***
Minggu pagi yang cerah, Faqih tidak berangkat bekerja. Di teras dia sedang berbincang-bincang dengan rosyid yang hari itu juga tidak ada acara untuk keluar, biasanya jika hari libur memang Rosyid mengajak keluarganya sekedar refreshing berjalan - jalan ke tempat-tempat hiburan. Namun tidak untuk hari ini karena istrinya bersama dengan anak-anaknya berangkat ke rumah orang tuanya, dan saat rosyid menawarkan diri untuk mengantarkan mereka istrinya menolak dengan alasan agar Rosyid bisa beristirahat setelah lelah selama seminggu bekerja. Memang jarang terjadi kesempatan bagi Faqih maupun Rosyid untuk bisa berbincang - bincang seperti dulu, selain Rosyid juga memiliki kesibukan yang makin bertambah setiap harinya, demikian halnya dengan Faqih yang kini tak lagi bertugas sebagai kenek yang membantu tugas seorang tukang. Sang Mandor telah menaikkannya untuk menjadi tukang.
Menjadi seorang tukang tentu saja bayarannya jelas dari banyak dibandingkan dulu ketika Faqih masih bekerja sebahai kenek atau pembantu tukang. Bisa dibilang gajinya tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan seorang kenek biasa.
Akan tetapi yang tidak Faqih sukai adalah ketika Sang Mandor menaikkan jabatannya menjadi tukang, dengan alasan yang dibuat-buat Sang Mandor meminta Faqih menyisihkan gajinya untuk Sang Mandor. Mungkin nominalnya tidak besar, namun setelah Faqih menyelidikinya sendiri ternyata yang dipotong gajinya tidak hanya dirinya, melainkan seluruh tukang yang bekerja di proyek yang sedang dikerjakannya, gaji mereka semua ikut pula dipotong. Bukannya Faqih tidak tahu bahwa uang potongan itu masuk ke dalam kantong Sang Mandor, tetapi Faqih memang saat ini sudah tidak mau lagi ribut - ribut dengan orang, apalagi hanya sekedar bayaran. Dan dia memilih untuk bersyukur, karena kini gajinya setidaknya sudah lebih banyak dibandingkan sebelumnya.
"Jadi benar berita yang kudengar, Faqih, bahwa kamu saat ini sudah tidak lagi di pekerjakan sebagai kenek oleh oleh Mandor itu?" tanya Rosyid seraya meneguk kopi yang dihidangkan oleh istrinya sebelum istrinya berangkat bersama anak-anaknya.
"Benar, Mas. Pak Mandor menaikkan saya menjadi tukang saat ini, dan gajinya lumayanlah. Setidaknya kalau dibandingkan sewaktu saya menjadi kenek dulu ya jelas jauh." Faqih menjawab.
"Aku ikut senang dan bersyukur bawa kini kamu ada uang lebih untuk bisa kamu tabung dibandingkan dulu ketika kamu bekerja ke sana ke sini yang nyatanya tidak menghasilkan apa - apa." Rosyid melipat koran yang dipegangnya, diletakkannya di meja di samping cangkir kopinya.
"Tentu saja semua ini berkat bantuan dari Mas Rosyid, andai saja tidak bertemu dengan Mas Rosyid, entahlah ... mungkin saya sudah jadi gelandangan di kota ini." Faqih sedikit terkenang masa - masa sulitnya dulu.
"Kamu tidak perlu berbicara seperti itu, Faqih. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita sebagai sesama muslim untuk saling tolong - menolong?"
"Memang benar, Mas. Tetapi kan Mas sendiri tahu bahwa saya tidak ada hubungan apa - apa dengan Mas."
"Tidak perlu kamu ungkit hal itu, Faqih. Menolong tidak harus kepada orang yang kita kenal. Kalau kita mendapati seseorang memang dalam keadaan butuh pertolongan dan kita memiliki kemampuan untuk menolongnya, kenapa tidak?"
"Benar sekali, Mas. Saya banyak belajar dari Mas Rosyid."
"Wah kamu ini ya, ada-ada saja, Fakih. Oh ya, soal pertemuanmu dengan sahabatnya Kyai Rahman yang bernama Fendy bagaimana?" tanya Rosyid, dia menggeser duduknya sedikit lebih menghadap ke arah Faqih. Tampaknya obrolan mereka sedang mulai akan mengarah ke hal yang cukup serius.
"Alhamdulillah, semua berjalan baik, Mas. Sosok hitam yang selama ini menguasai tubuh saya sudah berhasil dikeluarkan dengan bantuan dari Mas Fendy
"Tetapi, apakah makhluk itu akan balik lagi?" tanya Rosyid yang sepertinya sedikit khawatir.
"Kalau menurut penuturan Mas Fendy sepertinya tidak, karena ketika makhluk itu keluar dari tubuh saya, saat itu juga dia diburu dan ditikam oleh mandau milik Mas Fendy."
"Aku tak menyangka bahwa mandau yang dimiliki oleh Fendy itu termasuk mandau yang diberikannya kepada Kyai Rahman memiliki kemampuan yang begitu luar biasa." Rosyid berdecak kagum.
"Ya, Mas. Setiap daerah memang memiliki keunikan masing-masing, Mas. Salah satunya di tanah Kalimantan ini adalah kedahsyatan dari senjata pusaka yang disebut mandau itu." Faqih menjelaskan.
Ketika Rosyid dan Faqih sedang asyik berbincang - bincang secara tiba - tiba terlihat sebuah mobil yang berhenti di depan pintu gerbang rumah Rosyid. Mobil itu membunyikan klakson, teranglah sudah kalau mobil tersebut adalah tamu yang akan mengunjungi rumah Rosyid.
Mulanya rosyid ingin bangkit untuk membukakan pintu gerbang, namun dari arah samping rumah Mang Asep dengan tergopoh - gopoh keluar dan membukakan pintu gebang untuk mobil tamu yang akan masuk.
Setelah pintu gerbang dibuka mobil pun perlahan memasuki area teras rumah Rosyid yang cukup luas. Dari dalamnya keluar seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian mereka berdua membuka pintu belakang, dan saat dibuka ternyata terlihat seorang gadis yang berjalan dengan dipapah oleh keduanya.
Melihat tamu yang datang Rosyid sedikit bingung karena dia tidak mengenali tamunya, berbeda halnya dengan Faqih, dia ingat betul kalau sosok laki - laki yang kini sedang memapah seorang gadis muda yang badannya tanpa sangat kurus dengan mata yang cekung adalah laki - laki pemilik warung makan yang dulu dirinya, Kyai Rahman dan Fendy kunjungi, terbayang lagi dalam benak Faqih bagaimana saat itu dia melihat tiga sosok pocong yang akhirnya diusir dengan bantuan Fendy.
Kalau Faqih boleh menebak lelaki dan perempuan itu tentulah sepasang suami istri, sementara yang perempuan itu bisa jadi adalah anaknya, atau saudaranya. Akan tapi kalau Faqih mengingat lagi kata-kata sang pemilik warung maka tebakannya adalah gadis muda yang tengah dipapah itu adalah keponakannyabBapak pemilik warung.
"Assalamu alaikum" yang mengucap salam adalah yang perempuan.
Faqih dan Rosyid menjawab salam keduanya, kemudian mempersilakan mereka untuk duduk di kursi yang lain yang memang sudah tersedia di teras.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Rosyid kepada lelaki pemilik warung makan.
"Nama saya Bandi, saya adalah pemilik warung yang dulu sempat dikunjungi oleh Mas ini, yaitu Mas Faqih."
"Oh jadi Faqih sudah kenal dengan Bapak ini?" tanya Rosyid ingin meyakinkan, pandangannya tertuju pada Faqih.
"Ya, Mas. Saya masih mengenali Bapak ini, Beliau adalah Bapak pemilik warung yang dulu saya, Kyai Rahman dan Fendy kunjungi untuk makan usai acara ritual Megat Ruh."
Rosyid hanya menganggukb- angguk saja, kemudian dia bangkit dan berkata, "Kalau begitu silakan berbincang - bincang dulu, saya akan ke dalam untuk membuatkan minuman."
Lelaki yang bernama Bandi hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum.
"Apakah ini yang waktu itu Pak Bandi bilang kepada saya?" tanyabFaqih, matanya memandangi sosok gadis itubdengan pandangan menyelidik.
"Betul sekali, Mas Faqih, dia adalah keponakan saya, dia seperti ini sudah beberapa bulan lamanya, berobat ke mana - mana tidak ada perubahan, yang ada malah semakin hari tubuhnya semakin kurus, ucapannya pun semakin kacau tidak jelas." Pak Bamdi menjelaskan.
"Baiklah, saya minta waktu sebentar, ya Pak," kata Faqih.
"Lagi-lagi Pak Bandi dan istrinya menganggukkan kepala. Gadis yang dibawa oleh mereka menatap ke dinding dengan pandangan kosong, namun mulutnya seperti bergumam dengan gumaman yang tidak jelas.
Faqih memejamkan matanya, lalu dia membaca mantra yang diajarkan oleh Ratu pantai selatan, saat dia membuka mata betapa terkejutnya Faqih, ternyata di dalam tubuh gadis itu dia melihat ada seorang nenek-nenek dengan wajah yang sangat menyeramkan. Kalau Faqih lihat dan perhatikan maka ukuran tubuh nenek - nenek itu sama dengan ukuran tubuh gadis tersebut. Kemudian Faqih menutupkan matanya kembali, dan saat dibuka dia melihat ada satu sosok lelaki tampan yang memakai pakaian prajurit berwarna hijau dan di tangannya pada sebuah tombak yang berukirkan sisik ikan.