“Eh ... saya Adam, Tuan. Saya seorang fotografer dari kota. Dan sedang ingin berkunjung ke desa ini. Saya kesulitan mencari penginapan terdekat. Bisakah anda membantu saya mengatakan di mana penginapannya?” tanya Adam sembari menjelaskannya dengan sesopan mungkin.
Nampak pria paruh baya itu memerhatikan wajah Adam denga lekat. Lalu pandangan matanya bergerak ke arah bawah, meneliti penampilan Adam dan lalu kembali menatap wajah tampan pria itu lagi. Terjadi jeda waktu di antara mereka tanpa kata-kata dari pemilik rumah tersebut, membuat Adam menjadi merasa semakin canggung.
Meski begitu nampak sekali di wajah pria paruh baya itu yang tengah memikirkan ulang keputusan yang akan diambilnya. Hingga akhirnya pintu rumah tersebut terbuka lebih lebar lagi, memperlihatkan tubuh kurus pria paruh baya itu dengan ukuran yang lebih pendek dari Adam.
“Masuklah,” putus pria paruh baya itu mempersilahkan Adam masuk ke dalam. Sontak saja Adam menghela napas lega mendengar ucapan itu.
“Terima kasih, Tuan!” ucap Adam sembari melempar senyum ramah ke arah pria paruh baya itu. Adam langsung memasuki rumah tersebut dengan ringan diiringi tatap sang pemilik rumah yang masih mengikuti gerak-geriknya Adam dengan lekat.
Tanpa sengaja sudut mata Adam menangkap sebuah palu besar yang diam-diam tengah disembunyikan pria paruh baya itu di balik punggungnya. Adam mencoba bersikap untuk terlihat normal dan wajar sembari memerhatikan keadaan di sekitarnya.
Setelah masuknya Adam ke rumah pria itu, pria paruh baya itu segera menutup kembali pintu tersebut dan menguncinya dengan rapat. Mengabaikan sejenak sosok Adam yang masih berdiri diam di tengah ruang tamunya yang terlihat sederhana.
Setelah memastikan pintu tersebut terkunci dengan rapat, pria paruh baya itu membalikkan tubuhnya dan menatap Adam. Mereka kembali bertatapan, menyelami pancaran mata masing-masing, sebelum kemudian pria paruh baya tersebut memutus kontak mata terlebih dahulu di antara mereka.
“Aku tahu kau menyadari apa yang ada di balik punggungku ini.” ucap pria paruh baya itu tiba-tiba. Tangan yang menyembunyikan palu tersebut kemudian diperlihatkannya di depan Adam. Meski begitu pria tersebut nampaknya tidak berniat untuk melepaskan palu dalam genggamannya itu.
“Maafkan aku. Kau pasti merasa tidak nyaman dengan ini. Aku juga tidak bermaksud jahat kepadamu, Nak.” lanjut pria itu lagi sembari melempar senyum tipis.
Pria paruh baya itu melangkah dan mengambil tempat duduk di atas sofanya dengan lebih santai. Menyadari bahwa Adam masih berdiri di depannya, pria paruh baya itu menoleh ke arah Adam.
“Apa yang kau lakukan? Duduklah. Kita bisa berbincang sebentar.” tawar pria paruh baya itu.
Lalu pandangan matanya mengarah pada salah satu sudut rumahnya yang ternyata ada beberapa pasang mata juga yang tengah bersembunyi di sana dan memerhatikan mereka berdua, terlebih kepada Adam.
“Dan kalian, datang mendekatlah. Tidak apa-apa.” ajak pria paruh baya itu.
Sontak saja Adam langsung menoleh ke arah sudut yang diperhatikan oleh pria paruh baya tersebut. Nampak seorang wanita paruh baya yang ditaksir Adam merupakan istri pria paruh baya itu beserta kedua anaknya.
Satu seorang gadis kecil yang sepertinya berumur sekitar 10 tahun. Sedang yang satu lagi seorang pria kecil yang berumur sekitar 2 tahun. Mereka bertiga sama-sama memerhatikan Adam dengan pandangan menyelidik dan terlihat gelisah tidak tenang.
“Kau juga, nak Adam. Duduklah. Kita bisa berbincang bersama.” ucap pria itu lagi terhadap Adam. Membuat pria itu tersadar akan sikapnya sendiri yang terlihat cukup tidak sopan di depan pemilik rumah. Akhirnya Adam menuruti ucapan pria paruh baya itu.
Adam memilih sofa tunggal dekat pintu utama untuk didudukinya. Sedangkan wanita dengan kedua anak tersebut, semua memilih duduk berdampingan dengan pria paruh baya tersebut. Mereka semua menatap Adam dengan lekat sembari memerhatikan dirinya dari atas ke bawah, lalu kembali lagi ke atas.
Seolah ada sesuatu yang aneh dengan penampilan Adam saat ini. Padahal menurut Adam sendiri, penampilannya hanya biasa saja selain wajahnya yang memang di atas rata-rata.
Untuk sesaat mereka semua hanya terdiam saling memerhatikan dan bersikap was-was satu sama lain. Tidak lucu jika Adam tiba-tiba menjadi korban pembunuhan dalam sebuah keluarga yang berada di desa pedalaman seperti ini. Kemungkinan jasadnya ditemukan akan sangat kecil sekali oleh awak media.
Pikiran Adam mulai merambat ke mana-mana. Namun pria itu masih tetap berusaha untuk bersikap tenang. Dirinya masih mengingat mobil yang berisi barang-barang pentingnya termasuk senapan yang sengaja dibawanya dari rumah, terparkir rapi di depan rumah ini. Setidaknya, jika terjadi sesuatu padanya, Adam harus bersiap keluar dari rumah ini menuju mobilnya dan kabur secepatnya.
Bukan tidak mungkin jika penduduk desa yang lain akan bersekongkol dengan pemilik rumah ini, untuk menyerangnya secara bersamaan. Jika seperti itu, sepertinya akan lebih aman untuk Adam melanjutkan perjalanan di malam hari melewati hutan, dibanding harus bermalam di dalam sebuah desa asing yang sepertinya terlihat sangat mencurigakan ini.
Waktu masih terlalu pagi untuk penduduk desa menutup pintu rapat-rapat bagi Adam. Lalu sambutan dengan sebuah palu untuk dirinya yang mencoba bersikap sopan itu, benar-benar membuat dirinya merasa harus waspada.
Adam masih menatap tajam dan waspada kepada mereka semua, yang juga masih memandangnya dengan tidak kalah waspada.
“Jadi ada apa nak Adam datang ke desa ini malam-malam?” tanya pria paruh baya itu dengan lebih santai. Adam memusatkan perhatiannya kembali pada pria paruh baya di depannya.
“Saya hanya berencana untuk menginap beberapa hari di desa ini, Tuan. Saya sempat membaca di sosial media mengenai desa ini. Dikatakan desa ini memiliki fenomena alam dari sebuah danau yang sangat indah. Dan saya tertarik untuk melihatnya sendiri fenomena itu.”
“Fenomena alam?” beo pria paruh baya itu dengan wajah bingung. Pria paruh baya itu menoleh ke arah wanita yang duduk di sebelahnya. Mereka saling berpandangan dengan wajah bingung.
“Ya Tuan. Kenapa? Apa Tuan mengetahui danau tersebut?” tanya Adam kemudian dengan wajah penasaran.
“Hm, aku kurang yakin dengan danau yang kau maksud itu. Di desa ini memang ada danau yang masih memiliki kekayaan alam yang melimpah di dalamnya. Hanya saja danau itu sudah ditutup lama, jauh beberapa tahun yang lalu. Tidak ada yang boleh mengunjungi danau itu lagi. Dan mengenai fenomena alam yang kau maksud itu, aku tidak mengerti fenomena apa itu. Karena setahuku danau itu hanya seperti danau-danau yang lainnya saja.”
“Ah artikel itu tertulis kalau danau itu terlihat seperti biasa. Namun di saat malam hari, danau itu bisa memunculkan fenomena alam yang indah. Seperti bercahaya, atau entahlah. Saya juga tidak begitu yakin dengan bagaimana fenomena itu sendiri. Karena itu saya mencoba datang ke sini untuk melihatnya secara langsung. Jadi danau itu sudah ditutup?” jelas Adam. Lalu wajahnya terlihat lesu di akhir kalimatnya ketika mengetahui danau itu telah ditutup.
“Hm, jika memang danau itu yang kau maksud, maka benar yang aku katakan, Nak. Danau itu sudah lama ditutup dan tidak ada yang boleh mengunjungi tempat itu lagi.”
“Kenapa harus ditutup Tuan?” tanya Adam kemudian. Nampak pria paruh baya itu kembali berpandangan dengan istrinya. Wajah mereka terlihat meragu untuk mengatakan alasannya.
“Danau itu hanya terlalu berbahaya untuk dikunjungi, nak Adam. Tempatnya sedikit terpelosok ke dalam hutan yang liar. Dan sudah banyak korban yang diserang oleh hewan-hewan liar tersebut. Karena itu, penduduk setempat sepakat untuk menutup akses menuju danau itu agar tidak ada yang mengunjunginya lagi. Dan saya harap nak Adam juga mengurungkan niat untuk pergi ke sana.” pesan pria paruh baya itu.
Jawaban pria paruh baya itu semakin membuat Adam lesu. Jika harus berhadapan dengan hewan liar, Adam sudah menyiapkan jauh-jauh hari senapannya untuk menghalau mereka semua. Hanya saja, tempat itu telah ditutup oleh penduduk setempat sendiri. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan larangan tersebut.
“Berapa lama nak Adam berencana menginap di desa ini?” tanya pria paruh baya itu.
“Eum entahlah Tuan. Saya berencana menginap sekitar 5 sampai 7 hari di tempat ini karena ingin melihat danau tersebut. Namun jika pada akhirnya saya tidak bisa melihat danau itu, mungkin jadwalnya akan lebih pendek dari jadwal sebelumnya. Saya juga sedang mencari bahan objek untuk pekerjaan saya sebagai Fotografer, Tuan. Jadi saya berencana mencari tempat-tempat indah di sekitar sini.” jelas Adam.
“Jadi begitu. Mungkin aku bisa mengantarmu ke tempat kepala desa besok pagi, sekaligus melaporkan kedatanganmu ke desa kami sebagai pengunjung. Untuk saat ini kau bisa menginap di rumahku karena hari sudah menjelang malam. Masih ada satu kamar yang tersisa di rumah kami. Sebetulnya kamar itu milik anak lelaki kami. Tapi saat ini dia masih tidur bersamaku dan istriku karena dia masih kecil. Kau bisa memakai kamar itu untuk malam ini.” tawar pria paruh baya. Sontak saja raut wajah Adam menjadi sumringah lega.
“Oh apa tidak apa-apa Tuan? Terima kasih atas bantuannya. Tapi saya lihat, bukankah penduduk desa di sini cukup tertutup, Tuan? Hari masih belum pukul 7 malam dan semua pintu sudah tertutup dengan rapat. Apa mereka semua terbiasa tidur lebih awal?” tanya Adam dengan lebih santai. Mencoba mengakrabkan diri dengan tuan rumah. Namun ternyata pertanyaan Adam justru menimbulkan keheranan di hati keluarga tersebut.
“Apa maksudmu? Kau datang di saat hari menjelang tengah malam. Tentu saja itu hal yang wajar jika penduduk setempat sudah jatuh tertidur saat ini. Apa kau tahu jam berapa sekarang? Ini sudah jam setengah 11 malam nak Adam.”
Adam mengernyit heran mendengar jawaban pria paruh baya itu. Pria itu segera melirik jam yang ada di tangannya, yang masih baru menunjukkan pukul 7 malam. Adam sendiri merasa itu hal yang wajar karena pria itu merasa baru beberapa saat yang lalu dirinya keluar dari pekarangan rumah Imelda di saat hari masih menjelang petang. Rasanya tidak mungkin jika pria paruh baya itu mengatakan waktu sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam. Bukankah itu cukup keterlaluan?
“Tapi jam tangan saya masih menunjuk angka 7 tuan. Dan saya juga yakin beberapa saat yang lalu saya masih melakukan perjalanan di sore hari. Bahkan hari masih cukup terang sampai saya tiba di tempat ini.” balas Adam dengan wajah bingung.
Kini ganti pria paruh baya itu yang mengernyit heran mendengar penjelasan dari Adam. Begitu juga dengan istrinya. “Mungkin jam tanganmu rusak Nak. Atau kau tidak menyadari bahwa hari telah cepat berlalu dalam perjalanan ke sini. Itu bisa saja terjadi bukan?” jawab pria paruh baya itu kemudian.
Adam tertegun mendengar hal itu. Jam tangannya adalah jam tangan mahal yang baru saja dibelinya. Apa mungkin jam tangannya telah rusak? Adam melirik ke arah jam tangan itu yang masih berjalan seperti biasanya. Hanya saja jarum jam menunjukkan angka yang salah.
Ditambah pria itu benar-benar merasa hanya melakukan perjalanan singkat dari rumah Imelda ke tempat ini. Seperti hanya terasa beberapa menit saja, namun dirinya tidak menyangka ternyata itu membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai ke tempat ini.
“Nak Adam, apa kau tidak apa-apa?” tanya pria paruh baya itu yang langsung menyadarkan Adam dari lamunannya kembali.
“Ah saya tidak apa-apa Tuan. Memang sepertinya jam tangan saya yang rusak. Nanti akan saya perbaiki ulang.” jawab Adam sembari melempar senyum tipisnya ke arah keluarga kecil itu. Pria paruh baya itu juga ikut tersenyum lega ke arahnya.
“Baiklah kalau begitu. Namaku Bije. Dan ini istriku Lauren, juga kedua putra dan putriku, Louis dan Lisa.” ucap pria itu memperkenalkan keluarganya kepada Adam.
Wanita paru baya itu melempar senyum ramah ke arah Adam pada akhirnya. Dan kedua anak-anak mereka juga memandang Adam denga mata bulat penuh rasa penasaran. Adam tersenyum simpul ke arah mereka bertiga.
“Salam kenal. Maaf telah merepotkan kalian malam-malam seperti ini. Saya hampir saja tersesat tadi. Saya sempat berpikir bahwa saya harus melakukan perjalanan pulang ke kota lagi, jika pada akhirnya tidak menemukan tempat ini tadi.”
“Itu akan menjadi sangat berbahaya nak Adam. Tempat ini dikelilingi oleh hutan besar. Akan sangat berbahaya jika harus melakukan perjalanan di malam hari seperti itu. Tidak ada yang bisa menduga apa yang akan terjadi dalam perjalanan nanti.”
“Anda benar tuan Bije. Karena itu, saya merasa sangat bersyukur bisa menemukan tempat ini. Kalau boleh tahu, apa tempat ini banyak dihuni pencuri atau semacamnya? Saya lihat anda begitu waspada sekali dengan orang asing.”