tak bisa mengenal rasa

1277 Words
ani pov pagi yang seharusnya ku jalani dengan perasaan deg-degkan karna ujian semester awal, tak bisa ku lakukan karna kejadian semalam. aku pergi dan pulang sekolah dengan langkah gontai seperti orang yang tak punya semangat hidup lagi. ujian pun ku jawab asal-asalan. tak bisa berfikir apa yang harus ku lakukan selanjutnya. seharian aku mengurung diri di dalam kamar ku, tak ingin bicara pada siapapun. bahkan putra yang bertanya padaku ada apa tadi, tak ku jawab sama sekali. sampai sore menjelang aku baru keluar kamar, berniat untuk membersihkan diri dan belajar untuk ujian besok. baru setengah jam aku mem bu "di cariin mba asih tuh." kata mas aga memberi tahu ku singkat lalu menutup kembali pintu kamar ku. mba asih? ada apa dia mencari ku? apa mungkin dia akan marah-marah padaku, karna dia fikir aku menggoda suaminya?. apa yang harus ku lakukan jika dia marah-marah?. akhirnya ku putuskan menemuinya dengan perasaan takut. "i, i, iya m, m, mba, ada apa?" tanya ku gugup. "eh ani, temani mba yuk." jawab mba asih sambil tersenyum. "kemana mba?" dengan hati-hati aku bertanya lagi. "muter muter pusat pertokoan, udah gak usah tanya lagi cepat ganti bajunya, mba tunggu disini." sepertinya mba asih tau kalau aku mau bertanya lagi. tapi sebenarnya bukan pertanyaan yang ingin aku katakan, tapi penolakan karna aku sedang belajar untuk ujian besok. akhirnya dengan berat hati ku ganti pakaian yang lebih sopan, celana panjang dan kaos agak besar dan mengikat rambut sebahu ku. siap. aku menemui mba asih di depan, lalu kami berangkat. aku tak memberitahu atau berpamitan pada siapapun, karna hatiku masih kesal. kami menaiki angkutan umum menuju pertokoan, dalam angkutan umum aku berfikir apa om yasa belum bicara dengan om asih tentang niat ibu? tapi kenapa tiba-tiba mba asih mengajak ku? banyak pertanyaan yang membuat perasaan ini tak tenang, tapi berusaha ku redam. kami berjalan mengelilingi pertokoan. beberapa kali mba asih meminta pendapat ku jika iya ingin membeli barang. setelah selesai dia mengajak ku untuk makan di kedai bubur depan pertokoan, walaupun sebelumnya mba asih bertanya padaku mau makan apa? tapi aku serahkan ke mba asih mau makan apa .karna waktu menunjukkan hampir jam setengah tujuh malam. akhirnya mba asih membawa ku ke kedai bubur ini. setelah memesan sambil berjalan ke tempat duduk yang kosong, tak lama kami menunggu pesananpun segera di antarkan. baru aku selesai mengaduk bubur dan sambal dan memasukkan satu sendok ke dalam mulut ku, tiba-tiba! "Udah dari tadi di sini?" ASTAGA... kenapa om yasa ada di sini? Untung bubur yang baru ku masukkan ke dalam mulut tidak tersembur, karna kaget melihat kedatangan om yasa. "Enggak kok, ni baru mau makan. Tapi tadi udah sempet muter-muter sama ani. Ya kan ni?" Jawab mba asih dan bertanya padaku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pelan tanpa melihat om yasa yang sudah duduk di depan mba asih. "Papa udah pesan?" "Oh iya belum, papa pesan dulu." Jawab om yasa yang langsung menyebut kan pesanannya setelah memanggil pedagang bubur. Bubur ayam yang sebelumnya terlihat lezat di mata ku, kini terasa hambar di lidah karna melihat om yasa yang ada di sini. Aku tak bisa merasakan satu persatu perasaanku, karna semua rasa yang ada sudah bercampur jadi satu. Gak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa diam seribu bahasa. "Kok makannya sambil melamun sih? Cepat di habiskan, habis makan kita jalan lagi." Ucap om yasa sambil melihat ke arahku. Dan mba asih pun juga menyuruh ku untuk menghabiskan buburku. Aku menyelesaikan makan ku dengan tak berselera. hanya karna mba asih yang menyuruhku, akhirnya ku selesaikan juga bubur ayam milikku. "Udah selesai? " om yasa bertanya lagi. Ku anggukkan kepala perlahan tanpa mengeluarkan suara. "Yuk kita jalan lagi." Ucapnya sambil berdiri dan membayar semua pesanan kami. Kami jalan bertiga dengan mba asih yang ada di tengah. Walau begitu tetap saja aku malu di lihat orang. Akhirnya kami berhenti di depan toko emas. Ku fikir om yasa akan membelikan mba asih emas. Jadi aku menunggu tanpa mendekati mereka yang sedang melihat-lihat emas tersebut. "Ani sini!" Panggil mba asih. "Ada apa mba?" Ucapku sambil mendekat. "Menurut kamu bagus yang mana?" Tanya mba asih sambil memperlihatkan cincin bermata satu dan cincin motif rantai. "Yang ini bagus."ku berikan yang motif rantai pada mba asih. Ya cincin sederhana tanpa kilauan batu di atasnya. " ya udh kamu coba!" Tanpa ada perasaan apapun ku coba memakainya di jari manis ku. Ternyata pas! Ku lepaskan dan ku berikan kembali pada mba asih, Mba asih pun mencoba dengan motif yang sama, dan om yasa mencoba mengambil cincin yang lingkarnya lebih besar dengan motif yang sama juga. Setelah mencoba cincin itu ku alih kan pandangan ke tempat lain dwmi menghilangkan rasa gugup. Akhirnya mereka pun selesai membeli emas tersebut. Dan kami pun ke parkiran motor. Ku senggol tangan mba asih. "Mba, mba pulang naik motor?" Tanya ku pada mba asih. "Iya. Papa kan bawa motor" "Oh ya udah, ani naik angkutan umun aja." "Gak usah, kita naik motor bertiga aja." "Gak muat mba." "Muat! Ayo." Mba asih langsung menarik tanganku. Dan kami pun menaiki motor itu bertiga dengan posisi mba ani di tengah. Sampai di rumahnya aku di suruh masuk. Padahal badan ku sudah merasa letih, tapi tetap ku turuti ucapan mba asih. Setelah membantu mba asih membawa belanjaannya masuk, aku di suruh duduk sama mba asih. 'Ada apa lagi?' Tanyaku dalam hati, padahal aku ingin segera pulang dan belajar untuk menghadapi ujian besok. Setelah mba asih merapikan belanjaannya, dia datang dengan membawa satu plastik yang dia beli tadi. "Ini buat kamu." Ucap mba asih sambil memberikan plastik itu padaku. "Loh ini kan punya mba asih, kenapa di kasih ke saya?" Tanyaku bingung dengan melihat isi plastik itu. Ternyata isinya baju yang dia beli dengan meminta pendapatku. "Kata kamu baju ini bagus, jadi saya belikan buat kamu." Jawab mba asih sambil tersenyum. "Makasih ya mba." Jawab ku sambil tersenyum, karna gak tau lagi mau bilang apa. Karna aku pikir baju itu bagus buat dia, bukan bagus untuk ku. Setelah aku mengucapkan terimakasih om yasa yang sudah duduk di sebelah mba asih mengeluarkan plastik kecil dari sakunya. "Mama mana jarinya?" Pinta om yasa, lalu memasangkan cincin yang tadi di beli sambil tersenyum. Mba asih pun membalas senyum om yasa. "Ani, bisa pinjam jari manis kamu?" Tanya om yasa padaku yang sedang tersenyum melihat mba asih yang tersenyum. "Untuk apa om?" "Saya mau pasangkan cincin pilihan kamu." "Enggak om, saya cuma kasih pendapat sama mba asih aja, bukan buat saya tapi buat mba asih." Jawab ku menolak. Karna memang bukan maksud ku memilih cincin itu buat ku, tapi buat mba asih. "Udah, biar papa pasang cincin itu di jari kamu." Ucap mba asih sambil memegang tangan ku untuk di pasangkan cincin oleh om yasa. "Mulai sekarang, kamu adalah tunangan saya dan Istri saya saksinya. Dan karna cincin saya sama dengan kamu dan yang istri saya pakai, jadi mulai sekarang kita sudah terikat satu sama lain." Ucap om yasa yang seperti kilat yang menyentuh kepala ku, sampai aku tak bisa berfikir apa-apa, lidah ku kelu, badan ku terasa lemas tak bertulang, jiwa ku seperti meninggalkan raganya. Aku tak menjawab apapun, karna tak ada kata yang terlintas dalam pikiranku untuk menjawab. Pasrah bukan berarti menerima dengan iklas tapi karna tak bisa berbuat apa-apa. Setelah ku rasa ada peluang untuk pulang, aku segera pamit pada mba asih dan om yasa. Kulangkahkan kaki tanpa tau apa yang harus kulakukan dengan semua ini. Ingin menangis karna sudah di ikat dengan lelaki yang sudah mempunyai istri, tapi mataku tak bisa mengeluarkan air mata lagi. Sampai tempat tidur pun aku seperti orang linglung, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Karna aku merasa lelah hati, lelah fikiran, lelah badan, jadi ku pejamkan mataku membawa semua lelah ku bawa ke alam mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD