BAB 3 – 20 Tahun Kemudian

1947 Words
Dua puluh tahun kemudian. Situasi Bandara terlihat begitu ramai mengingat sekarang memang sedang musim liburan sehingga banyak orang yang hilir mudik pergi ke kota lain dengan menggunakan pesawat. Salah tiga di antara orang-orang yang ada di bandara adalah Ara Zerina, Friar dan Momo. Friar dan Momo adalah anak dari Ara Zerina. “Come on, Friar! Kembalikan tasku!” seru Momo kepada kembarannya. “Ambil sendiri kalau bisa,” kata Friar sambil meninggikan tas Momo dengan tangannya. Tinggi Momo hanya sebatas bahu Friar jadi dia tidak bisa menggapai tas miliknya. “Astaga, kalian ini sudah dua puluh tahun loh, Nak. Kenapa kalian seperti anak kecil saja?!” Ara memijit pelipisnya, tidak kuat dengan kelakuan kedua anaknya. Ntah dari mana sifat kedua anaknya tersebut berasal, sebab Ara merasa kalau dirinya adalah gadis yang kalem dan tenang, Apakah ini sifat turunan dari laki-laki itu? Ara mencoba mengalihkan pikirannya, bertahun-tahun dia selalu mencoba melupakan laki-laki itu, namun setiap melihat kedua anaknya, bayangan laki-laki itu selalu muncul. “Friar tuh, Ma! Dia duluan yang mulai.” Momo melipat tangannya di d**a dengan sebal. “Kakak, Momo, Kakak! Dia adalah kakak kamu, kamu harus memanggilnya Kakak Friar.” Ara menegur panggilan Momo kepada Friar. Bagaimana pun Friar adalah kakak dari Momo dan itu artinya Momo harus memanggil Friar dengan embel-embel ‘kakak’. “Dengar tuh kata mama! Kakak Friar. Ayo, panggil kakakmu dengan benar, Dik,” ucap Friar dengan nada mencemooh. Momo memandang Friar dengan kesal dan berkaca-kaca. “Menyebalkan!” seru Momo sambil mendorong bahu Friar, membuang topi Friar, dan berjalan dengan cepat. Friar memungut topinya. “Hahaha, pasti mau nangis kan?” tanya Friar. Ara langsung menjewer telinga anak lelakinya itu dengan kesal, “Terus saja membuat adikmu menangis. Sekarang kejar adikmu dan Mama tunggu di sini.” “Ah, Mama. Biarkan saja, Ma. Dia kan sudah besar, nanti juga dia balik sendiri.” jawab Friar. “Kamu ini ya, adikmu itu baru sekali ke Indonesia, Mama tidak mau adikmu tersesat,” kata Ara. “Okay, Mom!” seru Friar. Ara menggelengkan kepalanya, “Mama, Friar, Mama. Tidak ada Mommy! Kita orang Indonesia.” “Iya, Ma. Iya … “ jawab Friar. Ara pun melepaskan telinga Friar dan membiarkan Friar untuk pergi menyusul adiknya. Friar ini memang seperti itu, selalu senang bertengkar dengan adiknya. “Ck, padahal Friar juga baru pertama ke sini,” kata Friar menggerutu. “Friar, mama dengar ya!” seru Ara. Friar pun langsung menoleh ke arah ibunya dan membentuk tangannya agar berbentuk hati. Ara menggelengkan kepalanya dan menghela napas. Kemudian, Ara mengedarkan pandangan ke sekitar dan seketika matanya tertuju pada bangku panjang yang sudah disediakan oleh pihak bandara. Bug! Seseorang tak sengaja menabrak Ara hingga Ara hampir saja jatuh kalau orang yang menabraknya tidak sigap memang tubuhnya. “Sorry,” ucap laki-laki yang menabrak Ara. Ara pun langsung menjauhkan tubuhnya dari pria itu. “Ya ampun, Friar!” pekik Ara kesal. Dia mengira kalau orang yang menabraknya adalah Friar, mengingat outfit dan postur tubuh laki-laki di hadapannya sama dengan anaknya, begitu juga dengan wajahnya. “Saya bukan Friar. Sekali lagi saya minta maaf.” Pria itu memakai topi, matanya liar menoleh ke kanan dan ke kiri seperti habis dikejar oleh orang banyak. “Iya, tidak ap-…” mata Ara membelalak melihat wajah laki-laki itu. Setelah diperhatikan, wajah laki-laki itu memang bukan anaknya. Kakinya seketika lemas. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Bahkan, matanya berkaca-kaca. Tangan Ara mengepal di sebelah kanan dan kiri tubuhnya. “DAMSON!!!” seruan-seruan itu langsung terdengar di telinga Ara. Pria di hadapan Ara pun langsung berlari begitu saja, Ara menatap punggung pria itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. “DUG!” “Aduh!” pekik Ara. Sekitar tiga puluhan orang berlari dan menabrak Ara yang menghalangi jalan mereka. Mereka semua memakai kaos dan juga atribut yang menunjukkan kalau mereka adalah fans yang sangat fanatic. “DAMSON! DAMSONNN!!!” Ara kehilangan kesadarannya. *** Friar terus menggerutu sambil mengejar adiknya yang semakin jauh berlari. Beruntung Friar suka berolahraga, tinggi, langkahnya lebar. Jadi, dia merasa mudah dalam mengejar Momo. “DAMSON!” seru beberapa orang yang berteriak. Friar membetulkan topinya tidak peduli dengan teriakan-teriakan itu. Namun, sata Friar menoleh ke kanan, dia melihat banyak perempuan-perempuan yang berlari ke arahnya, hal itu sontak membuat dia terkejut. “Momo!” seru Friar yang membuat adiknya menoleh. Belum sempat Friar berada di samping Momo tiba-tiba para Fans dari pria yang bernama Damson langsung memegangi Friar. “Momo tolong!” seru Friar. “Damson! Damson!” seru para fans tersebut. Momo pun tertawa di tempatnya, namun ketika melihat tubuh kakaknya ditarik-tarik, dia jadi tidak tega juga, dia juga marah pada orang-orang yang melakukan itu kepada kakaknya. “What the f-…” seru Friar. “Saya bukan Damson!” seru Friar. “Damson-Damson!” seru yang lainnya. “STOP! LEPASKAN DIA! DIA BUKAN DAMSON-DAMSON ITU!” seru Momo. Suara cempreng Momo menarik perhatian semua orang, Momo langsung melepas topi yang dipakai oleh saudara kembarnya dan menunjukkan hal itu kepada semua orang yang ada di situ, “Lihat kan, dia bukan Damson! Dia kembaranku!” seru Momo. “Woooo …” semua orang bersorak. Momo dan Friar menatap tajam ke arah semua orang. “Damson di sana!” pekikan seseorang langsung mengalihkan perhatian fans-fans fantastik itu, kemudian mereka berlari mencari keberadaan idola mereka. Tidak ada satupun di antara fans itu yang meminta maaf kepada Friar maupun Momo. Pintu mulut mereka seakan terkunci. “Sial sekali!” umpat Friar kesal. “Hahahahaha, memang enak Friar!” ucap Momo, tangisannya sudah menguap, kini dia hanya tertawa saja mengingat bagaimana mengenaskannya kembarannya ketika dikerubungi orang-orang itu. “Ck, mereka sepertinya mengira kalau aku adalah artis, ah, tampangku memang rupawan sih,” kata Friar dengan penuh rasa percaya diri. “Apa? Apa aku tidak salah dengar?” tanya Momo seakan meremehkan. “Ayo, kembali sama Mama!” ajak Friar. “Aku sedang ngambek sama kamu, Friar. Biarkan saja kamu dimarahi mama,” ucap Momo. Friar pun langsung menggendong Momo dan membawanya dengan santai. Friar membawa Momo di bahunya, persis seperti seorang kuli yang sedang membawa beras. “Lepaskan aku, Friar!” seru Momo sambil memukul-mukul punggung Friar, namun Friar tidak begitu menggubrisnya. “Aku tidak mau,” kata Friar. “Memang enak.” “Okay-okay aku akan berjalan sendiri ke sana,” kata Momo. Friar akhirnya menurunkannya, namun seketika dia melihat pandangan yang tidak biasa. Dia melihat seseorang berpakaian serba hitam lengkap dengan topi seperti dirinya yang tak sengaja menabrak ibunya. Friar melihat sekilas wajah laki-laki itu, lalu merekamnya dengan baik di dalam memorinya. “Ayo!” seru Momo menarik tangan Friar. Sesampainya di depan ibunya, Friar mengamati wajah sang ibu, mata ibunya berkaca-kaca. “Mom, what happened?” tanya Momo. “Maksudku, apa yang terjadi, Mama?” Momo meralat pertanyaannya, ibunya memang melarang dia dan Friar untuk berbahasa Inggris ketika berbicara dengan orang tua. “Ah, tidak apa-apa. Mama hanya kelilipan saja,” kata Ara sambil tersenyum kepada Momo. Friar diam saja, tidak mengatakan apapun. Pikirannya masih berkutat dengan laki-laki yang menabrak ibunya. “Apa ada yang sakit, Ma? Tadi Friar lihat mama ditabrak seseorang,” kata Friar khawatir. Ara tersenyum memandang Friar, lalu menggelengkan kepalanya, namun sebuah air mata jatuh begitu saja di pipinya, “Tidak apa-apa, Nak.” “Loh, mama ditabrak siapa?” tanya Momo yang langsung menoleh ke kanan dan ke kiri. “Mama juga tidak tahu orangnya. Lebih baik kita kembali ke rumah, Mama sudah sangat rindu dengan nenek dan kakek kalian,” kata Ara. Momo melirik Friar. Friar langsung memberikan kode untuk menuruti ide Sang Ibu. “Okay!” seru Momo. Friar memesan sebuah taksi dengan bantuan ibunya. Kemudian, mereka pun langsung pergi menuju ke rumah Ara. Rumah yang sudah dua puluh tahun Ara tinggalkan. Bagaimana keadaannya sekarang? Ara memang sering melakukan video call dengan ibu dan ayahnya namun lebih sering ketika kedua orang tuanya berada di rumah. Dari percakapan telepon Ara mengetahui kalau kedua orang tuanya aktif ikut kegiatan di lingkungan tersebut. “Ma, kakek dan nenek pasti senang deh melihat kita datang!” seru Momo. “Hei, Cengeng, tentu saja!” ucap Friar. Momo langsung mencubit tangan kakaknya dengan kesal. Ara hanya bisa memijit kepalanya ketika melihat mereka berdua kembali saling bertengkar. “Ya ampun, apa mama tidak bisa tenang barang sehari saja?” ringis Ara. “Friar duluan tuh, Ma!” “Loh, yang nyubit Friar duluan itu Momo, Ma.” “Sudah-sudah.” Ara mengamati keadaan sekitar, kerinduan tidak bisa terbendung dari matanya. Mata Ara berkaca-kaca. Waktu begitu cepat berjalan, rumah-rumah warga yang ada di dekat rumahnya pun sudah banyak berubah, namun meski begitu, Ara masih bisa mengenali rumahnya sendiri. Tak lama kemudian mereka sampai, mereka pun turun dari taksi. Friar dan Momo mengamati keadaan sekitar, “Ma, ini tidak salah?” tanya Momo. “Tidak, ayo ikut Mama!” titah Ara. Momo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rumah Ara begitu sederhana di mata Momo, padahal dia mengira kalau ibunya memiliki rumah yang besar. Ah, Momo jadi teringat kalau selama ini ibunyalah yang memberikan uang kepada Nenek dan juga Kakeknya, jadi harusnya dia bisa menyimpulkan sendiri bagaimana keadaan Nenek dan Kakeknya. Ara merasa ada yang tidak beres dengan rumah itu, karena rumahnya terlihat begitu kotor dan seperti rumah kosong. Tok tok tok! Ara mencoba mengetuk pintu. Momo dan Friar hanya bisa mengamati ibunya dan mengamati keadaan sekelilingnya, banyak hal yang ingin mereka katakan kepada ibunya namun mereka tahan karena takut kalau ibunya merasa sakit hati. Meskipun Friar dan Momo adalah anak yang bandel, namun mereka sangat menyayangi ibu mereka. Bagaimana pun ibu mereka adalah ibu yang sangat hebat menurut mereka karena berhasil membesarkan mereka sampai sebesar ini. “Maaf kalian siapa ya? Rumah ini sudah kosong sejak lima tahun yang lalu.” Seorang tetangga datang dan memberitahu. Ara menoleh ke orang tersebut, “Bi Anis?” tanya Ara. Tetangga yang disebut sebagai Bi Anis itu mencoba mengingat-ingat mengenai siapa Ara. “Loh, Ara?” tanya Bi Anis. Ara menganggukkan kepalanya begitu saja. “Iya, Bi ini saya, Ara.” “Ya ampun, Ara,” kata Bi Anis yang langsung memeluk Ara. Ara membalas pelukan itu. Ara masih ingat kalau Bi Anis adalah tetangganya, beliau dulu sangat baik kepada dirinya. “Ibu sama Ayah saya pindah ke mana, Bu?” tanya Ara. “Pindah ke rumah Berry, Nak. Rumahnya ada di Jalan Garuda, nomor rumahnya sepertinya kalau tidak salah adalah M … 19B,” kata Bi Anis. “Oh, terima kasih ya, Bi. Kalau begitu kami ke sana dulu,” kata Ara. Ara sebenarnya sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Bi Anis, bagaimana mungkin orang tuanya tinggal bersama dengan Berry? Lalu, kalau tinggal bersama Berry, kenapa kedua orang tuanya setiap minggu meminta uang kepada dirinya? Astaga, Ara ingin memijit kepalanya saat ini juga. “Di mana itu, Mama?” tanya Momo. “Kita pesan taksi lagi,” kata Ara. Friar langsung mencarikan taksi secara online. Kemudian mereka pun langsung pergi menuju ke rumah Berry yang disebutkan oleh tetangga Ara. Hati Ara campur aduk, dia merasa takut. “Apa Berry yang dimaksud adalah adik Mama?” tanya Friar. Ara menganggukkan kepalanya begitu saja, “Iya, dia adalah adik mama,” kata Ara. Selam aini dia tidak pernah menceritakan tentang Berry kepada anak-anaknya. Bagaimana pun dia tidak mau kalau sampai anak-anaknya membenci Berry. Padahal, hatinya sendiri belum bisa memaafkan kesalahan yang diperbuat oleh Berry. “Asyik, kita bertemu dengan tante!” pekik Momo yang memang periang seperti anak kecil. “Apa Tante Berry adalah orang yang baik, Mom? Maksudku, Ma?” tanya Friar. Ara terdiam, kemudian memilih mengangguk. Namun, raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Friar mencoba merekam raut wajah ibunya dan langsung paham kalau tantenya sepertinya tidak sebaik itu karena raut wajah ibunya jadi berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD