Pagi ini aku terbangun dengan perasaan sedih, karena melihat cincin ini masih melingkar di jariku. Sedih dan takut yang kurasakan saat ini. Karna aku tak bisa pergi dan tak bisa melawan.
Perlahan ku lepaskan cincin ini dari jariku, dan meletakkannya jauh di belakang laci meja belajarku. Agar orang lain tak dapat melihat dan mengambilnya.
Ya semenjak kejadian malam itu, setiap berangkat sekolah ku lepaskan cincin ini dan menaruhnya di laci meja belajarku dan memakainya kembali ketika sore hari sampai pagi. Karena mulai malam itu hampir setiap sore mbak Asih selalu mengajakku pergi dan pulang setelah om Yasa menjemput kami.
Karena cincin ini sebagai lambang ikatan jadi terikat pula tubuh dan waktuku.
Setelah selesai berpakaian dan bersiap untuk berangkat, lalu ibu meng hampiriku.
"Semalam om Yasa gak menitipkan apa-apa? "
"Enggak." Jawabku singkat sambil menautkan alis.
"Bilang sama om Yasa, inget sama janjinya kemarin."
"Janji apa bu?"
"Ah kamu gak usah tau. Bilang aja seperti itu."
"Ani gak berani, ibu bilang aja sendiri."
"Ya sudah, nanti kalau om Yasa sudah pulang kerja kasih tau ibu."
"Iya."
Setelah mendengar jawaban singkat ku, lalu ibu segera pergi. Aku pun segera berangkat ke sekolah. Dalam perjalanan aku semper bertanya sendiri dalam hati. 'Om yasa punya janji apa sama ibu?' Sepertinya aku harus menanyakannya pada om Yasa nanti malam.
Sepulang sekolah ku rebahkan tubuhku sejenak setelah berganti pakaian. Karena pikiranku gelisah akhirnya aku pergi ke rumah Putra.
"Put, lo tau gak perjanjian antara ibu gue sama om Yasa? " tanya ku langsung padanya tanpa basa basi.
"Nggak tau, memangnya kenapa?"
"Gak ada apa-apa, gue pikir lo tau. Mangkanya gue tanya sama loe."
"Oh.. sorry gue gak tau. Oh iya, kemarin lo jalan sama mba Asih kemana?"
Aduh kenapa Putra malah nanyain itu, padahal gue gak mau ngebahas masalah itu.
"Oh… ke pusat pertokoan doang, anterin mbak asih beli baju. Tapi gue bingung Put, masa gue di kasih cincin yang sama dengan mbak Asih dan om Yasa. Katanya ini cincin ikatan."
"Cie, cie… jadi loe udah di restuin sama mbak Asih nih. Udah dapet apa aja selain cincin itu?" Tanyanya penasaran.
Ku hembuskan nafas pelan, karena merasa diriku terkekang dan tak ada kebebasan.
"Apapun yang dia mau beli, pasti dia membelinya buat gue juga. Padahal gue gak suka atau mau. Tapi dia tetep maksa gue bawa pulang."
"Bagus donk. Harusnya lo sekalian pilih yang pantes buat lo atau yang lo suka, biat dia juga ikut selera lo."
"Tau lah Put, gue gak ingin begitu. Karena gue merasa hutang budi sama om Yasa."
"Iya juga sih. Ya udah lo jalanin aja, sampai waktunya lo bisa bebas dari om Yasa."
Setelah bicara dengan Putra, aku kembali pulang. Ternyata mbak asih dan om yasa sudah menungguku di rumah untuk mengajakku pergi. Aku pun tak banyak bertanya kemana, karena tujuannya pasti ke pertokoan. Aku segera masuk dan berganti pakaian.
Sampai di pertokoan langkah kami langsung berhenti di toko perhiasan. Dalam hatiku sebanyak apa sih uang yang dimiliki om yasa? Kok gak habis-habis tiap hari belanja dan sering membeli perhiasan. Baru dua hari lalu dia membelikan gelang sekarang apa lagi yang mau di beli.
"Ani kamu pilih cincin buat kamu ya."
"Saya? Buat apa om. Ini kan sudah ada?"
"Loh memang ibu gak bilang sama kamu?"
"Enggak, memang bilang apa?"
"Loh kita kan mau nikah. Jadi kita harus beli cincin kawin buat kamu."
"Loh itu kan masih lama om, ngapain beli sekarang."
"Ani tiga hari lagi kita mau nikah, jadi kita beli cincinnya sekarang. Kalo besok gak sempat memilih. Kalau besok kamu mau tukar dengan model lain kan masih bisa."
"Tapi om ani kan masih sekolah, gimana mau nikah tiga hari lagi. Ani baru lulus satu setengah tahun lagi." Jawabku dengan menahan sesak di d**a. Ingin rasanya pergi dan menangis sekerasnya, tapi apa yang apa yang bisa kulakukan. Aku tak lebih dari sebuah boneka yang tak bisa melawan saat yang memiliki melakukan apapun padaku.
"Gak apa-apa, kamu masih tetap sekolah kok sampai lulus. Ini cuma buat ikatan dan status aja. Kamu juga masih tinggal di rumah ibu karena papa belum membelikan kamu rumah." Jelas mbak asih membantu om yasa untuk menjawab.
Mulutku tak bisa berkata apa-apa lagi, seperti suaraku sudah hilang seiring hilangnya masa depan dan kebebasan ku. Aku tidak memilih cincinnya, hanya menunjuk asal model cincin yang ditunjukkan. Dan om yasa membayarnya, tak lupa mbak asih pun ikut membeli cincin juga walaupun dengan model yang berbeda.
Tak ada semangatku untuk berjalan mengelilingi pertokoan ini. Walau kadang mbak asih menanyakan pendapatku, aku hanya bisa menjawab bagus dengan sedikit senyuman yang ku paksakan.
"Ani kamu sakit?" Tiba-tiba om yasa bertanya padaku.
"Nggak om." Jawabku singkat.
"Kok kelihatannya lemas banget?"
"Iya, cuma agak capek sedikit." Jawabku sambil memaksakan sedikit senyuman walau terasa berat. Dalam hatiku berkata, 'ya capek semuanya, capek badan, hati dan pikiran.'
"Ya sudah, habis ini kita pulang."
Ya aku ingin segera pulang, karna ku rasa sudah tak sanggup menahan sesak di d**a dan ingin menumpahkan semuanya dalam tangis dan jeritan.
Selesai membayar belanjaan, kami menuju motor dan pulang ke rumah mbak asih. Ya ini rumah mbak asih yang baru di beli beberapa hari lalu. Rumahnya agak jauh dari rumah ibu, tapi masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 menit.
Sampai disana karna melihat ku tak bersemangat, lalu om yasa minta izin ke mba asih untuk mengantarku pulang. Setelah mba asih mengizinkan aku pun segera pamit.
Motor yang om yasa kendarai berjalan sangat lambat, akhirnya aku memberanikan diri bicara padanya.
"Om, bisa berhenti sebentar." Karena om yasa mengambil jalan memutar, jadi ku meminta berhenti di pinggir jalan. Ya jalan ini cukup banyak kendaraan yang lewat walau tak ramai. Jadi aku bisa bicara dengan tenang. Setelah itu om yasa meminggirkan motornya.
"Ada apa?"
"Kenapa om mau menikahi saya secepat ini? Apa gak bisa nunggu sampai saya lulus? Lagi pula masih ada dua kakak ani yang belum menikah." Kata ku yang langsung keluar begitu saja, memikirkan apa reaksi yang nanti om yasa berikan.
"Karena saya gak mau keduluan orang lain, dan untuk kakak mu yang belum menikah saya sudah berikan pelangkah pada mereka."
Tanpa terasa tumpah sudah air mata yang kutahan dari tadi, karena dengan entengnya om yasa mengucapkan itu. Ku tahan isak tangis ku, Walaupun ku tau om yasa tidak mengetahui tangisku karena posisi kami masih di atas motor. Aku tak ingin memperlihatkan kerapuhanku di depannya, karena aku tak ingin dia berpikir yang bukan-bukan.