklat itu camilan favorit Deby. Deby tersenyum memaafkan Sarah, memberinya pelukan. “Gue juga minta maaf, gue gak bisa ngertiin lo.” Sarah menggelengkan kepala. “Bukan, gue yang salah terlalu manja, terlalu bergantung sama lo.” “Udah, kita sama-sama salah. Kita bisa berubah lebih baik sedikit demi sedikit bareng-bareng kedepannya.” Deby merangkul Sarah. “Iya, maafin gue yaa...” “Lo tahu ‘kan gue gak benar-benar marah sama lo hanya―Ah lupakan.” Setelah dipikir bila Deby membahas hal itu lagi, bisa jadi mereka berakhir dengan pertengkaran lain. “Intinya setelah kepergian Ami gue gak mau jadi penyendiri lagi, gue sadar butuh lebih perduli pada lingkungan pertemanan gue.” Bukan Deby tidak mengerti, Sarah merasa nyaman bersama dirinya hingga merasa cukup hanya dengan seorang teman. Saat awal masuk sekolah Deby juga seperti itu, sedikit demi sedikit ia mulai merubah diri. “Lo sahabat gue Sar, lo teman terpenting buat gue. Gue harap lo tahu itu.” Perkataan orang bilang, melalui pertengkaran suatu hubungan bisa menjadi lebih kuat dan dekat. Begitulah keduanya memperkuat ikatan persahabatan mereka. ***bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD