Bab 14 Fakta Yang Menyakitkan

2327 Words
Janice berdiri dengan kaku di hadapan Callista yang datang bersama dengan Nadira, ibunya Julian. Janice buru-buru menyambut mereka dan meminta seorang pelayan untuk menyajikan minuman dan makanan ringan. “Aku akan naik ke kamarku.” Callista bangkit berdiri dan meninggalkan Janice yang tenganga menatapnya menaiki tangga menuju ke lantai dua. Seingat Janice, tidak sembarang orang yang diizinkan naik ke sana. Namun melihat Callista yang tampak santai membuat Janice berpikir jika kakaknya itu pasti sudah sering datang berkunjung, bahkan mungkin juga sering menginap di kamar Julian. Pemikiran itu membuat Janice merasa murung seketika. “Aku sudah meminta pelayan untuk menghubungi Julian. Mungkin dia akan datang sebentar lagi.” Janice menatap ibu mertuanya dengan takut-takut. Diantara semua orang yang menentang pernikahan Janice dan Julian, hanya ada dua orang yang memberikan dukungan, yaitu ayahnya dan ibu mertuanya. Janice tidak mengerti kenapa wanita itu bisa memberikan restu mengingat jika sejak lima tahun yang lalu dia adalah salah satu orang yang paling gencar memberikan pembalasan kepada Janice. Namun Janice tidak ingin berburuk sangka, oleh sebab itu ia mencoba untuk bersikap akrab dengan ibu mertuanya. Sekalipun wanita itu memberikan restu, bukan berarti mereka adalah menantu dan mertua yang akrab. Bahkan mungkin baru kali ini Janice duduk berdekatan dengannya dan mengobrol secara langsung. “Tidak perlu menghubungi Julian, aku juga tidak ingin melihat anak itu.” Nadira mendengus kesal lalu menatap Janice dengan sinis. Janice sempat terkejut, tapi ia kembali menguasai raut wajahnya dengan cepat. “Lagipula tujuanku datang ke sini adalah untuk menemuimu.” Wanita itu tersenyum masam. Janice mengangkat pandangannya dan ikut tersenyum kikuk. Untuk sesaat ia memang merasa tersanjung karena ibu mertuanya mau repot-repot datang dari kota untuk menemui Janice. Namun tentu saja rasa senang Janice tidak berlangsung lama karena wanita itu kembali mengatakan kalimat tajam yang menusuk hatinya. “Karena aku ingin melihat wajah seorang pembunuh yang telah menghancurkan hidup semua orang.” Janice menggigit bibir bawahnya, ia berusaha keras untuk tidak menangis. Kadang Janice merasa sebal dengan sifat cengengnya yang selalu saja kambuh disaat yang sangat tidak tepat. “Tampaknya kau menikmati pernikahanmu, ya? Apakah kau senang menjadi istri Julian? Dia pria lemah yang menjijikkan, persis seperti ibu kandungnya.” Nadira mendengus kesal. “Tapi setidaknya dia masih berguna untukku.” Janice terisap, ia jelas tidak salah dengar, bukan? Namun Janice tidak ingin terlalu fokus pada satu titik saja sebab arti dari seluruh kalimat yang diajukan wanita itu membuat Janice sadar jika bukan hanya Julian saja yang ingin membalaskan dendam kepadanya. “Pelayan juga akan membawakan kue. Aku akan memeriksa mereka sebentar..” Janice mencoba untuk bangkit berdiri, tapi tangannya ditahan dengan kasar sehingga Janice terpaksa menghentikan langkahnya. “Kau tahu apa yang sedang dilakukan oleh Julian?” Janice mengangguk dengan pelan. Janice tahu, ia tahu segalanya tapi tetap memilih untuk masuk ke dalam perangkap yang sengaja Julian berikan karena Janice merasa bersalah kepada pria itu. “Kurang dari satu tahun lagi, aku akan melihat keluargamu hidup di jalanan sebagai gelandangan miskin yang menjijikkan. Aku tidak percaya jika Julian berhasil membalik posisi hanya dalam jangka waktu lima tahun.” Janice mengernyitkan dahi, ekspresinya berubah kaku ketika mendengarkan penjelasan tersebut. Tidak… Julian tidak sedang berusaha untuk menghancurkan keluarganya, bukan? “Mama… Aku tidak mengerti apa yang—” “Kau memang sangat naif.” Wanita itu terkekeh pelan sehingga membuat Janice semakin cemas. Janice bersedia menanggung kesalahannya, tapi dia tidak bisa membiarkan orang tuanya hidup menderita. “Aku mohon jangan melakukan sesuatu kepada orang tuaku.” Kini Janice tidak berhasil menahan laju air matanya. Biarlah ia menangis, Janice tidak peduli lagi dengan wajahnya yang terlihat menyedihkan. “Kau pikir kami akan diam saja setelah apa yang kalian lakukan lima tahun lalu?” Wanita itu berbisik dengan rendah sehingga membuat Janice semakin ketakutan. “Aku yang bersalah, jadi jangan melibatkan orang tuaku. Aku mohon..” Janice menyatukan kedua tangannya seolah ia sedang membuat gerakan memohon. “Hanya Callista satu-satunya anggota keluarga kalian yang pandai membaca situasi. Ia bukan orang munafik dan naif sepertimu. Dia memilih untuk berpihak pada orang yang tepat sehingga aku memutuskan untuk menyelamatkannya. Tapi bagi orang sepertimu…” Wanita itu menendang tulang kering Janice sehingga ia menjerit dan menangis kesakitan. Beberapa pelayan langsung datang mendekat ketika mendengar jeritan Janice, tapi Nadira mengangkat sebelah tangannya seolah meminta mereka untuk berhenti. Dan tentu saja para pelayan langsung berhenti mendekat seperti yang diperintahkan oleh wanita itu. “Tidak ada ampun bagimu, Janice.” Bisiknya dengan tenang. Ia menarik rambut Janice dengan kasar lalu menghempaskannya begitu saja. Di ujung tangga, Janice menemukan Callista yang sedang menonton dengan tenang. Kakaknya itu tampak tidak peduli, bahkan cenderung antusias ketika melihat Janice disiksa. Benar, tidak ada yang bisa Janice harapkan dari wanita itu sebab sejak dulu mereka memang tidak saling peduli satu sama lain. Namun entah kenapa kali ini Janice benar-benar berharap kakaknya datang mendekat dan menyelamatkannya seperti yang seharusnya dilakukan oleh saudara pada umumnya. *** “Kalian datang tanpa menghubungiku?” Julian melangkahkan kakinya dengan kaku. Sekalipun Janice tahu jika kepulangan Julian tidak akan berdampak apapun kepadanya mengingat tiga orang itu memang paling gencar berusaha menyakitinya, entah kenapa Janice merasa sedikit lega ketika melihat pria itu berjalan mendekat. Janice sampai menghela napas dengan cukup keras sehingga menarik perhatian Callista yang sekarang sedang menatapnya dengan tajam. “Apakah perlu izin darimu untuk menemui istrimu?” Nadira bertanya dengan sinis. Julian duduk di samping Janice sehingga membuatnya ternganga karena mengira pria itu akan lebih memilih untuk duduk di samping Callista. Bukankah memang lebih masuk akal jika Julian duduk di samping Callista? “Bukan tentang Janice, tapi tentang rumahku.” Julian menjawab dengan tegas. Janice sampai mengernyitkan dahinya dengan sedikit kebingungan. Selama ini Janice tidak pernah tahu bagaimana keadaan keluarga Julian, selain fakta bahwa pria itu dibesarkan oleh seorang single mother karena ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. “Julian, kami hanya sedang berkunjung. Kenapa kau bersikap berlebihan?” Callista memberenggut dengan kesal lalu bangkit berdiri untuk menarik Julian agar duduk di sampingnya. Kini kursi di sisi kanan Janice kembali kosong. Janice mengangkat kepalanya lalu melirik Julian sekilas. Tampaknya pria itu juga sedang menatapnya dengan intens, seakan sedang memeriksa keadaan Janice dari atas hingga bawah. Kepala Janice kembali tertunduk, tidak bisa menatap Julian terlalu lama. Ia berharap siatuasi menegangan ini akan segera berakhir. Sebab hanya berhadapan dengan Julian saja sudah membuat Janice kewalahan, apalagi jika dia harus berhadapan dengan tiga orang yang sama-sama memiliki ambisi untuk menghancurkannya. *** “Apakah terasa sangat sakit?” Janice menoleh dan menatap Ezra yang duduk di sudut meja rias kamarnya. Sejak beberapa menit yang lalu Janice sibuk mengoleskan minyak ke kakinya yang terlihat memar. Tulang keringnya membiru, menimbulkan rasa sakit jika disentuh. “Tidak terlalu.” Janice meringis pelan ketika tangannya tidak sengaja memegang bagian yang memar. “Apakah mereka sering menyakitimu secara fisik?” Tanya Ezra. Janice mengernyitkan dahi, “Kenapa kau ingin tahu?” Tanyanya. Ezra melongo lalu mendengus dengan kesal. “Ya sudah kalau tidak mau memberi tahu.” Pria itu merajuk? Oh astaga, Janice tidak mengira jika satu-satunya teman yang ia miliki adalah seorang malaikat pendamping yang suka bertingkah aneh dan merajuk karena hal-hal tidak jelas. “Selama lima tahun ini, mereka memang sangat jarang menemuiku. Tapi aku sering mendapatkan banyak kesulitan yang…” Janice merasa ragu. “Yang mungkin sengaja disebabkan oleh mereka.” Berulang kali Janice berusaha untuk berpikir positif, tapi pada kenyataannya Janice selalu tahu siapa yang sering mendatangkan masalah di dalam hidupnya. Mulai dari perampokan yang ia alami di depan apartemennya sendiri, kegagalan demi kegagalan yang Janice alami dengan alasan yang sama, lalu yang terakhir adalah insiden pelemparan batu oleh oknum tidak bertanggung jawab hingga membuat toko bunganya rusak parah. “Sepertinya mereka sangat membencimu.” Komentar Ezra. Janice mengendikkan bahunya. “Memang seperti itulah.” Ezra meliriknya sekilas lalu kembali membuang muka. Janice teringat pada cerita Ezra beberapa hari yang lalu. “Ezra, apakah kau tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Julian?” Kalimat Janice merujuk pada saat ibunya Julian menyebut pria itu sebagai orang yang lemah seperti ibu kandungnya. Janice masih kebingungan untuk memahami arti kalimat itu. “Tentu saja aku tahu.” Janice menatapnya dengan antusias. “Kau juga ingin tahu?” Tanya Ezra. Janice mengangguk. “Tapi aku tidak ingin mengetahui semuanya darimu.” “Kenapa?” “Entahlah, kurasa sebaiknya aku memang tidak mengetahui hal-hal yang tidak perlu aku ketahui.” Janice bangkit berdiri dan berjalan dengan susah payah untuk menyimpan minyak urut di dalam nakas. Entah kenapa Janice kesulitan berjalan padahal kakinya hanya ditendang dan tidak mendapatkan luka yang begitu parah. Janice ingat jika kurang dari 24 jam sejak dia sadar dari kecelakaan, ia langsung bisa berjalan dengan lancar sekalipun Julian masih memaksanya untuk menggunakan kursi roda. “Ngomong-ngomong, kenapa sekarang aku bisa merasa sakit? Seingatku tubuhku kebal dari rasa sakit setelah bangun dari kecelakaan.” Janice menatap Ezra dengan kebingungan. Pria itu meringis lalu tampak menimbang-nimbang apakah dia akan menjawab atau tidak. “Kau sungguh ingin mendengar penjelasannya?” Janice mengangguk dengan yakin. “Tubuhmu menerima rasa sakit yang sangat besar ketika kecalakaan itu terjadi. Karena itulah kau…. Meninggal.” Ezra memberikan jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan. “Jika Dewa tidak mengambil rasa sakitmu, maka kau tidak akan bisa bertahan. Manusia memiliki batas rasa sakit, jika sakit yang diterima melebihi batas toleransi, maka manusia akan mati.” Ezra menghembuskan napas dengan pelan. Janice kembali menganggukkan kepalanya. Sekarang ia tahu kenapa saat sadar dari kecelakaan, semua dokter dan suster menatapnya dengan kebingungan. Begitu juga dengan Julian yang memaksanya menggunan kursi roda. Sepertinya keadaan Janice membuat merasa merasa kebingungan. “Kau tampak pasrah dengan hidupmu dan membiarkan mereka menyiksamu. Memangnya kau ingin menjalani hidup yang menyedihkan selamanya?” Tanya Ezra sambil menatapnya. Janice kembali duduk di sudut ranjangnya, ia menyingkirkan selimut yang hampir menyentuh kakinya yang memar. “Aku tidak akan hidup selamanya. Waktuku hanya tinggal hitungan hari.” Janice terkikik pelan, tapi siapapun pasti tahu jika ia menyimpan kesedihan di dalam suaranya. “Kita sedang berandai-andai. Aku ingin kau membayangkan bagaimana jadinya jika kau hidup lebih lama.” Ezra memberenggut dengan kesal. Janice mengetukkan jari ke pelipisnya. “Berandai-andai, ya?” Ezra mengangguk lalu kembali bertanya. “Apakah kau benar-benar akan menyerah? Kau akan menerima semuanya dan hidup menyedihkan seperti ini?” Janice semakin murung. Apakah dia memang terlihat menyedihkan? Selama ini Janice pandai menyimpan luka, ia berusaha tegas sekalipun hatinya hancur berkeping-keping. Janice kehilangan segalanya, bahkan orang tuanya sendiri menjaga jarak darinya seakan tidak ingin berurusan dengan Janice lagi. Ayahnya memang masih sering menghubunginya, tapi pria itu juga tidak sama seperti dulu. Ada sebuah jurang besar yang membuat keluarganya terpisah, dan Janice adalah penyebab munculnya jurang tersebut. Ia mengacaukan segalanya… bukan hanya hidupnya sendiri, tapi juga hidup semua orang yang ada di sekitarnya. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggungmu.” Ezra mendekatinya, tampak menyesal karena telah mengajukan pertanyaan frontal kepada Janice. Tidak ingin membuat Ezra merasa tidak nyaman, Janice segera tersenyum singkat dan menunjukkan jika ia baik-baik saja. “Jangan khawatir, aku sudah terbiasa.” Katanya. “Kau tahu kenapa aku sering mendatangimu?” Tanya Ezra tiba-tiba. Janice mengangkat pandangannya, ia tidak mengerti maksud dari pertanyaan Ezra namun memutuskan untuk tetap merespon dengan seadanya. “Kenapa?” “Karena aku merasa prihatin kepadamu.” Janice tertegun sesaat. Berulang kali ia menanyakan hal yang sama di kepalanya. Apakah Janice memang sangat menyedihkan? “Jadi kau jarang menemui klienmu yang lain?” Tanya Janice, ia mencoba untuk mengalihkan perhatian dari tatapan Ezra yang benar-benar menunjukkan rasa prihatin pria itu. “Aku hanya akan menemui mereka di hari pertama dan terakhir saat aku menjemput dan mengucapkan selamat. Kau yang paling sering kutemui.” Ezra menggerutu dengan pelan. Janice merasa terharu, ternyata Ezra memperhatikan penderitaannya selama ini. Keberadaan pria itu memang tidak banyak membantu, tapi setidaknya Janice memiliki teman bicara mengingat jika ia selalu kesepian karena Julian tidak mengizinkannya keluar dari rumah. Bahkan pria itu melarangnya datang ke toko bunga padahal hanya tempat itu saja yang bisa menerima tanpa pernah menghakimi masa lalunya. “Aku jadi senang karena kau mau repot-repot menjadi temanku di hari-hari terakhirku.” Kata Janice sambil tersenyum. Ezra menatapnya dengna horor seolah kalimat Janice merupakan kalimat paling tidak masuk akal yang pernah ia dengar seumur hidupnya. “Sudah kukatakan jika aku bukan temanmu!” Janice tertawa pelan, namun akhirnya ia hanya menganggukkan kepala karena sudah malas berdebat dengan Ezra. “Kuharap aku akan memiliki teman di sisa hidupku.” Janice bergumam. Ezra menolehkan kepalanya. “Memangnya selama ini kau tidak memiliki teman?” “Ada. Tapi sekarang mereka sudah tidak berteman denganku.” “Biar kutebak!” Ezra menjentikkan jarinya. “Mereka meninggalkanmu karena tidak tahan dengan mulutmu yang cerewet. Benar, bukan?” Tanyanya dengan percaya diri. Janice tertawa pelan. “Tentu saja tidak! Aku adalah wanita lemah lembut yang tidak terlalu banyak bicara.” Janice membusungkan d**a lalu membuat gerakan seolah sedang membanggakan dirinya sendiir. “Omong kosong! Selama mengenalmu aku tidak pernah melihatmu diam. Kau selalu cerewet dan membicarakan banyak hal tidak penting denganku.” Janice mengernyit sejenak. Jika dipikir-pikir, ia memang sering membicarakan hal tidak penting dengan Ezra padahal mereka baru saling mengenal sejak empat hari lalu. Bagi Janice yang tidak terlalu mudah akrab dengan orang lain, ini merupakan pencapaian besar yang cukup mengejutkan. “Kurasa aku berubah karena akan segera meninggal.” Ia bertopang dagu dan menatap dengan murung. “Aku akan pergi..” Kata Ezra sambil berjalan meninggalkannya. Janice menatap pria itu dengan kebingungan. Sedetik kemudian Ezra benar-benar lenyap dari pandangannya. Pria itu pergi begitu saja padahal Janice masih ingin membicarakan banyak hal dengannya. Untuk sesaat Janice hanya diam sambil menghembuskan napasnya. Lalu ia meraih buku catatan yang ada di atas nakas dan mulai menuliskan sederet pengakuan panjang tentang kejadian di masa lalu. Satu kebohongan yang sering membuat Janice merasa menyesal. Kebohongan keempat: Aku masih ingat saat Jacob bertanya tentang perasaanku kepada Julian bertahun-tahun yang lalu. Aku mengatakan jika aku menyayangi Julian sebagai kakak laki-lakiku yang sangat baik. Aku berbohong, aku tidak ingin memiliki kakak lagi. Aku menyayanginya sebagai Julian. Bukan, aku mencintainya sejak usiaku masih sangat muda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD