Hari kelima…
“Ayahmu ingin berbicara.” Julian mengulurkan ponsel miliknya kepada Janice saat mereka sedang duduk di meja makan.
Janice menatap ponsel itu dengan kernyitan yang mendalam. Kenapa ayahnya tidak langsung menghubunginya saja?
“Aku tidak menceritakan tentang kecelakaanmu, jadi bersikaplah biasa saja. Jangan menceritakan apapun yang berpotensi membuatku marah.” Julian memberi peringatan sebelum Janice meraih ponsel tersebut.
“Aku mengerti.” Jawab Janice sambil mengangguk pelan.
Setelah itu Julian benar-benar memberikan ponselnya dan membiarkan Janice berbicara dengan ayahnya untuk yang petrama kalinya setelah ia menikah.
“Ya, Papa?” Janice tersenyum, berusaha untuk menahan pekikan antusias ketika mendengarkan suara pria itu.
Setelah apa yang ia alami, Janice merasa emosional ketika kembali berbicara dengan ayahnya.
“Janice, kemana saja kau? Papa berusaha menghubungimu sejak beberapa hari yang lalu, tapi ponselmu tidak aktif. Apakah benar kau kehilangan ponsel?”
Janice mengernyit. Ponselnya… hilang?
Oh, bahkan Janice baru sadar jika ia tidak melihat ponselnya sejak lima hari belakangan ini.
Ngomong-ngomong, dimana benda itu? Kenapa Janice bisa melupakannya padahal selama ini ia sangat kesepian sehingga hampir mati karena bosan. Bermain ponsel merupakan salah satu cara untuk menghabiskan waktu, tapi Janice justru melupakan benda itu di saat-saat paling jenuh di dalam hidupnya.
“Ponselmu hilang..” Jelas Julian dengan pelan, pria itu hampir berbisik untuk memastikan jika suaranya tidak terdengar disambungan telepon.
Janice mengangguk pelan. “Ponselku memang hilang. Aku masih mencoba untuk mencarinya.”
“Untuk apa mencari benda yang sudah hilang? Kau bisa membeli yang baru, bukan?”
Julian mengeluarkan kotak ponsel dari dalam tas kerjanya. Ia memberikan kotak itu kepada Janice seakan tahu apa yang baru saja dikatakan oleh ayahnya.
Janice menatap Julian dengan takjub. Bagaimana mungkin Julian tahu bahwa Janice kehilangan ponsel padahal Janice sendiri tidak sadar jika ponselnya menghilang? Bahkan pria itu sudah membelikan ponsel baru untuknya.
“Janice?”
Suara ayahnya kembali terdengar sehingga membuat Janice berhenti memikirkan Julian dan semua rasa takjubnya kepada pria itu.
“Oh, ya.. Papa. Julian sudah membelikan ponsel yang baru. Nanti aku akan segera menghubungi Papa setelah melakukan aktivasi kartu.”
“Syukurlah jika kau hidup dengan nyaman bersama dengan Julian.” Terdengar nada sendu di dalam suara pria itu sehingga membuat mata Janice kembali berkaca-kaca.
Selama ini ayahnya memang terlihat sangat sibuk mengurusi pekerjaan hingga sering melupakan waktu untuk keluarganya. Namun di balik kesibukan yang ia jalani, Janice tahu jika ayahnya selalu memperhatikan kedua putrinya. Pria itu selalu memastikan kebahagiaan dan kenyamanan Janice meskipun ia telah memutuskan untuk tinggal terpisah dari orang tuanya sejak dua tahun yang lalu.
Saat usianya menginjak 22 tahun, Janice memutuskan untuk membuka toko bunga di pusat kota, dia juga membeli unit apartemen dengan uang tabungannya sendiri. Berbekal sisa uang yang ia miliki dan keuntungan dari toko bunga yang tidak terlalu besar di awal pembukaan, Janice bisa bertahan hidup, bahkan mampu membayar beberapa karyawan yang membantunya.
Sekarang ia berusia 24 tahun dan dia sudah menikah. Jarak usianya dengan Julian sekitar 6 tahun, tapi pria itu memiliki penampilan yang serius sehingga membuatnya tampak lebih tua dari usianya yang sebenarnya. Namun Janice tidak pernah mempermasalahkan usia ataupun penampilan seseorang. Janice merasa senang karena ia menikah dengan pria itu, terlepas dari tujuan Julian yang hanya ingin membalaskan dendamnya.
Perasaan yang selama bertahun-tahun Janice pendam dan berusaha padamkan kini mulai mendapatkan titik terang. Janice masih memiliki secerca harapan saat pertama kali mendengarkan pinangan Julian, tapi semua harapan itu hilang tak bersisa setelah ia mendapati fakta menyakitkan bahwa hidupnya hanya tersisa beberapa hari lagi.
“Papa berharap kau selalu bahagia, nak.” Suara ayahnya kembali terdengar.
Janice mengusap air matanya dengan pelan lalu segera menganggukkan kepala. “Aku sangat bahagia, Papa. Rumah Julian sangat luas, lebih luas dari rumah kita. Di sini aku memiliki kamar yang indah, juga halaman yang mungkin akan segera kupenuhi dengan berbagai tanaman. Papa tidak perlu khawatir..” Janice menghembuskan napasnya dengan pelan lalu melirik Julian yang tampaknya sejak tadi memperhatikan Janice secara terang-terangan. “Aku… aku sangat menikmati kehidupan baruku.” Lanjutnya dengan susah payah.
“Baiklah, Janice. Papa merasa lega setelah mendengarkan kabarmu. Lain kali kau harus lebih sering menghubungi Papa. Sekarang Papa sudah tua, tidak sesibuk dulu lagi. Papa memiliki banyak waktu luang untuk berbicara denganmu. Sekalipun terlambat, setidaknya Papa menyadari jika selama ini terlalu sering mengabaikan kalian..” Lagi-lagi kalimat ayahnya berhasil membobol benteng pertahanan Janice. Tangisannya mulai pecah, tapi ia berusaha untuk menahan isakan.
“Papa tidak pernah mengabaikanku.”
“Ya, Papa pernah. Dan sekarang Papa merasa sangat menyesal.” Papa terlihat sangat kesakitan ketika mengungkapkan penyesalannya.
Janice terdiam dalam waktu yang cukup lama. Ia juga tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkan pria itu sementara hatinya sendiri juga sedang kacau.
“Setidaknya Papa lega karena sekarang kau sudah memiliki Julian. Dia pasti akan menjagamu dan memastikan kebahagiaanmu.”
Janice tersenyum. “Ya, dia sangat baik kepadaku.”
“Baiklah, sekarang berikan ponselnya kepada Julian. Papa ingin berbicara dengannya juga.”
Janice menatap ponsel itu dengan ragu lalu mengembalikannya kepada Julian.
“Papa ingin berbicara denganmu.”
Julian menerima ponselnya lalu meletakkan benda itu ke dekat telinganya. Ia menanggapi setiap kalimat yang dikatakan oleh ayahnya Janice dengan sangat tenang padahal ekspresinya menggambarkan dengan jelas jika ia merasa enggan.
Janice buru-buru mengalihkan tatapannya dari Julian ketika pria itu selesai berbicara. Julian segera menutup ponselnya lalu menyimpannya di dalam saku celana.
“Itu ponsel milikmu.” Kata Julian sambil memotong roti bakar yang dibuat oleh pelayan.
Janice menatap pria itu dengan sendu. Masih teringat dengan jelas insiden kemarin pagi saat Julian menolak masakannya dengan berbagai alasan yang menyakitkan.
Janice tidak ingin merasa sakit hati karena ia tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan hal-hal semacam itu, namun pada akhirnya Janice tetap mersa sedih karena melihat Julian jauh lebih memilih masakan pelayan dibandingkan masakannya.
“Terima kasih.” Janice menjawab dengan susah payah.
Julian menaikkan sebelah alisnya lalu mengernyit sesaat. Tapi akhirnya dia mengabaikan Janice dan kembali melanjutkan sarapannya dengan tenang.
Dua orang pelayan wanita berdiri di samping Julian, mereka segera mengisi piring pria itu dengan segala jenis makanan yang diinginkannya. Janice memperhatikan Julian dengan seksama, melihat bagaimana caranya memotong roti, mengunyah, bahkan sorot matanya saat menelan makanan. Juga saat Julian kembali menyesap anggur miliknya. Oh bukan, pagi ini Julian tidak meminum anggur melainkan sampanye.
Janice kembali mengernyitkan dahi ketika menyadari kebodohannya. Sampanye juga minuman yang berasal dari fermentasi anggur. Cairannya memang berwarna bening kekuningan, tapi sebenarnya kandungan utama dari minuman tersebut adalah angur. Hanya sedikit berbeda dari anggur murni yang kemarin menjadi teman makan Julian.
“Hanya ada nomorku di ponsel itu. Kau bisa menambahkan nomor ayahmu, tapi kau tidak bisa menyimpan nomor lain.” Jelas Julian dengan tenang.
Janice membuka kotak ponsel yang Julian berikan.
Sekalipun memiliki model yang sangat berbeda dari ponsel lamanya, Janice tidak banyak memprotes dan langsung menerima benda itu. Namun.. Janice jadi bertanya-tanya mengapa sebuah ponsel baru yang cukup populer tersebut hanya bisa menyimpan dua nomor ponsel.
“Kau tidak boleh menyimpan ataupun menghubungi orang lain.” Julian kembali berbicara sebelum Janice sempat bertanya.
“Kenapa?” Janice tampak kebingungan.
“Karena kau memang tidak boleh menghubungi orang lain.” Julian bergumam dengan rendah. Pria itu menatapnya dengan tajam sehingga membuat nyali Janice ciut seketika. “Aku sedikit kasihan kepadamu, oleh sebab itu kau boleh menyimpan nomor ponsel ayahmu. Bukankah hanya dia satu-satunya orang yang masih menghubungimu?”
Janice merapatkan bibirnya, ia menatap Julian sekilas sebelum kembali menundukkan kepala. “Iya, hanya dia yang menghubungiku.” Jawaban Janice terdengar sangat menyedihkan, tapi memang begitulah kenyataannya.
“Jika aku tahu kau mencoba menghubungi orang lain, entah temanmu atau siapapun itu.. maka kau akan tahu akibatnya.” Julian kembali memberikan peringatan.
Bahkan Janice tidak memiliki satupun teman. Justru Janice membutuhkan ponsel itu untuk menghubungi toko bunganya dan memeriksa bagaimana keadaan toko itu setelah ia tinggalkan selama berhari-hari.
“Bolehkah aku menghubungi toko bungaku? Semua orang pasti mencariku karena aku menghilang begitu saja.”
“Bukankah sudah kukatakan untuk menutup tempat itu?”
Janice menggigit bibir bawahanya. Bagaimana mungkin ia menutup toko bunga sementara ada lima orang karyawan yang menggantungkan hidup mereka dari gaji yang Janice berikan?
Sejujurnya Janice tidak keberatan jika hanya ia yang dirugikan, tapi Janice tidak tega jika harus membuat para karyawannya ikut terlibat dalam masalah yang ia miliki.
“Tolong biarkan toko bungaku tetap beroperasi, Julian.” Janice menatap pria itu dengan penuh permohonan.
Julian melemparkan garpu dan pisau potongnya sehingga menimbulkan bunyi dentingan yang cukup nyaring.
Janice terkejut, tapi ia berusaha untuk menahan ekspresinya.
“Kau lupa apa peraturan pernikahan kita?” Tanya Julian dengan serius.
“Hanya toko bunga saja…” Janice masih tetap berusaha untuk mempertahankan permohonannya.
Julian tersenyum sinis lalu bergumam rendah. “Kau pikir siapa dirimu, Janice?”
Para pelayan melangkahkan kakinya meninggalkan meja makan setelah mendapatkan kode dari gerakan tangan Julian yang seakan sengaja mengusir mereka. Kini hanya ada Julian dan Janice yang duduk berseberangan di sudut terjauh bagaikan dua orang yang sedang saling bermusuhan.
Janice memejamkan mata, kembali merasa sesak setiap kali eksistensinya dipertanyakan oleh Julian.
“Aku melakukan semua yang kau katakan.. jadi kumohon, biarkan toko itu tetap beroperasi, lagipula….” Janice menjeda kalimatnya.
“Aku akan segera meninggal.” Lanjut Janice dalam hatinya.
“Lagipula?” Julian mendesaknya.
Janice menelan ludah dengan susah payah ketika menyadari jika ia hampir saja salah berbicara.
“Lagipula…. Toko itu tidak akan mempengaruhi dirimu.”
“Oh ya?” Julian masih tetap mempertahankan tatapan sinisnya.
Janice bergeming, ia tidak sanggup mengatakan apapun karena terlalu larut di dalam netra gelap milik Julian yang menyimpan kekelaman pria itu. Julian memang berusaha keras untuk menutupi kepedihannya, tapi bagaikan kaca tembus pandang yang membuat semua orang bisa melihat ke dalam dirinya, mata Julian menjelaskan jika pria itu menderita. Sangat menderita.
Dan fakta itu membuat Janice tertampar untuk yang kesekian kalinya.
“Kau ingat siapa orang pertama yang mengajarimu tentang makna setangkai bunga?”
Janice mengangguk pelan.
“Kini orang itu menyesali setiap hal yang pernah ia katakan kepadamu.”
Janice menatap Julian dengan nanar. Kalimat Julian menegaskan jika pria itu menysal karena pernah berhubungan dengannya di masa lalu.
“Maafkan aku..” Janice menundukkan kepala dalam-dalam.
“Jadi berhentilah membuatku semakin tersiksa dan lakukan saja apa yang aku katakan.” Julian kembali berbicara.
Janice hampir menganggukkan kepalanya, tapi seketika ia ingat pada karyawannya yang pasti akan kebingungan jika mendengar bahwa toko bunga mereka ditutup secara tiba-tiba. Lalu Janice juga mengingat betapa baik bibi Alisha yang sudah menemaninya selama dua tahun ini dan memperhatikannya bagaikan memperhatikan anak sendiri.
“Ini bukan tentangku, Julian. Tapi tentang karyawanku yang pasti akan kesulitan jika toko itu ditutup.” Janice menarik napas, bibirnya terasa kelu setiap kali berusaha berdebat dengan Julian. “Setidaknya…. Setidaknya biarkan toko itu beroperasi selama satu bulan saja. Aku akan memberitahu mereka untuk mulai mencari pekerjaan baru. Setelah itu aku akan menutupnya sesuai dengan keinginanmu.” Kalimat terakhir Janice ia katakan dengan penuh kepedihan.
Setelah semua mimpi dan cita-citanya hancur, Janice mendapati fakta jika dia masih bisa bertahan hidup berbekal pengetahuan yang pernah Julian berikan kepadanya. Namun sekarang pria itu juga menghancurkan satu-satunya hal yang masih Janice miliki.
Janice tidak keberatan… sungguh, ia tidak keberatan. Hanya saja Janice merasa semakin bersalah seandainya ia membuat orang lain ikut kesusahan karena kesalahan yang pernah ia perbuat di masa lalu.
“Bahkan kau tidak bisa menjamin kehidupanmu sendiri, Janice. Lalu kenapa masih ingin sok baik kepada orang lain?” Julian terkekeh pelan.
Pria itu mengusap bibirnya dengan tenang lalu mendorong piring makannya. Ia menyesap sampanye lalu kembali menatap lurus ke arah Janice yang juga sedang menatapnya dengan penuh harap.
“Kau tahu kenapa aku buru-buru pulang setelah mendengar bahwa Callista datang ke sini bersama dengan ibuku?” Tanya pria itu dengan tenang.
Janice hanya meminta pelayan untuk menghubungi Julian sementara ia sibuk menyambut Callista dan ibu mertuanya, tidak Janice sangka Julian akan tiba dengan cepat. Bahkan lebih cepat dari dugaannya.
“Karena aku tidak ingin melihatmu terbunuh di tangan mereka.”
Janice terisap. Kalimat tersebut menunjukkan jika Julian tahu apa saja yang Janice terima dari ibu pria itu.
“Mereka ingin melihatmu mati karena mereka pikir hanya itu satu-satunya hukuman yang setimpal untukmu.” Julian membicarakan kematian dengan sangat tenang seakan nyawa seseorang bukanlah hal yang serius. Tapi mengingat apa yang terjadi di masa lalu, sepertinya wajar jika semua orang menginginkan kematian Janice. “Tapi aku jelas tidak sebaik mereka sehingga rela membiarkanmu mati begitu saja. Kau harus merasakan penderitaan yang aku tanggung selama lima tahun ini, Janice. Kau harus menderita hingga memohon kematian dariku.” Mata Julian tampak berkaca-kaca. Tentu saja bukan karena ia membicarakan tentang penderitaan Janice, melainkan saat ia kembali mengingat betapa dalam luka yang ia terima selama lima tahun terakhir.
Janice telah menghancurkan pria itu…
Ia pernah mengembalikan kehidupan Julian yang penuh dengan kemurungan, mengubahnya menjadi pemuda hangat yang selalu memperhatikan orang lain. Tapi kini Janice juga membuatnya menjadi pria berdarah dingin yang sangat kejam karena menanggung peliknya kehidupan.
“Jadi kau tahu apa yang harus kau lakukan, bukan?” Julian kembali menekan setiap kalimatnya.
“Kumohon, Julian…” Janice masih tetap memohon kepada pria itu.
Julian menatapnya dengan tajam, tapi sesaat kemudian air wajahnya mulai melunak.
“Hanya satu bulan.” Katanya sambil bangkit berdiri dan meninggalkan Janice begitu saja.
Untuk yang pertama kali dalam pernikahannya selama lima hari terakhir, Janice akhirnya tersenyum. Tersenyum lega di tengah tangisannya sendiri.
Janice sempat larut di dalam euforia kebahagiaan sebelum kembali mengingat satu hal.
“Julian! Aku membuatkan makan siang untukmu!” Janice bangkit berdiri dan mengejar pria itu dengan semangat.