13. Olimpiade Matematika

1187 Words
Bab 13  Semakin dicari tahu dan diamati, Deby semakin merasa selera Ika diluar kata biasa atau normal. Seorang Salman memang memiliki kelebihan luar biasa secara akademis tapi di aspek lain ia juga punya banyak kekurangan, kesimpulannya Salman hanya seorang biasa tidak sesempurna yang Ika gambarkan. “Salman itu lemah fisik, juga gampang banget dikibulin.” Sekarang kalau Deby ingat-ingat sosok Salman itu, “Dia muntah parah waktu makan bubur kacang ijo, hanya karena kakak kelas bilang bubur itu dicampur lalat.” Ika yang mendengar setiap perkataan Deby dengan seksama sejak ia mulai bercerita hanya senyum-senyum walau hal minus tentang pujaan hatinya dipaparkan secara gamblang. Apalagi mengingat hari itu, saat Ika memberi bungkusan bubur nasi untuk Salman. Tidak ada kesempatan atau pun kemungkinan untuk Ika merasa illfeel sedikit pun tersirat pada ekpresi wajahnya. Maka benar apa pendapat awal Deby tentang rasa sepihak Ika yang sudah membuatnya buta pada apa pun. “Terus-terus?” Pinta Ika pada Deby untuk bercerita lebih banyak. “Keinginan Conan paling besar yang menjadi tujuan utama adalah menjadi ketua OSIS.” Deby ingat seorang yang mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan OSIS saat demo ekskul diawal ajaran baru lalu adalah Salman orangnya. “OSIS ya, Conan pasti bisa seratus persen jadi ketua OSIS.” Hayalan Ika malah sudah melambung jauh tentang betapa kerennya Salman bila menjadi ketua OSIS. “Gila ya... Dia tuh pinter banget-nget, pakai banget titik!” Sejak Zizah mundur dari ekskul paskibra rasanya kini beban tugas Zizah itu beralih pada Deby. Seperti sekarang, Deby harus pasrah meladeni Ika dan kegilaannya tentang Salman. Apalagi setelah Deby memberi nama samaran, Ika semakin membabi-buta membicarakan Salman di mana pun kapan pun tanpa perlu cemas orang lain mencuri dengar. “Ada gak cewek yang dekat sama dia sekarang?” Tanya Ika. “Gue mana bisa tahu sejauh itu Ai.” Ika pikir Deby seorang agen profesional apa. “Selama ekskul dia dekat sama temen perempuan di kelasnya aja. Itu yang gue lihat.” “Bagaimana ya cara biar dia sadar keberadaan gue?” Ini lagi, Ika bertanya hal yang sulit untuk Deby jawab. Apa Ika yakin tidak akan diam membatu lagi di hadapan Salman seperti saat terakhir kali persami. “Gue gak tahu, gak ada ide.” Kata Deby tanpa berusaha memeras otaknya mencari cara. Ia hanya malas melakukan itu. “Ayolah... Bantu mikir dong, temen lo ini lagi butuh dukungan.” Desak Ika. Bagaimana caranya Deby memberi saran atau masukan di mana ia sendiri susah bergaul, tidak pernah melakukan pendekatan pada orang lain, terlebih lagi tidak pernah menyukai seseorang seperti Ika. “Tanya pada orang yang punya pengalaman, sementara gue apa? Hanya seremah pendamping dalam kisah hati tak berbalas lo ini.” Jawab Deby sebijak mungkin. “Kalau gitu bantu do’a, apa pun yang terjadi lo harus selalu berada di pihak gue ‘kan? Bela gue.” “Tentu aja, jelas itu!” Janji Deby. Meski ia tidak tahu entah apa yang akan Ika lakukan pada pujaan hatinya untuk mendapat perhatian dan disadari keberadaannya yang selama ini tersembunyi hampir tidak pernah ada dan hanya dapat mengamati dari kejauhan. *** Ika tampak sibuk belakangan ini, bukan Deby tidak mengetahui alasan di balik itu. Satu waktu Ika datang pada Deby dan dengan semangat 45 ia bercerita. “Ketemu De! Gue ketemu caranya agar Conan notice gue!” Ika membawa Deby sedikit menjauh dari ruang kelas. Saking terburunya dan dengan paksaan, manga yang Deby tengah baca masih berada di tangan.  Di sela istirahat siang tidak biasanya Ika mendatangi Deby sampai ke kelas karena tidak ingin terlihat kentara tertarik pada Salman bila lama-lama berada di sana. Karena itu Ika tidak pernah main di kelas Deby meski waktu istirahat sekali pun. “Gue bakal ikut olimpiade matematika!” Serunya masih dalam nada bicara ceria dan semangat. “Eh? Lomba?” Deby tidak mengira punya teman yang memiliki level kecerdasan dalam tingkat berkompetisi seperti ini. Pastinya Ika ikut serta karena hasil pilihan sekolah dan itu bukan hal sembarangan. Sebenarnya bukan hanya Ika, beberapa siswa Top dan guru sedang mempersiapkan sebuah pasukan tim khusus untuk menjadi perwakilan sekolah dalam ajang Olimpiade Matematika. Dan Ika adalah salah seorang yang terpilih untuk menjadi partisipan. “Iya, gue jadi perwakilan sekolah sama Bondan.” “Siapa Bondan?” Tanya Deby yang baru kali ini mendengar nama itu. “Temen sekelas gue. Partner gue buat olimpiade nanti.” “Kenapa bukan Salman? Kalau kalian jadi satu tim, lo ‘kan bisa lebih akrab sama dia.” Karena tim harus membangun kekompakan dalam kerjasama, sekurang-kurangnya Ika dan Salman harus berkomunikasi, belajar bersama dan menghabiskan waktu. Sayangnya lomba pidato Bahasa Inggris juga diadakan pada waktu berdekatan. Salman sebagai perwakilan sekolah untuk bidang Bahasa Inggris. Juga sebelumnya Salman sudah pernah mengikuti lomba Fisika. Pihak sekolah ingin memberi siswa lain juga kesempatan yang sama untuk berprestasi “Enggak! Gue bakalan nolak juga kalo dipasangin sama Conan. Gue pasti gak akan bisa konsentrasi sama lomba nanti.” Ika pasti akan terus-terusan tegang dan gugup bukan karena lomba tapi karena keberadaan Salman. “Lagi pula Salman sibuk persiapan lomba bahasa inggrisnya.” Ah, Deby sudah mendengar tentang lomba itu di kelas. Sebenarnya Sarah juga mendapat amanat menjadi peserta lomba dari guru, tapi ia dengan tegas menolak tawaran itu. “Jadi ya, gue bakal buktiin ke Salman kalo gue itu juga jago matematika! Gue mau tunjukin kalau bukan dia aja yang bisa berprestasi tapi anak lain juga. Dengan begitu dia mau gak mau harus mengakui keberadaan gue!” Terdengar dari rencana Ika, semangat dan tekadnya itu rasanya bukan pengakuan yang dia inginkan. Tapi terdengar seperti seorang yang menuntut pembalasan dendam. Sebenarnya konsep apa yang coba Ika terapkan dalam hubungannya dengan Salman. Cinta sebelah tangan atau cinta dan benci. Seperti apa yang Ika katakan pada Deby, bahwa momen ini adalah kesempatan berharganya untuk ajang unjuk kemampuan pada Salman agar mendapat pengakuan atas aksistensi dirinya. Tapi dari yang Deby lihat dan amati sejauh persiapan lomba, Ika sangat dekat dengan partnernya bernama Bondan itu. Seperti memiliki hubungan lebih dari sekedar teman biasa, mereka terkesan mesra. Deby sampai bertanya pada Ika karena penasaran. “Lo yakin gak ada apa-apa sama Bondan?” Wajah Ika tersenyum padahal Deby bertanya dengan segenap keseriusan. “Ya ampun Yuki, Bondan itu cuma temen. Kita gak ada apa-apa, gue sama Bondan sih emang biasa bercanda sampe kaya gitu.” Ika paham bila kedekatannya dengan Bonda bisa menimbulkan salah paham Deby, banyak orang yang datang padanya menanyakan hal yang sama juga. Mendengar jawaban Ika Deby masih ragu, karena hubungan sedekat itu dan mereka bilang tidak ada apa-apa. Jujur buat Deby itu sangat aneh dan terasa asing. Jika tidak ada apa-apa sulit rasanya bisa sedekat itu dengan teman laki-laki, setidaknya bagi Deby seperti itu. “Kenapa? Masih belum percaya?” Wajah Ika semakin tersenyum lebar. “Yuki... Gue itu cinta mati sama Conan.” “Cinta mati? Bukan cinta buta atau cinta monyet gitu? Apa udah seserius itu!” Pikir Deby merasa ngeri. Meski Deby menyukai seseorang nanti sekali pun, tapi ia tidak peraya ada cinta sehidup semati. Bukankah perkataan itu artinya adalah hanya mencintai satu orang seumur hidupnya. Tidak ada orang yang hanya mencintai satu orang saja selama hidupnya, Deby yakin itu. ***bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD