6-Mendadak Lembur

1432 Words
6- Mendadak Lembur Rainhard menatap Sava tajam. “Buatkan Aku kopi yang baru, yang ini tidak enak,” dengan ketus, dia berkata. Jika hanya berdua dengan Sava, Rainhard memang selalu memanggil dengan sebutan Aku, kamu. “Hah, baiklah akan saya buatkan lagi. Tapi....bolehkah anda menyebutkan bagaimana takarannya, supaya saya tidak membuat kesalahan lagi,” karena ingin cepat selesai urusannya dengan Rainhard, Sava tak mau banyak bicara. Namun begitu, dia harus tetap bertanya supaya tidak ada kesalahan lagi. Dia akan melakukan mau pria menyebalkan itu. “Satu sendok kopi, satu sendok gula dan tambahkan s**u secukupnya,” jawab Rainhard dengan nada dingin. Sava segera menuju Pantry untuk membuatkan pesanan sang bos. Sementara itu, Rainhard menghubungi satpam yang bertugas di depan. Dia mengatakan sesuatu yang akan membuat Sava jengkel nantinya. Beberapa saat kemudian, Sava selesai membuat kopi. Dia segera kembali ke ruangan Sang Bos. Tok tok tok, Sava mengetuk pintu. “Masuk,” terdengar suara Rainhard menyahuti dari dalam. Sava segera membuka pintu dan masuk dengan secangkir kopi pesanan Rainhard. “Silakan kopinya,” dengan seulas senyuman. “Kenapa tersenyum padaku? Mau menggodaku kah?” Rainhard tersenyum miring, menggoda Sava. “Apa? Menggoda? Tentu saja tidak!” sahut Sava cepat dengan nada jengah. Tapi, reaksi Rainhard sungguh membuat Sava sebal. Pria itu mengedikan bahu, dengan raut santai dan tak peduli. Lalu, Rainhard menghirup kopi buatan Sava dan meneguknya sedikit “Tidak enak!” dengan menatap Sava tajam. “Kamu sungguh tidak pandai membuat kopi, ini pasti karena membuatnya dengan kesal dan tanpa cinta,” ucapnya ketus. Sava sampai terkejut mendengarnya, apa maksud perkataan pria itu coba? Tentu saja dibuat tanpa rasa cinta! Untuk apa juga membuat dengan rasa cinta untuk pria itu! “Kopi yang saya buat dengan rasa cinta, hanya untuk kekasih saya seorang,” sahut Sava. Perkataannya itu, sungguh membuat hati Rainhard tidak nyaman. “Kamu....” Rainhard menghembuskan nafas kesal. “Iya, Pak. Apa ada yang perlu saya bantu kembali? “ tanya Sava, masih dengan sopan. “Kamu lembur hari ini, jadi tak boleh pulang dulu,” sahut Rainhard tanpa menoleh. Dia fokus dengan laptopnya. “Pak, kenapa begitu! Saya bahkan sudah ditunggu untuk kencan hari ini,” rasanya dia sangat kesal sekarang. “Sebagai karyawan yang baik, kamu tidak boleh membantah,” ketus Rainhard, kali ini dia sudah menatap Sava dengan tajam. “Dasar bos seenaknya!” gerutu Sava yang ingin menangis dalam hati. Sedangkan, Rainhard tersenyum senang dengan apa yang sudah dia lakukan itu. “Tapi, tak ada pemberitahuan lembur untuk saya sebelumnya. Saya tidak mau loh lembur gratis,” ujar Sava yang merasa menemukan alasan yang pas. “Aku yang akan membayarmu kontan hari ini juga,” ucap Rainhard tanpa beban. “Pak,” suara Sava terdengar lirih. “Sudah, sudah, jangan menggangguku yang sedang bekerja. Duduk di sofa dan cukup diam disitu, jika aku butuh bantuan kamu, nanti aku akan bilang!” Rainhard tak mau dibantah lagi. Sava akhirnya terpaksa menuruti. Dia tidak mau di pecat tentu saja. “Baik, Pak,” suaranya terdengar tercekat di tenggorokan. Dia mulai duduk dengan punggung yang tegak. Lalu merogoh ponsel di dalam sakunya, hendak menghubungi Rio. Dia melakukan panggilan telepon. Setelah beberapa kali menghubungi pria itu, akhirnya panggilan pun tersambung. “Maaf, Va. Lagi di jalan, ini pun Kakak menepikan dulu motor,” jawab Rio dari balik sambungan telepon. “Di jalan?” Sava jadi bingung, bukankah Rio tadi sedang menunggunya di depan perusahaan ini. “Iya, kan kamu mendadak lembur. Bukankah kamu yang minta satpam memberitahukan hal itu?” Rio sepertinya heran dengan pertanyaan Sava. “Hah.” Sava jadi bingung, lalu teringat sesuatu. Dia menatap tajam sang tersangka. Siapa lagi kalau bukan Rainhard. “Oh, iya maaf ya Kak,” ucap Sava penuh sesal. “Tak masalah, santai saja. Nanti bilang sama aku pulang jam berapa, biar Kakak jemput nanti,” ujar Rio. “I iya kak,” rasanya Sava tidak yakin. Lalu Sava pun pamit dan menutup panggilan. Dia mengembuskan napas kesal. “Ini pasti ulah Pak Rain,” gumamnya sebal. “Pak,” menyapa Rainhard setelah dia berdiri di depan meja pria itu. “Apa?” Rainhard menjawab tanpa menoleh sedikit pun. “Apa anda yang mengusir calon suami saya?” todong Sava to the point, dia yakin pria ini lah biang keroknya. Rainhard mengangkat wajahnya, membuat tatapan mereka bertemu. Yang sialnya malah membuat Sava gugup. “Kenapa dia ganteng banget sih!” pekik Sava, yang tentu saja dalam hati. Andai tak mengenal pria ini, dia pasti akan sangat terpesona padanya. Ah, pria tampan sempurna ditambah kaya raya, siapa coba yang tidak mau! Sava sampai memaki dirinya sendiri dalam hati. “Terpesona, heh!” Rainhard menjentikkan jarinya di depan wajah Sava. “Eh, apaan sih! Tentu saja tidak!” pipi Sava sudah memerah mendengar perkataan Sang Bos. “Dasar pembohong!” sinis Rainhard, dengan senyuman tipis yang sangat menawan. Sava memalingkan wajah untuk menetralkan degup jantung dan debaran hati yang tiba-tiba saja mendera dirinya. “Kak Rio, Kak Rio, Kak Rio,” sebanyak mungkin menyebut calon suaminya, agar tidak tergoda pria lainnya. Dia tak mau jadi wanita yang tak setia! “Pak, jawab pertanyaan saya tadi!” setelah bisa menetralkan degup jantung dan debaran hatinya, Sava mulai bersuara kembali. “Pertanyaan yang mana?” Rainhard mengerutkan dahi. “Apa anda mengusir calon suami saya?” ulang Sava, dengan suara pelan. Rainhard berdecih, lalu mengatakan sesuatu. “Aku hanya meminta satpam untuk menginfokan, kalau kamu lembur dan pulangnya belum pasti. Atau kamu mau lelaki itu menunggumu sampai malam?” perkataan Rainhard memang ada benarnya menurut Sava. Tapi tetap saja, dia merasa sangat kesal kepada Pria itu. Seharusnya, dirinyalah yang memberitahukannya. Bukannya dia! “Anda sungguh sok tau Pak!” ketus Sava, dia tak peduli kalau dicap karyawan tak tau diri sekarang ini. “Dasar tak tau terimakasih,” cibir Reinhard keras, sengaja agar Sava mendengarnya. Tak mau menghabiskan energi hanya untuk bertengkar dengan pria itu, Sava akhirnya memutuskan untuk kembali ke sofa dan duduk manis saja. Satu jam berlalu, dia mulai merasa bosan. Hanya duduk dan memperhatikan bos gantengnya bekerja. “Saya bosan Pak,” ujar Sava. Rainhard menoleh. “Kamu bisa menggunakan laptop?” tanya Rainhard. Sava mengangguk kecil. “Bisa, hanya sedikit,” saat sekolah SMK, dia sering pergi ke warnet untuk mengerjakan tugas-tugas tertentu yang mengharuskannya menggunakan komputer. “Kemarilah,” ujar Rainhard. Sava menghampiri meski ragu. Rainhard berdiri, dan meminta Sava duduk di kursi yang ada di depan meja kebesarannya. “Tunggu disini,” ujarnya. Lalu, Rainhard masuk ke dalam ruangan pribadinya. Mengambil laptop lainnya dan memberikan kepada Sava. “Ini untuk apa?” Sava jadi bingung. Rainhard mulai menjelaskan beberapa hal, dan memberikan dokumen untuk Sava kerjakan. Beruntung, dulu Sava sekolah di SMK jurusan administrasi perkantoran. Sehingga, sedikitnya dia paham yang Rainhard jelaskan. Dia membawa laptop itu ke sofa, dan mulai mengerjakan tugasnya. Tentu saja, Rainhard tak memberikan tugas yang sulit. Sekitar jam tujuh-an, Rainhard menghentikan pekerjaannya. “Kita pulang,” ujar Rainhard sambil berdiri, dan merapikan laptopnya. Dia berniat mengajak Sava makan malam dulu. Sava pun melakukan hal yang sama. “Ini belum selesai,” ucap Sava dengan malu. “Tak masalah, lagian itu bukan pekerjaanmu,” lalu Rainhard, mengambil laptop dan dokumen yang Sava pegang. Dan menyimpan di atas meja kerjanya. “Ayo,” lalu menarik tangan Sava dan mengajaknya keluar dari ruangannya. Sava menarik tangannya. Apa kata dunia, jika ada yang melihat tangannya digenggam sang bos. Lagian, ada apa dengan pria itu. Kenapa sampai menggenggam tangannya segala sih! Dasar pria tua m***m! Pikir Sava. Usia Sava dengan Rainhard terpaut sekitar sepuluh tahunan. Rainhard hanya mendengus sambil melepaskan tangan Sava. Saat di dalam lift, Sava merogoh ponselnya. Dia ingin menghubungi Rio. “Aku akan mengantarmu pulang,” ujar Rainhard tiba-tiba. Yang sungguh membuat Sava terkejut luar biasa, dan kepalanya berdenyut nyeri seketika. “Pak, apa maksud anda?” tanya Sava, dia menoleh ke arah pria itu dan menatapnya tak percaya. “Apa kamu tuli?” tanyanya menyebalkan. “Mulut anda selalu saja pedas!” gerutu Sava pelan. Rainhard tersenyum tipis. “Aku memang bermulut pedas,” diiringi kekehan. Sava membalikkan tubuhnya, tak mau melihat pria yang menurutnya semakin menyebalkan saja. Bukankah, pria itu terkenal dingin? Tapi kenapa saat bersamanya, pria itu begitu menyebalkan sekali dan banyak bicara sih! Itu yang memenuhi pikiran Sava. Tiba-tiba saja lampu mati, dan lift berhenti. Tentu saja Sava panik begitu pun Rainhard. “Ada apa ini!” pekik Sava ketakutan. “Jangan takut, ada aku.” Rainhard langsung memeluk Sava dan membenamkan wajah wanita itu di dadanya. Sava sampai terkejut dengan apa yang dilakukan pria itu. “Pak....” Sava berkata pelan dengan sejuta kecemasan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD