BAB 1 – Prolog (Awal Kehancuran)
“Ara!” panggil seorang laki-laki berseragam toko.
Gadis berambut lurus sebahu itu langsung menoleh ke sumber suara, di sana ada seorang rekan kerjanya yang berlari dengan tas di tangan, “Tas kamu ketinggalan.”
“Ya ampun, hampir aja lupa. Makasih ya, Ram.” Gadis itu bernama Ara.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya, “Sama-sama.” Laki-laki itu pun pamit ke dalam toko. Ara hanya menganggukkan kepalanya dan melambaikan tangan.
Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponsel milik Ara.
“Halo, Ayah?” sapa Ara.
“Ara, Berry, adikmu diculik! Tolong dia, Nak! Penculiknya meminta ayah untuk menemuinya di hotel.” Di seberang sana Ayah Ara berteriak panik.
“Ya ampun! Kok bisa?” tanya Ara.
“Kejadiannya terlalu cepat. Tolong cepat datang ke sana, ayah akan menyusul. Kita bertemu di hotel itu,” ucap Sang Ayah.
Ara pun panik setengah mati mendengar informasi kalau sang adik diculik. Meskipun Berry selalu membuat hidup Ara menyebalkan dan bukan seorang adik yang penurut, namun Ara selalu menyayangi adiknya itu. Dia pun langsung menyetop sebuah taksi dan langsung meminta sang supir mengantarnya ke alamat yang diberikan oleh ayahnya. Hotel Permata.
“Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada Berry.”
Ara mencoba menghubungi nomor telepon adiknya, namun nomor itu tidak aktif. Dia menjadi semakin cemas, tidak biasanya sang adik menonaktifkan ponselnya.
***
Di tempat lain, seorang gadis tengah berada di sebuah kamar hotel yang megah. Gadis itu adalah Berry, adik Ara. Dia kini berada di hadapan seorang ibu-ibu berbadan gempal dengan make up tebal yang memiliki lima orang pengawal.
“Mana perempuan yang kamu janjikan, Berry? Jangan macam-macam dengan saya!” Seorang wanita paruh baya itu mencekik Berry. Kemarahan tercetak jelas di wajahnya.
“Be-beri saya ke-sem-patan lagi, Mami, s-sa-aya harus menelepon seseorang, dia pasti akan datang.” Berry terus memohon, tangannya memegangi tangan wanita itu dengan gemetar karena dia mulai kesulitan bernapas.
Wanita itu langsung melepaskan tangannya dari Berry. Berry buru-buru mengambil napas banyak-banyak, lalu tanpa membuang waktu dia langsung menyalakan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Bapak! Bagaimana? Di mana Kak Ara? Kenapa belum datang juga?” tanya gadis itu yang setelah panggilan dijawab.
“Dia sudah berangkat sejak tadi, Nak. Tunggu saj-…”
Berry buru-buru mematikan panggilan, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya, matanya tertuju pada satu nama yang sedang dia tunggu, ‘Kak Ara’. Mata gadis itu menatap ponsel, lalu beralih ke wanita paruh baya itu. Wanita itu meminta Berry untuk memperbesar suara agar percakapan dengan orang di seberang sana terdengar.
Dengan penuh rasa takut, gadis itu mengangkat ponsel itu dan memperbesar suara.
“Halo, Dek, kamu di mana?! Bapak minta kakak buat cari kamu-…” kata seseorang di seberang sana.
“Tolong aku, Kak! Kakak di mana?”
“Kakak ada di depan pintu Kamar 101 Hotel Permata. Ka-”
Gadis itu menatap wanita paruh baya itu, matanya seakan menunjukkan, ‘aku tidak bohong kan?’ lalu dia kembali menatap ponselnya. Wanita paruh baya itu langsung membisikkan sesuatu kepada anak buahnya.
“Tolong aku kak! Aku ada di dalam, tolong buka pintunya! Tolong- …”
“Ck, dasar gadis licik.”
***
“Berry! Halo! Berry!!!” pekik Ara.
Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Lalu, tanpa berpikir panjang, dia langsung membuka pintu kamar hotel di hadapannya. Apapun yang terjadi, dia sudah siap untuk membebaskan adiknya.
Pintu terbuka.
Ara pun langsung melihat keadaan kamar hotel yang gelap, lalu seketika ada seseorang yang menariknya.
“Aaaaa!” teriak Ara.
Seseorang membekap mulutnya hingga suara Ara hilang ditelan kegelapan. Tubuhnya yang sedari tadi meronta kini sudah mulai terkulai lemas. Sosok laki-laki berpakaian serba hitam segera membawa Ara ke atas tempat tidur dan membaringkan Ara di sana.
Kemudian, sosok itu keluar dari ruangan dan berjaga di depan pintu kamar hotel seperti tengah menanti seseorang.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki datang sempoyongan sambil dipapah oleh seseorang, tubuhnya lemah, kepalanya pusing, tubuhnya mulai terasa panas. Seseorang sepertinya sengaja memasukkan sesuatu ke dalam minumannya ketika dia tengah bersama dengan rekan-rekannya.
“Silakan masuk, Tuan.” Penjaga kamar itu mempersilakan laki-laki itu masuk ke dalam.
Laki-laki berjas warna navy itu dipapah masuk ke dalam dan langsung dibaringkan di samping Ara. Kemudian, temannya langsung keluar dan meninggalkan laki-laki itu dan Ara di dalam kamar.
“Sial! Tubuhku sangat gerah, kepalaku sakit, b******k!” seru laki-laki itu kemudian melepaskan pakaiannya. Suhu udara yang dingin tidak berpengaruh banyak kepadanya. Tubuhnya terasa panas. Dia mendambakan sesuatu.
Di tengah temaram lampu, dia merasakan sesuatu di sampingnya, “Brengsek.” Gairahnya mulai memuncak ketika dia menyadari kalau seseorang di samping tubuhnya adalah seorang perempuan. Di antara temaram lampu, dia menemukan wajah gadis yang sangat cantik dengan mata terpejam.
“Jadi, kau menjebakku dengan perempuan?”” gumamnya.
Hening, tidak ada jawaban.
“Lakukanlah tugasmu dengan baik, Jalang!” ucap laki-laki itu.
Laki-laki itu langsung melucuti pakaiannya sendiri kemudian dia pun mulai melucuti pakaian gadis di sampingnya. Dia menatap wajah gadis itu kemudian mendekati wajahnya dan mulailah semuanya.
***
Ara membuka mata, hal pertama yang dia rasakan adalah ada sebuah tangan yang melingkari perutnya. Tangan seorang laki-laki.
“Astaga!”
Seketika tubuh Ara merinding hebat.
Apa yang terjadi?
Ara buru-buru menyingkirkan tangan itu dan dia langsung merasakan sakit di pusat tubuhnya. Dia meraba tubuhnya dan merasakan kalau dia tidak mengenakan sehelaipun pakaian.
“Apa yang terjadi?”
Air matanya buru-buru menetes menyadari kemungkinan yang terjadi.
Dia menarik selimut. Kemudian buru-buru memutar tubuh laki-laki itu agar terlentang dan dia bisa melihat wajahnya di antara temaram lampu.
“b******k!” seru Ara.
Ara membekap mulutnya, dia mengenali pria yang menidurinya. Dia sangat mengenali pria yang selalu berseliweran muncul di layar televisi setiap jam 8 malam. Pemain sinetron yang sedang naik daun. Ingin rasanya dia memukul laki-laki itu, namun apalah daya, dia terlalu takut untuk membangunkan laki-laki itu.
Ara berlari, meninggalkan kamar itu dengan rasa perih yang mengoyak pusat tubuh hingga hatinya. Tujuan Ara hanya satu, adiknya. Dia tidak lagi memikirkan apapun selain adiknya. Dia harus mencari keberadaan Sang Adik. Dia takut kalau adiknya dipelakukan hal yang sama.
“Hutangmu lunas,” ucap seseorang.
Ara menghentikan langkahnya. Dia melihat Sang Adik bersama dengan seorang wanita paruh baya berbadan gempal. Dari tempatnya berdiri, Ara bisa melihat Sang Adik tersenyum kepada wanita itu.
“Ini sisanya,” ucap beliau lagi.
Berry buru-buru mengambil amplop tebal dan mengecek isinya sekilas, senyumannya semakin mengembang, “Terima kasih, Mami.”
Air mata Ara menderas, kini dia bisa menebak apa yang terjadi kepadanya. Hatinya begitu sakit melihat apa yang dia lihat. Bagaimana bisa di dunia ini ada seseorang yang begitu jahat seperti adiknya?
Berry pun melangkahkan kakinya, hendak pergi menjauh, dia sama sekali tidak menyadari keberadaan Ara.
“Puas kamu?” tanya Ara. Dia mengusap air matanya.
Sambil menahan rasa sakitnya dia berjalan cepat menuju keberadaan Sang Adik.
PLAK!
Sebuah tamparan sampai di pipi Berry.
“Tega kamu ya sama kakak!” seru Ara sambil menangis.
Berry tersenyum licik, “Ck, yang tega itu kakak. Kalau aja kakak tidak pelit sama aku, aku tidak akan begini, tidak akan punya hutang!”
“Selama ini kakak kerja banting tulang demi bisa menyekolahkan kamu, Ber. Dari mana kakak pelit sama kamu? Setiap kamu meminta apapun, Kakak selalu kasih. Tapi kenapa balasan kamu seperti ini?!” tanya Ara sambil menangis.
“Ck, apa kamu bisa memberikan wajah cantik sialanmu itu untukku, Kak? Hahaha tidak bukan?! Kau selalu mengungguliku dalam semua hal gara-gara wajah sialanmu itu! Aku juga sudah lelah jadi orang miskin!” Berry menatap kakaknya dengan penuh kebencian.
“Jaga mulut kamu ya!” seru Ara yang hendak menampar pipi adiknya lagi, namun sang adik bisa dengan cepat menahan tangan kakaknya.
“Cukup, Kak! Kakak tidak berhak tampar-tampar aku!” seru Berry matanya menatap Ara dengan tatapan kebencian.
Berry pun langsung berlari meninggalkan Ara. Ara mencoba mengejarnya namun tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi. Ara terjatuh, kehilangan jejak Berry.
Kini, tidak ada yang bisa Ara lakukan selain menangis, mencoba bangkit dan berjalan perlahan menuju ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Ara pun menatap Sang Ayah dan Ibu yang ada di ruang tamu. “Apa kalian mengetahui rencana Berry?” tanya Ara. Air matanya mengalir, tak bisa berhenti.
“Mengetahui apa, Nak?” tanya Ayah dan Ibu.
“Jangan bohong! Ayah, ayah yang menyuruhku datang ke hotel. Ayah bilang ayah akan menyusul tapi mana? Sampai anakmu diperkosa oleh laki-laki tak dikenal ayah tidak datang!” teriak Ara.
“Nak, Berry bilang kamu bersamanya, jadi ayah tidak jadi datang,” kata Ayah.
“Apa yang terjadi, Nak?” tanya Ibu.
Tubuh Ara luruh ke lantai. Ibu Ara menghampiri Ara dengan tatapan khawatir, beliau memegangi pundak Ara, “Nak …” Ara tidak tahu apakah kedua orang tuanya tengah berbohong atau tidak. Namun, dia sangat berharap kalau kedua orang tuanya tidak ada hubungannya dengan semua yang terjadi.
“Berry benar-benar b******k, Bu. Dia menjebakku- … membiarkan aku dinodai … dia … dia bukan diculik, dia menjual tubuhku.” Ara tak kuasa menahan tangisannya.
Ibu Ara langsung memeluk anaknya dan mengusap-usap pundak Ara, sambil sesekali melirik sang suami. Ayah Ara hanya diam saja. Ara terus menangis, menumpahkan rasa sedihnya.
“Di mana, Berry?” tanya Ibu.
Ara menggelengkan kepalanya.
***
Sebulan kemudian.
Sudah sebulan lamanya Berry tidak pulang ke rumah. Ara tidak begitu menginginkan keberadaan adiknya, hatinya masih terasa sakit mengingat apa yang terjadi kepada dirinya. Kalau saja Berry tidak menjual tubuhnya, dia tidak akan mengalami kehancuran seperti ini.
“Mukamu pucat sekali,” ucap Rama. Rekan Ara.
“Iya, mungkin hanya kelelahan saja.” jawab Ara.
Tiba-tiba Ara merasakan mual di perutnya, dia buru-buru berlari ke kamar mandi. Tak lama kemudian, Ara keluar, dengan wajah yang semakin pucat, kepalanya terasa pening.
“Kamu sepertinya sakit, lebih baik kamu istirahat saja,” kata Rama khawatir.
“Tolong jaga toko sebentar ya,” kata Ara.
Rama menganggukkan kepalanya. Ara berjalan menuju ke ruangan istirahat, namun baru dua langkah tiba-tiba dia terjatuh.
“ARA!”
Pekik Rama yang langsung berlari menuju Ara, beberapa karyawan toko yang lain pun langsung melakukan hal yang sama.
“Bantu siapkan ruang istirahat!” titah Rama.
Seorang teman Rama pun berlari dengan cepat kemudian Rama mengangkat tubuh Ara.
“Biar saya yang menelepon Dokter Sophie,” ucap seorang rekan yang lain.
Kebetulan adik dari pemilik toko adalah seorang dokter dan tempat kliniknya tak jauh dari toko tersebut.
Tak lama kemudian, Dokter Sophie datang, kemudian masuk ke dalam ruangan. Ara mulai siuman, Dokter mulai menanyakan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh Ara.
“Saya selalu mual setiap pagi, Dokter, dan tidak bisa makan selalu mual,” kata Ara.
“Kapan kamu terakhir datang bulan?” tanya Dokter Sophie.
Rama dan Danisa yang ada di dalam ruangan tersebut saling melirik.
“Maaf, Dokter, Ara belum menikah,” ucap Rama.
Ara terdiam. Dia mulai mengingat-ingat mengenai kapan terakhir dia mendapatkan menstruasinya. Seketika dia membelalak, sudah dua minggu terlewat. Seketika keringat jagung mulai muncul di dahinya.
“Jadi, kapan Ara?” tanya Dokter Sophie.
“Astaga, Ra. Kita kan selalu datang bulan di tanggal yang sama. Dan aku sudah datang bulan sekitar dua mingguan yang lalu, tapi kamu belum kan?” tanya Danisa.
Dokter Sophie menatap Ara, begitu juga dengan Rama. Rama menjadi gelisah.
“Ini … coba pakailah, kebetulan saya bawa testpack. Kamu cobalah dulu. Danisa, tolong bantu temanmu,” kata Dokter Sophie.
“Saya tidak- …” Ara mencoba mengelak.
“Tidak apa-apa, hanya mencoba memastikan saja,” kata Dokter Sophie.
Danisa membantu Ara. Dia ingin dilihat sebagai karyawan baik hati di mata keluarga bosnya. Dia menginginkan jabatan naik jadi kepala toko sehingga dia selalu menjilat bos dan keluarganya.
“Mau aku temani?” tanya Danisa.
Ara menggelengkan kepalanya.
Ara masuk ke dalam kamar mandi dengan tangan gemetar hebat. Dia sangat takut setengah mati. Bagaimana kalau dia memang hamil? Apa yang harus dia lakukan kalau hal itu memang terjadi?
Tapi, mau tak mau, Ara harus tetap mencobanya.
Ara mulai melihat garis dua yang mulai timbul. Kepalanya terasa pusing. BUG!
“ARAAA! Ra, buka, Ra!” seru Danisa.
Rama yang mendengar suara Danisa pun menghampiri Danisa.
“Ada apa?” tanya Rama.
“Ara sepertinya jatuh di dalam. Tolong dia, Ram,” kata Danisa.
Rama pun langsung membuka paksa kamar mandi, kemudian, dia menemukan Ara yang sudah tergeletak di kamar mandi, beruntung lantai kamar mandi kering, jadi baju Ara tidak basah. Sementara Rama mengeluarkan Ara dari kamar mandi, fokus Danisa justru pada testpack yang menunjukkan dua garis biru.
Senyuman Danisa mengembang, selama ini saingan terberatnya di toko adalah Ara, dan dengan kejadian ini, dia tentu tahu apa yang akan terjadi. Toko tidak menerima perempuan hamil atau yang sudah menikah sebelum lebih dari satu tahun bekerja. Dan, Ara … belum satu tahun.