Bab 5

1078 Words
Sejak kejadian malam itu, Fiona sudah tak pernah melihat Ardian lagi. Biasanya tanpa sengaja ia melihat bahkan berpapasan dengan pria tersebut. Tapi akhir-akhir ini ia sudah jarang melihatnya. Fiona malah lebih sering bertemu dengan Susi yang pulang dengan keadaan mabuk atau pulang dengan tangan yang penuh dengan merk-merk terkenal yang di belinya. Jujur Fiona jadi bertanya-tanya, tapi bukan kapasitas dirinya untuk penasaran dengan tetangganya itu. Fiona pun menelpon Bella dan menceritakan apa yang menimpanya akhir-akhir ini kepada sang sahabat, Bella. “APA!!” respon kaget Bella yang pertama kali terdengar saat Fiona memberitahu dirinya kalau Ardian menciumnya semalam. Fiona ikutan kaget. Ia sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. “Duh tidak usah berteriak kenceng. Telinga aku sakit. Gendang telinga ku rusak lama-lama mendengar teriakan mu," ucap Fiona sambil mengusap-usap telinga kanannya. “Sorry… Sorry… Reflek itu mah saking kagetnya. Kamu becanda, kan?” tanya Bela. “Becanda apanya. Aku serius, Bel. Malam itu kami berciuman. Terus tiba-tiba dia menghilang begitu saja. Kan aku jadi bingung ya.” “Lah kenapa bingung? Ya bagus donk kalo dia menjauh. Pokoknya ingat, jangan sampai kamu jadi hama di antara mereka. Kamu paham.” Fiona menganggukkan kepalanya. Terdengar helaan nafas berat dari Fiona. “Tunggu… Jangan bilang kamu menikmati ciuman itu.” Fiona tergagap. Bella berkata dengan tegas untuk menghindari Ardian bagaimana pun caranya. Ia tak ingin Fiona di sudutkan oleh masyarakat. Bagaimana pun juga posisinya, Fiona akan tetap di cap sebagai perebut suami orang. “Pokoknya aku tidak mau mendengar apa pun lagi tentang Ardian. Jangan sampai kamu memiliki rasa untuk pria itu. Aku sayang kamu dan Reyhan. Aku ngga mau kamu terluka lagi, Fi.” “Iya aku tahu, Bella. Terima kasih karena kamu selalu mengingatkan aku tentang hal ini. Kalau tidak ada kamu, siapa lagi yang bisa menyadarkan aku.” “Itulah gunanya sahabat. Aku akan ada di saat kamu senang mau pun sedih. Ya udah kamu jangan galau lagi, oke. Ingat ada Reyhan yang membutuhkan kamu.” “Siap bos.” Keduanya tertawa. Fiona memutuskan sambungan teleponnya. Ia melirik jam di dinding, hampir saja ia telat menjemput Reyhan. Ia pun segera mengganti pakaian lalu bergegas keluar dari rumah untuk menjemput putra tercintanya. *** Karena jarak sekolahan Reyhan dan rumah tidak terlalu jauh, Fiona memutuskan untuk naik angkutan umum saja. Lagi pula hari itu cuaca cukup panas menyengat. Menjemput Reyhan menggunakan sepeda motor bukanlah hal yang tepat. Dengan menggunakan angkutan umum, ia bisa bercengkrama sepanjang jalan. Quality time bersama Reyhan jauh lebih berarti. Fiona pun turun di depan gerbang sekolah Reyhan. Benar saja beberapa murid sudah berhamburan keluar gerbang karena sudah di jemput oleh orang tua mereka. “Hampir saja telat," ucap Fiona saat melihat putranya celingak-celinguk mencari keberadaannya. Ia pun segera melambaikan tangannya sambil memanggil nama putranya. Reyhan tersenyum lebar. Ia berlari ke arah Fiona. “Mamiii…” seru Reyhan sambil memeluk erat tubuh ibunya. “Hai sayangnya Mami. Bagaimana sekolahnya? Menyenangkan?" “Sangat menyenangkan, Mi. Rey dapat banyak teman.” ucapnya antusias. Fiona tersenyum lega. Ia takut kalau putranya sulit beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya yang baru. “Syukurlah sayang. Mami takut kalo Rey ngga happy di sekolah.” “Rey happy kok, Mi.” “Iya sayang. Mami bisa lihat kamu senang banget. Mari kita pulang. Anaknya mami pasti udah kelaparan nih.” “Let’s Go!” seru Reyhan sambil menarik tangan Fiona keluar dari gerbang sekolahan. Tak perlu menunggu lama, Ibu dan anak itu pun tiba di rumah. Sesampainya di rumah, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari dalam rumah. Fiona yang penasaran pun akhirnya melongokkan kepalanya ke rumah tetangganya yang hanya di batasi tembok yang tidak terlalu tinggi. Reyhan pun ikut-ikutan penasaran. “Mami, ada ribut-ribut apa ya di rumahnya om dokter?” tanya Reyhan. “Mami juga tidak tahu, nak. Rey masuk ke rumah terus ganti baju, habis itu makan siang. Mami sudah membuatkan makanan kesukaan Rey," “Oke deh Mami.” Reyhan pun berlari masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu. Fiona segera melangkahkan kakinya ke rumah Ardian. Di sana ia melihat pembantu baru tetangganya itu tampak kebingungan. Ia bahkan menangis tak tahu harus berbuat apa. “Permisi Bi, maaf mengganggu. Ada apa ya kalau boleh saya tahu? Saya melihat bibi kebingungan. Siapa tahu saya bisa bantu bibi," ucap Fiona saat menyapa si bibi penjaga rumah. “I… itu Bu, pak dokter…” Deg. Fiona merasa ada yang tidak beres dengan Ardian. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. “Dokter Ardian kenapa Bi?” tanya Fiona dengan hati tak menentu. “Itu Bu, pak dokter pingsan. Barusan saya dapat telpon dari rumah sakit kalau pak dokter butuh segera tindakan operasi. Bibi di minta menghubungi Bu Susi untuk segera datang dan tanda tangan berkas persetujuan. Tapi dari tadi bibi coba telpon bu Susinya tidak mau menerima telepon. Saya bingung, Bu." “Ya Tuhan. Jadi Susi tidak bisa di hubungi? Biar saya yang kesana saja Bi. Saya minta nomor telepon Susi. Nanti di perjalanan menuju rumah sakit, saya akan coba telpon Susi.” “Aduh terima kasih banyak, Bu. Beneran bibi tidak tahu harus bagaimana.” “Saya titip anak saya ya Bi. Saya mau menuju rumah sakit dulu," ucap Fiona bergegas keluar dari rumah Ardian. Ia segera masuk ke dalam rumah untuk memberi tahu putranya kalau Ardian harus segera di operasi dan tidak ada yang bisa di hubungi. Reyhan meminta agar bundanya segera menuju rumah sakit dan jangan terlalu mengkhawatirkan dirinya yang di tinggal sendiri dirumah. Fiona berpesan untuk hati-hati dan akan bibi yang menemaninya selama ia berada di rumah sakit. *** Nomor yang anda tunggu tidak menjawab. Lagi-lagi suara operator yang menjawab telponnya. Fiona resah dan gelisah. Di satu sisi ia tidak enak jika yang harus menjadi orang yang menandatangani surat persetujuan operasi untuk Ardian padahal ia tidak memiliki hubungan apapun. Tapi jika tidak, ia mengkhawatirkan kondisi Ardian yang tengah sakit karena usus buntunya. Keadaan serba salah itulah yang membuat Fiona nekat datang ke rumah sakit lalu menandatangani surat persetujuan operasi untuk Ardian. Kini ia tengah duduk di lorong panjang di depan pintu ruang operasi. Lagi-lagi ia mencoba menghubungi Susi. Setelah panggilan yang kesekian, akhirnya Susi pun mengangkat telponnya. Dari yang ia dengar, Susi tampak tidak suka jika ada yang menghubunginya. Susi bahkan abai dengan kondisi suaminya yang tengah menjalani operasi saat ini. Dengan entengnya dia mengatakan, “Alaah… Dia cuma cari perhatian. Dikit-dikit sakit. Dia kan dokter kenapa ngga punya inisiatif ngobatin dirinya sendiri. Mba Fiona terlalu lebay menanggapinya," ucap Susi sambil mematikan sambungan teleponnya. “Ya ampun mas, kasihan sekali kamu. Sedang di operasi tapi istri mu tidak peduli," ucap Fiona menyayangkan tindakan Susi. Karena tak ada yang menunggu, akhirnya Fiona memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit hingga Ardian sadar. *** • TO BE CONTINUE •
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD