“Ayah mau beli motor baru!” ucap seorang laki-laki yang sudah terlihat beruban. Meski wajahnya begitu sumringah namun kerutan diwajah beliau tetap tidak bisa disembunyikan. Beliau terlihat sangat senang mengajak anak perempuannya mengobrol.
“Beli saja, Ayah. Kita tinggal minta sama Kak Ara. Beres,” ucap Berry.
Tangan Ara dan kedua anak kembarnya mengepal di tangan sebelah kanan dan kiri. Ara merasa hatinya sangat sakit mendengarkan percakapan antara ayah dan adiknya tersebut.
Ara dan kedua anak kembarnya berdiri di depan pagar sebuah rumah yang cukup bagus. Rumah yang dua kali lipat lebih bagus dari rumah Ara yang dulu. Rumah di depan Ara adalah rumah tingkat dua dengan halaman yang cukup luas.
Mata Ara berkaca-kaca.
“Hahaha, kamu juga, bilang saja pada Ayah, kau ingin apa, nanti biar Ayah bilang pada kakakmu kalau ayah harus ke dokter, hahahaha!” ucap Sang Ayah.
Ara menatap langit, menyembunyikan air matanya. Selain merasakan sakit hati yang luar biasa, dia juga merasa malu kepada kedua anak kembarnya. Selama hidupnya, dia tidak pernah menceritakan mengenai kelakuan jahat kedua orang tuanya dan Berry kepada Si Kembar. Namun sekarang mereka harus mendengar langsung.
“Friar harus memberikan pelajaran pada mereka, Ma.” Friar melangkahkan kakinya.
Ara menahan tangan anaknya yang sudah melangkah maju, “Jangan, Nak. Ini adalah urusan Mama. Biar Mama yang hadapi mereka.”
Ara berjalan menuju ke arah gerbang, semakin dekat dengan gerbang besi yang masih bisa menampakkan isi di dalamnya, “Kalian benar-benar tidak pernah berubah.”
Ayah Ara dan Berry terkejut mendengar suara Ara. Mereka pun langsung menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Ara berada di sana. Mata mereka tidak bisa bohong, mereka terkejut melihat kedatangan Ara, karena Ara tidak pernah mengatakan kalau Ara akan pulang.
“Ara?” tanya Ayah Ara yang melirik Berry sebentar dan langsung membukakan pintu gerbang. “Masuk, Nak. Masuk. Kenapa kamu pulang tidak bilang pada ayah?” tanya Ayah Ara sambil memberikan senyuman palsunya kepada Ara.
Ara menatap ayahnya, tanpa menjawab.
“Oh, ini, Nak. Ini Berry. Ayah tahu dia sudah melakukan kesalahan kepadamu, tapi sekarang dia sudah bertaubat, Nak. Dia datang dan berjanji pada ayah kalau dia- …”
“Cukup, Ayah!”
Ara sudah tidak tahan mendengar kebohongan yang terlontar begitu lancar dari mulut ayahnya. Sejak dulu sampai sekarang, mulut ayah Ara selalu sama, semua yang keluar dari mulut beliau hanyalah kebohongan. Dan bodohnya, Ara selalu mempercayainya.
“Jadi, selama ini kalian hanya memanfaatkan aku? Ayah … Ara benar-benar tidak menyangka, Ara mengira kalau ayah sudah berubah, tapi ternyata ayah sama sekali tidak berubah,” kata Ara.
“Masuk dululah, Nak. Biar kita bicarakan semuanya di dalam,” kata Ayah Ara.
Ara menggelengkan kepalanya, “Bagiku semuanya sudah jelas, Ayah. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalian hanya memanfaatkan aku, itu faktanya. Apa kalian tidak berpikir bagaimana kehidupanku? Dan, astaga, Ayah … aku banting tulang agar bisa membiayai pengobatan ayah tapi ternyata ayah membohongiku?”
Beberapa tetangga mulai melihat apa yang terjadi, Friar dan Momo masih diam di tempatnya, meski mereka sangat ingin mencaci maki kakek dan bibinya, tapi mereka masih bisa menahannya, mereka menghargai ibu mereka.
“Ayah tidak berbohong, ayah memang sakit, dan di sini hanya ada Berry anak ayah, kamu jauh di sana, kamu tidak bisa mengurus ayah, jadi kamulah yang menangung uang pengobatan ayah. Kamu jangan seperti ini, Ara. Kamu ini anak ayah juga, kenapa perhitungan sekali?” tanya Ayah Ara.
“Aku bukan perhitungan, Ayah. Aku hanya merasa dibohongi. Dan aku dengar tadi Ayah mengatakan kepada Berry kalau ayah tidak sakit,” kata Ara.
“Siapa yang bilang ayah tidak sakit? Tadi yang aku dan ayah katakan itu hanya bercanda,” kata Berry yang mencoba membantu ayahnya berkelit.
Ayah Ara menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang dikatakan oleh Berry, “Apa yang dikatakan oleh Berry benar, Nak. Ayah hanya bercanda. Kamu salah paham karena kamu hanya dengar sepotong saja. Mana ada ayah yang tega membohongi anak?” tanya Ayah yang langsung berwajah memelas.
“Ya ampun, Pak. Dia siapa?” tanya seorang tetangga.
“Ini anak saya, Bu. Oh, itu ada cucu saja juga. Mereka baru datang dari luar negeri,” kata Ayah Ara. “Ayo, Nak. Masuk. Ibunya sudah di dalam. Ayah berani bersumpah kalau ayah tidak berbohong dan kamu hanya salah paham saja. Dan adikmu Berry sudah sudah benar-benar berubah dan menyesali apa yang dia lakukan dulu. Berry. Minta maaflah kepada kakakmu!” titah Ayah Ara.
Berry menatap Ara, “Kak Ara, aku benar-benar minta maaf, aku dulu kabur karena malu sama kaka. Sekarang kakak ada di sini, aku benar-benar minta maaf, Kak. Aku janji kalau aku tidak akan mengulangi kesalahanku yang dulu,” kata Berry sambil menangis.
Ara yang melihat raut wajah ayahnya dan juga adiknya yang menangis pun akhirnya luluh juga. Semua tetangga juga masih menantikan jawaban Ara dan meminta Ara untuk memaafkan ayah dan adiknya.
“Baiklah,” kata Ara, “Kakak memaafkanmu.” Sambungnya.
Berry langsung memeluk Ara, “Sekali lagi aku minta maaf, aku juga tidak akan bercanda seperti tadi lagi dengan bapak dan membuat kakak menjadi salah paham,” kata Berry.
Ara pun menganggukkan kepalanya.
Kemudian, ayah Ara pun juga memeluk Ara. “Ayah juga minta maaf ya, Nak. Karena sudah merepotkan kamu selama ini. Ayah memilih pindah ke sini agar cucu ayah punya kamar, karena rumah kita terlalu sempit dan ayah takut tidak nyaman ditempati oleh kalian kalau kalian sudah pulang,” kata Ayah Ara.
Friar mengikuti ekor mata Ayahnya Ara dan menggelengkan kepalanya, kemudian dia pun menoleh kea rah Momo, lalu berbisik, “Coba pegang tangan kakek dan bibi, sepertinya mereka berbohong.”
Momo pun menganggukkan kepalanya.
Momo memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang lain, di mana Momo bisa mendeteksi kebohongan seseorang dengan menyentuh tangan orang tersebut. Friar sangat mempercayai kemampuan Momo, meskipun ibu mereka sama sekali tidak mempercayainya dan selalu mengatakan kelau hal itu hanya sebuah kebetulan saja.
“Friar, Momo, ke marilah, Nak!” seru Ara.
Momo dan Friar saling sikut kemudian mendekat. Meskipun mereka sudah dewasa namun mereka memang tampak seperti anak kecil yang penurut.
“Cucuku!” seru Ayah Ara yang langsung memeluk Friar. Friar hanya tersenyum dan membalas pelukan kakeknya meski pun dengan sesuatu yang mengganjal di hatinya, ntahlah dia seperti tidak yakin dengan sambutan dari kakeknya tersebut.
“How- … apa kabar, Kakek?” tanya Friar.
“Baik, Nak. Baik. Wah, kamu benar-benar sudah tumbuh menjadi dewasa, tampan … bahkan wajahmu mirip aktor sinetron yang selalu ditonton nenekmu,” kata Ayah Ara sambil terkekeh.
Friar hanya bisa tersenyum tipis.
Pandangan Ayah Ara beralih ke arah Momo. Kemudian, Momo langsung mencium tangan Kakek, kemudian dia melirik Friar tipis-tipis, Friar menaikkan alisnya. Momo mengerucutkan bibirnya sebentar dan mengangguk. Friar menghela napas.
“Cucuku, kau cantik sekali!” ucap Ayahnya Ara.
Momo pun tersenyum palsu ke arah kakeknya. “Terima kasih, Kakek.”
“Mari masuk, Nak. Nenek kalian pasti senang melihat kedatangan kalian. Nenekmu ada di dalam.”
Di dalam rumah, Ibu Ara pun menyambut kedatangan Ara dan kedua cucunya dengan baik. Ibu Ara sampai menangis, merindukan anak dan cucunya. Air mata tidak berhenti mengalir dari sudut mata beliau.
“Ibu sangat senang bisa bertemu dengan kamu lagi, Nak,” ucap Ibunya Ara.
Ara memeluk ibunya lagi, “Iya, Bu. Ara juga sangat senang bisa pulang dan bertemu ibu dan ayah,” ucap Ara. “Ara datang membawa cucu ibu,” ucap Ara.
Ibunya Ara pun berpaling kea rah Friar dan Momo. Lalu beliau memeluk Friar dan Momo bergantian, “Cucu Nenek. Selama ini kita hanya berjumpa via telepon saja. Syukurlah kita bisa bertemu akhirnya.”
“Iya, Gr-Nenek. Kami juga sangat senang,” ucap Momo dan juga Friar.
Friar melirik Momo sambil menaikkan alisnya sebentar, Momo menggoyangkan tangannya tidak ketara, mencoba memberitahukan kalau dia tidak mendeteksi kebohongan pada neneknya. Friar pun mengangguk dan bersyukur, setidaknya masih ada yang tulus kepada mereka bertiga.
***
Ponsel Friar tiba-tiba berdenting.
Friar mengambil ponselnya dan membuka pesan yang masuk. Seketika raut lelahnya menjadi serius, dia memandangi ponselnya.
Waktumu tinggal satu minggu untuk memberikan laporan hasil kerjamu. Kalau tidak ada hasil bersiap-siaplah, sampai ke ujung duniapun kau tidak akan lolos.
Tangan Friar memegangi ponselnya dengan erat, seakan ponsel itu ingin dia hancurkan dalam satu genggaman.
Pesan itu dikirim menggunnakan nomor tak dikenal. Friar sangat tahu kalau nomor itu milik salah satu manajer artis yang belakangan membuat dia pusing. Manajer itu bernama Hudson, manajer Damson.
Dua minggu sebelum Friar dan keluarganya kembali ke Indonesia, Friar memang mendapatkan sebuah pekerjaan paruh waktu seperti biasanya, kali ini pekerjaannya simpel tapi menarik. Dia hanya diminta untuk mengembalikan wajah perempuan yang ada di dalam video syur. Di dalam video itu, terlihat jelas kalau laki-laki yang menggauli perempuan itu adalah Damson, artis papan atas yang dia lihat di bandara.
“Brengsek.” Pekik Friar sebentar.
Sebenarnya pekerjaan Friar sudah selesai, dalam waktu satu minggu saja dia sudah bisa mengembalikan wajah asli perempuan itu. Namun, dia tidak bisa langsung memberikan hasil pengembalian video itu kepada kliennya, karena satu hal. Perempuan di dalam video itu sangat mirip dengan orang yang dia sayangi, ibunya.
Tiba-tiba Momo masuk ke dalam kamar.
Friar, Momo, dan Ara memang hanya diberikan satu kamar. Mungkin karena di rumah itu hanya ada tiga kamar saja dan Berry tidak mau berbagi kamar dengan siapapun termasuk kakaknya sendiri.
“Ish! Aku benar-benar kesal, Friar!” seru Momo yang sedang menggerutu.
Friar buru-buru mengunci layar ponselnya dan mendongak mendapati saudara kembarnya yang sedang marah-marah. Dia meletakkan ponselnya di atas meja.
“Kenapa sih?” tanya Friar.
“Ya, ini nggak adil aja, Friar. Kamu lihat deh! Kenapa kita harus tidur bertiga di sini sih?! Lihat ukuran tempat tidur ini hanya cukup untuk dua orang!” Ucap Momo.
Friar menghela napas, dia mengamati tempat tidur mereka, apa yang dikatakan oleh adik kembarnya memang benar, “Sudahlah, muat kok kalau dipaksakan.”
“Pokoknya aku tidak mau tau, kamu harus tidur di bawah,” kata Momo.
“Enak saja! Kamu saja yang di bawah. Aku tidur di sini sama Mommy.” Ucap Friar.
“Ma! Friar memanggilmu Mom-…”
Friar buru-buru membungkam mulut adiknya.
Friar dan Momo sama-sama tahu, meski mereka besar di luar negeri, namun ibunya sama sekali tidak mau dipanggil dengan panggilan yang kebarat-baratan. Ibunya memberikan pilihan panggilan, ‘Mama’, ‘Ibu’, dan ‘Bunda’. Namun karena menurut Friar dan Momo sangat lucu untuk lidah mereka memanggil Ibu atau Bunda akhirnya mereka lebih memilih memanggil ibunya dengan sebutan ‘Mama’.
“Heh, dasar cengeng si tukang mengadu!” ucap Friar.
Momo menggigit tangan kakaknya, hingga kakak kembarnya meringis kesakitan dan melepaskan tangannya dari bibir Momo.
“Aduh!” ringis Friar.
“Memang enak! Pokoknya aku tidak mau tahu malam ini aku yang tidur di atas tempat tidur bersama Mama. Kamu tidur di sofa depan atau di bawah sini,” kata Momo sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai.
Friar menggelengkan kepalanya, “Tidak! Kamu saja! Aku yang akan tidur sama Mama.”
“Ck, kamu kan anak laki-laki Friar! Kamu juga kakak, harus mengalah!” ucap Momo.
“Ck, aku hanya lahir satu menit lebih dulu dari kamu, Momo. Dan apa katamu tadi? Anak laki-laki? Memang kenapa kalau anak laki-laki? Apa anak laki-laki tidak sakit kalau tidur di bawah?” tanya Friar.
Ara yang mendengar keributan pun langsung datang dan menghampiri kedua anaknya, “Ya ampun, Nak. Ada apa lagi ini? Kenapa ribut-ribut?” tanya Ara.
“Ini, Ma, Friar tidak mau mengalah, dia kan anak laki-laki seharusnya dia mau tidur di bawah karena tempat tidur kita tidak cukup untuk tiga orang, tapi dia tidak mau.” Adu Momo.
“Loh, Ma, tempat tidurnya cukup kok bertiga, lagi pula aku ingin tidur bersama Mama,” ucap Friar.
Ara pun menghela napas, “Kita semua tidur di atas tempat tidur.”
“Tapi, Ma …” Momo mencoba protes.
“Nak, apa kamu tega kalau kakakmu sakit kalau tidur di bawah?” tanya Ara.
Momo pun mulai berkaca-kaca karena merasa tidak ada yang mau mendukung dirinya. “Harusnya biarkan saja dia sakit, Ma!”
“Momo! Jangan meninggikan nadamu di depan Mama!” bentak Friar.
Momo pun menangis dan berlari keluar dari kamar.
Ara menghela napas, “Nak, jangan bentak-bentak adikmu seperti itu, Mama tidak suka.”
“Tapi dia kurang ajar pada Mama,” kata Friar.
Ara menggelengkan kepalanya, “Biar mama yang menemui adikmu. Kamu tunggu di sini. Pikirkanlah sesuatu agar adikmu jadi senang lagi.”
Friar menghela napas kemudian menganggukkan kepalanya.
Ara menepuk bahu anak laki-lakinya lalu keluar menyusul anak perempuannya yang menangis. Di dalam kamar Friar langsung membuka lemari pakaian mencoba mencari sesuatu dan dia melihat ada selimut tebal di sana, kemudian dia pun menghela napas, dia harus menurut pada ibunya. Lalu, dia pun mengeluarkan selimut tebal itu dan menggelarnya dia atas lantai, selimut tebal itu nantinya akan menjadi tempat tidurnya selama berada di rumah bibinya.