Sudah hampir jam dua siang. Bunyi telfon kantor.
Carolyne lalu mengangkat telpon tersebut
"Helo?"
"......."
"Baiklah ... akan saya sampaikan."
Carolyne berjalan menghampiri meja kerja Allerd.
"Bapak ada jadwal meeting bersama para direksi," kata Carolyne mencoba santun, meskipun sebenarnya sangat muak.
"Baiklah, ayo kita ke sana," kata Allerd
"Apa saya harus ikut juga?"
"Apa kamu tak tau sekretaris pekerjaannya selalu mendampingi atasannya?"
"Okay," jawab Carolyne agak tak ikhlas, karena Allerd selalu saja melakukan apa pun yang memang dia mau.
Tak perlu di perjelas Tn. Jhonson. Batin Carolyne.
Sampai di ruang rapat. Carolyne lalu duduk di samping pintu.
Kursi sudah di sediakan di sana untuk para sekretaris, sekretaris menunggu atasan mereka dan mencatat apa pun yang penting dalam meeting.
Carolyne melihat sudah ada beberapa sekretaris yang duduk di ujung tembok mendampingi atasan mereka, Carolyne mengangguk-nganggukkan kepalanya.
"Kamu sekretaris, Tn. Johnson?" tanya wanita berambut pirang coklat itu, wajahnya benar-benar cantik. Semua sekretaris di sini pun memang cantik semua.
"Iya. Aku … Carolyne." Carolyne mencoba bersikap ramah.
"Aku … Yuan. Kamu harus hati-hati padanya, dia terkenal m***m di kantor ini makanya tak ada yang mau menjadi sekretarisnya, sekretaris lamanya saja mundur." kata Yuan sesekali melirik ke arah dimana Allerd duduk dan bergidik ngeri.
"Iya. Makasih, Yuan sudah mengingatkanku." Senyum Carolyne.
Carolyne menghela napas dan menelan ludahnya
"What? m***m? Jangan sampai itu terjadi padaku," batin Carolyne.
"Rapatnya kenapa belum di mulai?" tanya Carolyne kepada Yuan yang tadi mengajaknya mengobrol.
"CEO belum datang."
"CEO?"
"Iya, yang kursinya di tengah itu."
"Beliau kemana?"
"Beliau sedang dalam perjalanan kemari."
Carolyne mengangguk-nganggukkan kepalanya tanda mengerti, di detik kemudian pintu kembar yang begitu besar dibuka oleh pria kekar berbaju serba hitam dan Betrand masuk setelah pintu terbuka lebar.
Semua orang berdiri menyambut kedatangan Betrand dengan menundukkan kepala. Begitu pun para sekretaris, tapi Carolyne tak berdiri dan hanya membulatkan matanya penuh terkejut melihat siapa CEO perusahaan yang terkenal ini.
"Hei, Carolyne, kamu harus berdiri," kata Yuan.
Carolyne langsung berdiri seperti para sekretaris lainnya. Betrand di tatapnya begitu dalam karena terlihat sangat tampan dengan setelan mewah, beserta jas mahal yang begitu cocok melekat di tubuhnya tanpa menggunakan dasi.
"Apa aku mimpi? Tak mungkin ‘kan Betrand adalah … sumpah tidak percaya ini," batin Carolyne.
Semua orang lalu kembali duduk begitupun dengan para direksi.
Betrand membulatkan mata penuh ketika tak sengaja melihat sosok Carolyne, Betrand baru menyadari ada Carolyne di dalam ruangan ini dan sesekali melirik ke arah Carolyne yang sedang duduk dengan santun di pinggir pintu dengan wajah yang teduh, mampu membuat Betrand tersenyum dan berenergi.
"Carolyne? Sekretaris siapa dia? Kenapa dia bisa ada di sini?" batin Betrand.
Betrand kembali menyadarkan lamunannya sampai salah satu wanita berdiri di depan semua orang dan mulai menyalakan layar lalu menjelaskan semuanya kepada Betrand.
"Siapa yang mengajukan proyek ini?" tanya Betrand dengan gagahnya.
Allerd lalu mengangkat tangannya. “Saya, Tuan.”
"Apa ini akan berhasil Tn. Jhonson? Pertambangan bukan proyek biasa."
"Saya yakin, Mr. Max."
"Jika kamu yakin, kamu bisa melanjutkannya, tapi hanya satu saran dari saya, jangan sampai proyek pertambangan itu memakan anggaran yang sangat besar. Seperti kata pepatah, lebih besar pasak dari pada tiang, saya tak ingin itu sampai terjadi, harus ada keuntungan di dalamnya."
"Baiklah. Terima kasih atas kepercayaannya, Tuan, saya akan selalu memperhatikan anggarannya," jawab Allerd dengan senyum sinisnya.
"Jadi, Allerd bekerja di perusahaan Betrand? Sedangkan tadi dia mengakui jika perusahaan ini miliknya, Allerd benar benar b******k," batin Carolyne
Carolyne menatap lekat ke arah Betrand, pria itu benar benar tampan dan mempesona, mampu membuat semua sekretaris wanita kagum padanya, apalagi Betrand memakai kacamata baca membuatnya terlihat makin tampan saja.
****
Beberapa menit kemudian, rapat sudah selesai dan Carolyne mengikuti langkah kaki Allerd. Tiba-tiba Allerd mengalungkan tangan kirinya ke pinggang ramping Carolyne.
Betrand melihatnya dengan tatapan sinis.
"Dasar w***********g! Dia menjadi sekretaris pacarnya sendiri ternyata," gumam Betrand melihat apa yang di lihatnya.
"Lepasin, Allerd," kata Carolyne berusaha melepas rangkulan Allerd.
"Pinggangmu masih terasa ramping ya dan … sexy," bisik Allerd membuat bulu kuduk Carolyne berdiri karena saking ngerinya.
"Jangan menggodaku."
"Come on, Sayang."
"Jangan memanggilku seperti itu, Allerd, aku ‘kan sudah bilang." Carolyne menghempaskan pantatnya di atas kursi depan meja kerjanya.
****
Setelah jam kerja selesai, Carolyne hendak pulang dan meninggalkan kantor, namun Allerd mencegahnya.
"Mau kemana kamu?" tanya Allerd.
"Bukankah jam kerja sudah selesai?"
"Apakah begitu sikap sekretaris kepada atasannya? Atasannya belum pulang, namun sekretarisnya malah akan pulang duluan."
"Aku harus pulang. Ada yang harus ku kerjakan."
"Tunggu aku, semua akan selesai sebentar lagi," kata Allerd.
Carolyne terpaksa kembali duduk di kursi kerjanya, ia tak bisa melawan perkataan Allerd karena Allerd memang atasannya itu tak bisa ia pungkiri.
"Sudah selesai. Oke … kita makan malam dulu." Allerd menutup laptopnya.
"Aku akan makan malam di rumah saja," kata Carolyne.
"Ayolah, Nona Galders, kita sudah bekerja keras hari ini, kita harus makan malam bersama. Aku janji akan langsung mengantarmu pulang jika semua sudah selesai."
"Okay," jawab Carolyne, karena ia tau jika ia menolak itu hanya akan membuat Allerd semakin memaksanya.
****
Di dalam ruangan, Betrand masih di temani Marvel asistennya. Betrand mengerjakan beberapa pekerjaan yang kemarin sempat di tinggalkannya karena ia harus ke London menjenguk ayahnya.
"Buatkan aku minum, Marvel." Perintah Betrand.
"Baik, Tuan." Marvel melangkah keluar ruangan dengan menunduk kepada bosnya.
Ketika Marvel sudah keluar ruangan, tatapan Betrand menjadi sangat kosong.
Kata-kata ayahnya begitu terngiang di telinganya, ia selalu mengingat apa yang di katakan ayahnya yang menjadi permintaan pertama serta permintaan terakhir.
"Bagaimana aku akan menikahinya, jika dia sangat mirip jalang, menjadi sekretaris kekasihnya sendiri," gumam Betrand.
"Shitt! Lupakan saja, kenapa juga aku harus memikirkan wanita itu," kata Betrand menyadarkan lamunannya.
Marvel kembali ke ruangan Betrand dan menaruh secangkir kopi hangat di atas meja kerja atasannya.
"Sewa wanita untuk ke hotel malam ini," kata Betrand kepada Marvel.
"Baik, Tuan." Marvel lalu mengambil ponselnya yang ada di saku celananya, dan mulai berbicara kepada orang di seberang sana.
Setelah selesai menelpon Marvel kembali berdiri mematung di depan bosnya.
"Dan … satu lagi Marvel, awasi setiap gerakan Tn. Jhonson mengenai proyek pertambangan yang ia ajukan, kecurigaanku sangat besar pada Allerd."
"Baik, Tuan, saya akan mengawasinya."
"Jangan sampai seseorang mengetahuinya, karena aku yakin sepertinya dia tidak berada di pihakku."
Sesaat kemudian suara ketukan pintu terdengar.
"Masuk!" Marvel mempersilahkannya.
Ternyata seseorang yang di balik pintu adalah Dovio.
"Hei, Kawan. Bagaimana bisa kamu berkunjung tanpa mengatakan dulu?" tanya Betrand.
"Aku tahu kau sibuk, karena itu aku memutuskan untuk kemari tanpa memberikanmu kabar."
"Ayo duduk.” Betrand memberikan kode kepada Marvel untuk keluar meninggalkan mereka, Betrand lalu beranjak dari duduknya dan menghampiri sofa dimana Dovio sedang duduk saat ini
"Apa kau masih sibuk?"
"Apa kau membutuhkanku?"
"Seperti biasa aku membutuhkan teman minum."
"Baiklah, kita ke bar saja," kata Betrand.
"Tapi, tadi ku dengar seorang wanita menunggumu di hotel."
"Dia bisa menunggu, itulah gunanya menyewa wanita bayaran," kekeh Betrand.
"Sampai kapan kamu seperti ini, Kawan?"
"Forever." Betrand tersenyum miring.
"Your crazy, Kawan."
"Yes, i know, i'm crazy.”