"Pak, apa yang anda lakukan. Lepaskan saya," ujar Sava lirih. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan. Tenanglah, kita hanya punya sedikit pasokan udara disini. Yang harus kita manfaatkan sebaik mungkin, sampai tim mekanik memperbaikinya," sahut Rainhard yang enggan melepaskan Sava dari dalam pelukannya.
Sava akhirnya diam.
Berada dalam pelukan pria ini ternyata rasanya lumayan nyaman juga, ditambah wangi parfum mahal yang tercium membuatnya semakin tenang.
Parfum yang Rainhard gunakan, tidak lah terlalu menyengat. Melainkan tercium lembut dan menenangkan.
"Hey, apa kamu tidur?" tanya Rainhard yang merasa tak ada pergerakan dari tubuh wanita yang ada dalam pelukannya itu.
"Emmh, eh." Sava membuka matanya perlahan, rupanya dia tadi benar-benar ketiduran. Dan sialnya, dia melihat jas mahal bosnya itu basah.
Tentu saja, Sava yakin dia sudah membasahi jas mahal sang bos dengan ilernya.
"Bagaimana ini? Kenapa aku bisa senyaman ini di pelukan Pak Rain, sampai bisa ketiduran dan ngeluarin Iler segala lagi." Sava sungguh bingung.
"Ck, senyaman itukah dalam pelukanku? Sampai tidur, bahkan ileran." Rainhard sampai geleng-geleng kepala dan terkekeh
"Maaf," ucap Sava pelan.
Sesaat kemudian, dia merasakan pusing dan sedikit sesak napas.
"Berapa lama lagi kita terjebak disini?" mulai cemas dan menahan diri, agar tak terlihat kepanikan serta apa yang dirasakannya.
Tapi, Rainhard sungguh peka.
"Kamu kenapa?" menatap wajah wanita yang ada di dalam dekapannya itu yang tampak mulai memucat.
"Tidak apa-apa," sahut Sava.
Namun, tiba-tiba saja matanya mengabur dan dia tak bisa melihat apa-apa lagi.
Setelahnya, Sava tak sadarkan diri.
"Sava! Hey, bangun kamu! Kamu kenapa?" Rainhard mulai panik.
Dia mengguncang tubuh Sava. Dia mulai berteriak panik, takut sesuatu yang buruk menimpa wanita ini.
Dia berusaha menghubungi mekanik kantor kembali, tapi ternyata sungguh sulit.
Sebenarnya, tadi dia sudah berusaha menghubungi satpam dan kepala mekanik dan kelistrikan perusahaan.
Namun, karena sudah banyak yang pulang. Membuatnya kesulitan menghubungi mereka.
Beruntung, masih ada yang bekerja. Meski hanya sedikit saja.
Sepuluh menit kemudian, barulah tim kelistrikan dan mekanik mulai membetulkan.
Dan, akhirnya lift bisa dibuka.
Rainhard segera membawa Sava ke rumah sakit, dia begitu cemas dengan keadaan wanita itu.
"Gawat, sepertinya kita akan disidang besok," terdengar helaan nafas panjang dari tim yang memperbaiki lift dan listrik kantor.
Sementara itu, Rainhard sudah ada di dalam sebuah ruangan di rumah sakit.
Setelah tadi, dia begitu panik karena kondisi Sava. Bahkan di dalam mobil, dia sampai terus mengoceh memarahi sopir.
"Tenanglah, Nona Sava hanya terlalu cemas berlebihan. Semuanya baik-baik saja," ujar dokter yang menjelaskan dengan tenang.
Rainhard bisa bernafas lega mendengar perkataan dokter wanita yang masih muda itu.
"Syukurlah," gumamnya pelan.
Beberapa saat kemudian, Sava sadar.
"Kak Rio," gumamnya saat sadar, namun matanya masih tertutup, karena masih merasa pusing.
Rainhard merasa kesal mendengar nama pria lain disebut.
"Aku bukan lelaki itu," sahutnya ketus.
Sava membuka mata perlahan, saat mendengar suara ketus khas seseorang.
Suara yang dia tau betul milik siapa.
Dia menoleh ke arah sumber suara.
Tampaklah wajah masam yang sedang memandangnya lekat.
"An anda kenapa ada disini?" tanyanya bingung.
"Sepertinya kamu sudah hilang ingatan ya? Atau kamu memang tipe orang yang suka melupakan orang seenaknya!" sinis Rainhard dengan jengkel.
Sava menghela nafas dalam mendengar perkataan Rainhard.
"Maafkan saya, dan saya ucapkan banyak terimakasih. Karena, anda sudah menolong saya," ucap Sava lirih sambil menundukkan wajahnya.
Dia mulai ingat semua yang terjadi. Mulai dari lift yang mati, pelukkan hangat Rainhard, dan setelahnya dia tak tau lagi.
Tapi, dia yakin kalau pria ini jugalah yang membawanya ke rumah sakit.
Buktinya, pria ini masih ada di sampingnya. Dan menjadi pria pertama yang dia lihat saat membuka mata.
Tentu saja begitu, karena Rainhard samasekali tidak memberitahukan kondisi Sava kepada siapapun juga.
Termasuk kedua orang tua Sava.
Rainhard menggenggam tangan Sava. "Istirahatlah," ucapnya lembut.
Sava sampai terkejut, karena pria yang biasa bicara ketus itu bisa juga berkata dengan nada selembut ini.
"Sekarang jam berapa?" tanya Sava. Yang merasa tak enak kepada kedua orangtuanya, jika saja pulang terlambat.
"Jam sepuluh malam, besok baru pulang. Tenanglah, nanti aku akan menjelaskannya kepada ayah dan ibumu." Rainhard sepertinya mengerti kekhawatiran Sava.
Sava mengembuskan nafas pelan.
"Anda kenapa?" Sava mulai menatap Rainhard.
Rainhard mengerutkan dahi. "Maksudmu? Aku baik-baik saja," jawab Rainhard dengan pertanyaan penuh keheranan.
"Kenapa bersikap baik sama saya? Kenapa saya merasa anda menyukai saya?" ceplos Sava.
Dia sampai menggigit bibir bawahnya, karena terkejut dengan apa yang sudah dirinya katakan barusan.
Bisa-bisanya berkata demikian. Mengatakan sesuatu yang hanya membuat dirinya malu saja.
"Bodoh Sava, bodoh!" makinya kepada diri sendiri dalam hati.
Sava yakin, Rainhard pasti akan marah kepada dirinya sekarang.
Pria itu, pasti tak suka dengan apa yang sudah dia katakan itu.
Tapi sungguh di luar dugaan, Rainhard malah terkekeh mendengar perkataan Sava.
"Aku harap kamu lebih pintar dan tidak bodoh lagi," ucapnya ambigu. Bahkan, Rainhard mengecup punggung tangan Sava yang ada di dalam genggaman tangannya.
Tentu saja, Sava terkejut.
"Jangan bikin saya baper Pak!" sinis Sava yang berusaha membentengi hatinya, agar tak sampai jatuh hati kepada pria m***m ini.
"Kak Rio, Kak Rio, Kak Rio...." Sava terus menggumamkan nama sang kekasihnya dalam hati, agar membuat otaknya sadar, kalau Rio adalah calon suaminya.
Sedangkan, Rainhard hanya atasannya di kantor.
Lagian, mana mungkin pria kaya sekelas Rainhard menyukainya, bukan?
Dirinya yang hanya bagaikan debu. Tentu saja tak bisa dibandingkan, seorang office girl dengan sang pemilik perusahaan.
Kastanya sungguh sangatlah jauh!
"Jadi kamu baper sama aku?" Rainhard tersenyum tipis, Sava bisa melihat raut senangnya meski sekilas.
Sava sampai heran melihat raut senang pria itu.
"Bagaimana tidak, perlakuan anda sungguh membingungkan," aku Sava dengan suara pelan, dia merasa malu sebenarnya.
"Kamu memang bodoh, sehingga tak pernah menyadarinya," perkataan Rainhard sungguh membuat Sava semakin bingung saja.
"Pak, tolong hubungi Kak Rio. Supaya dia menjemput saya sekarang. Ayah dan ibu pasti tak akan marah sama Kak Rio, kalau dia yang nganterin saya pulang," ujar Sava.
Rainhard mengembuskan nafas kasar.
"Istirahatlah! Besok aku akan mengantarmu pulang!" nada bicara pria itu tak bisa dibantah lagi.
"Tapi saya mau pulang sekarang!" terpaksa Sava berkata dengan meninggikan suaranya, berharap pria di hadapannya ini akan mengerti keinginannya.
"Baiklah, aku akan mengurus kepulanganmu dulu," dengan nada kesal, Rainhard menjawab.
Lalu setelahnya, dia keluar dari kamar Sava untuk mengurus administrasi wanita ini.
Setelah semuanya diurus oleh Rainhard, Sava pun dijemput pria itu.
"Ayo!" Rainhard meminta Sava naik kursi roda.
"Apa-apaan ini? Saya bisa jalan kaki saja. Saya kan tidak sakit parah!" ketus Sava yang merasa bosnya ini berlebihan.
"Baiklah, kalau begitu biar saya gendong kamu saja." Rainhard menyeringai, membuat Sava mendengus.
Dan jawaban Sava selanjutnya, ternyata membuat Rainhard terkejut luar biasa.
Tetapi, tentu saja dia senang mendengarnya.
Namun, Sava merasa dikerjai. Tadinya, dia berniat mengerjai pria itu, eh malah dirinya yang terkena senjatanya sendiri.
"Dia memang pandai membuat orang kesal! Dan pandai memutar balikkan keadaan," gerutu Sava, sangat pelan.
Namun tentu saja, Rainhard bisa mendengarnya. Karena, pendengarannya memang tajam, apalagi jika berhubungan dengan Sava.
"Ini bukan salahku ya," kekehan kecil muncul dari pria itu, Rainhard.