Bab 13 Permainan Takdir

2352 Words
Julian duduk dengan gelisah di hadapan Callista yang baru saja menyampaikan sebuah pengakuan mengejutkan. Matanya sesekali menatap dengan serius, mencoba menelisik tujuan Callista. “Kau baru saja mengatakan jika kecelakaan Janice sengaja kau lakukan?” Julian menatap dengan tajam, tidak bisa menyembunyikan raut tidak sukanya karena Callista berani melanggar batas yang telah mereka tentukan sejak awal. “Aku merasa kesal dengannya, Julian. Apa lagi yang bisa kulakukan selain mencoba membalasnya?” Callista tidak mau kalah. Julian menghela napas berulang kali. Setelah meyakinkan dirinya untuk bersikap lebih tenang di hadapan Callista, akhirnya Julian kembali membuka suara. “Sudah kukatakan untuk tidak ikut campur, Callista.” Julian memeringatkan dengan suara rendah. Mata Callista menyorot tajam, tampak tidak terima dengan peringatan yang Julian berikan. Namun sejak awal memang seperti inilah kesepakatan yang mereka buat. Callista tidak bisa tiba-tiba melanggar dan mengambil keputusan seorang diri. Hanya Julian yang berhak mengendalikan semua rencana balas dendamnya. Ya, hanya dia. Bukan Callista ataupun orang lain. Sebab kesalahan Janice terlampau besar hingga berhasil menghancurkan hidupnya dalam sekejap. Membuat Julian tidak lagi memiliki kekuatan untuk berpijak di atas kakinya dan mencoba berpikir jernih dengan mengambil keputusan yang mungkin akan membuat hatinya jauh lebih tenang. Saat ini, satu-satunya hal yang menjadi tujuan Julian adalah menghancurkan Janice, sama seperti saat wanita itu menghancurkan hidupnya lima tahun lalu. Membuat Julian kehilangan segalanya, hidup dan kebebasannya. Mengingat kenyataan tersebut membuat Julian menelan ludahnya dengan susah payah. Kenangan panit itu masih menyiksanya, membuatnya harus kembali menahan kepedihan yang kini mulai mempengaruhi emosinya. “Tapi bukan hanya menghancurkan hidupmu, dia juga menghancurkan hidupku.” Callista berdesis pelan. Wajah wanita itu memerah, tampak kontras dengan kulit putihnya yang pucat. Sedetik kemudian air mata Callista menetes. Membuat Julian merasa bersalah karena telah menyinggung perasaannya. Julian bangkit berdiri, berjalan mendekati Callista lalu mendekapnya dengan erat. Sama seperti dirinya, Callista juga mendapatkan kehancuran yang sama. Mereka berdua hanya segelintir orang yang merasa hancur karena kesalahan Janice. Oleh sebab itulah Janice pantas menerima hukuman. Wanita itu terlalu beruntung karena hidup di keluarga kaya yang tidak akan membiarkannya membusuk di balik jeruji besi. Namun Julian jelas bukan malaikat baik hati yang akan membiarkan Janice hidup dengan bebas. Kesalahannya terlampau besar sehingga Julian memutuskan untuk tidak langsung membunuhnya dan mengakhiri segalanya. Julian ingin melihat Janice menderita, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk menikmati penderitaan Janice meskipun itu berarti Julian harus memiliki umur yang panjang untuk menanggung penderitaannya juga. Setidaknya akan terasa jauh lebih baik jika Julian bisa melihat Janice menderita, dibandingkan hanya dia sendiri yang kesakitan setengah mati. “Aku tahu, Callista. Maafkan aku.” Julian masih tetap mengusap kepala Callista, tapi kini pikirannya fokus pada Janice yang pasti sedang duduk dengan santai di rumahnya. Karena sekarang wanita itu memiliki status sebagai istrinya, para pelayan pasti memperlakukannya dengan baik. Dan hal itu menimbulkan kekesalan di hati Julian. Tidak, semua ini hanya akan berlangsung sementara. Janice akan senang karena diperlakukan bagai seorang nyonya besar, tapi begitu ia menyadari jika Julian hanya sedang berusaha mengurungnya dan menghancurkan mentalnya, maka Janice akan mulai merasakan penderitaan. Dan Julian tidak sabar menunggu hingga saat itu tiba. Kebenciannya terhadap Janice sudah melebihi apapun sehingga Julian tidak keberatan jika harus kembali masuk ke dalam kehancuran demi bisa melihat wanita itu hancur. Bahkan Julian rela melakukan apapun untuk bisa memberikan penderitaan kepada Janice hingga wanita itu menyesal karena telah mengenalnya. “Sejak kecil aku sudah membenci Janice. Aku tidak mengerti kenapa ada orang yang menyayanginya. Dia bagaikan pencuri naif yang mengambil segala hal dariku.” Callista berbicara dalam tangisannya. Julian tertegun. Janice memang seorang pencuri naif. Dan bodohnya, Julian membiarkan wanita itu mencuri segala hal di dalam hidupnya. *** “Vivian, jangan lari seperti itu. Kau akan tersandung lalu jatuh dan menangis!” Julian mengangkat pandangannya ketika mendengar Olivia memperingatkan Vivian yang sedang berlarian di halaman rumah sambil menggendong boneka baru yang Julian berikan. Anak itu tertawa-tawa sebentar lalu kembali berlari dengan antusias. “Kau sudah makan? Aku dan Vivian baru saja selesai makan, jika kau belum makan aku bisa menyiapkan sup dan nasi.” Olivia mengulurkan segelas jus jeruk dingin yang baru saja ia ambil dari dapur. Julian mengucapkan terima kasih dan menyesap jus jeruk yang diberikan oleh Olivia, namun matanya masih tetap fokus menatap Vivian yang sesekali melambaikan tangan ke arahnya. Bocah itu selalu senang berlari-lari dan tertawa dengan ceria, benar-benar mirip dengan seseorang yang sangat Julian kenal. Ya, sangat ia kenal. “Julian, kau sudah makan?” Olivia kembali bertanya sambil menyentuh bahu Julian. “Aku akan makan di rumah saja. Aku tidak akan lama di sini, hanya ingin melihat Vivian.” Julian tersenyum kecil di akhir kalimatnya ketika menyebut nama gadis muda yang sedang berjalan menuju ke arahnya sambil mengulurkan tangan, memberi kode seakan ia ingin naik ke pangkuan Julian. “Tanganmu kotor, cepat cuci tangan!” Olivia menarik Vivian dan membawanya untuk mencuci tangan di sebelah kanan halaman. Ketika mendekat ke arah kran air, Vivian memberontak dan berlari ke arah Julian sehingga membuat Olivia mengejarnya. Bocah itu tertawa dan semakin senang ketika berhasil menggapai Julian sebelum Olivia menangkapnya. “Vivian! Tanganmu kotor, jangan menyentuh Daddy-mu!” Olivia mencoba untuk menarik Vivian dari gendongan Julian sehingga membuatnya merengek dan hampir menangis. “Biarkan aku saja.” Julian berbicara dengan tenang lalu membawa Vivian untuk mencuci tangan. Ia mengabaikan kemejanya yang kotor karena tangan Vivian baru saja menyentuh lumpur dan mengusapnya ke seluruh baju Julian. Dengan sabar Julian menurunkan Vivian lalu membawanya untuk mencuci tangan. “Daddy.. Daddy!” Vivian mengangkat tangannya lalu mencipratkan air ke arah wajah Julian sehingga membuatnya menghela napas sambil tersenyum. “Vivian!” Olivia melotot di ujung halaman. Vivian terkikik lalu menghentikan pergerakan tangannya. “Kenapa kau suka menggoda Mommy-mu, Vivian?” Julian bertanya sambil kembali menggendong Vivian lalu meletakkan gadis itu di pangkuannya ketika duduk di samping Olivia. “Dia memang sering nakal belakangan ini. Aku cukup sulit mengurusnya.” Olivia menggerutu sambil membersihkan sisa air di wajah Julian menggunakan tissu. Julian terkekeh pelan. “Dia memang anak yang nakal. Tapi kuharap kau tidak terlalu sering memarahinya.” Julian mengecup puncak kepala Vivian yang kembali memberontak dan minta untuk diturunkan padahal beberapa saat yang lalu dia memaksa untuk naik ke pangkuannya. Julian mengernyit lalu memeluk Vivian dengan erat sehingga gadis itu semakin merengek dengan kesal. Julian tertawa pelan ketika berhasil membuat Vivian kesal. “Daddy!” Teriaknya sambil memberontak. “Baiklah-baiklah.” Julian menurunkannya dengan perlahan lalu anak itu kembali berlari-lari sehingga membuat Olivia yang duduk di samping Julian menatapnya dengan lelah. Vivian baru saja mencuci tangan, lalu sekarang kembali ke kubangan lumpur lagi. “Kau terlalu memanjakan Vivian sehingga dia jadi anak keras kepala yang sulit diatur.” Olivia mengeluh kepada Julian. “Aku memang harus melakukannya Olivia. Harus ada yang memanjakannya dan memarahinya sehingga kita bisa menjadi orang tua yang seimbang.” Julian tersenyum singkat ketika melihat gaun merah muda Vivian kembali dipenuhi dengan lumpur. Untuk anak perempuan berusia 4 tahun, Vivian termasuk anak yang pemberani. “Tapi dia tidak pernah takut padaku.” Olivia mencurutkan bibirnya lalu menghela napas sambil menggeleng dengan pelan. Tampaknya wanita itu memang menjalani hari yang berat karena mengemban tanggung jawab sebagai seorang ibu yang setiap hari mengurus dan mendidik Vivian. Julian jadi merasa bersalah karena belakangan ini ia jarang berkunjung. Kesibukannya benar-benar bertambah, apalagi ketika Julian mulai berhasil mengakuisisi beberapa properti milik orang tua Janice sesaat setelah mereka menikah. Sesuai dengan rencananya, Julian bukan hanya akan menghancurkan Janice, tapi juga orang tua wanita itu. Mengingat tentang Janice membuat senyuman di bibir Julian semakin memudar. Rasanya sangat menyebalkan jika dia harus kembali memikirkan wanita itu ketika sore ini seharusnya Julian fokus menghabiskan waktu bersama dengan Vivian. Tangan Julian bergerak untuk memijit pelipisnya sendiri. “Kepalamu sakit?” Tanya Olivia. Julian menggeleng pelan. “Hanya merasa sedikit lelah.” “Kau tampak sibuk akhir-akhri ini.” Komentar Olivia. Julian menolehkan kepala, mulai menyadari kemana arah pembicaraannya dengan Olivia. Namun Julian tidak ingin ambil pusing, dia akan menjawab jika Olivia bertanya dan menjelaskan seperlunya jika wanita itu memang membutuhkan penjelasan. Selama ini Olivia tahu bagaimana sifatnya, wanita itu tidak akan memaksa Julian untuk menceritakan hal-hal yang tidak ingin ia ceritakan. Sebab mereka sama-sama tahu posisi mereka masing-masing… “Apakah Vivian sering menyulitkanmu?” “Tidak, dia memang sedikit nakal, tapi dia tetap Vivian yang manis. Aku bisa marah selama beberapa menit, tapi setelah itu aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya.” Julian mengangguk pelan, ia setuju dengan Olivia. “Justru aku yang ingin bertanya kepadamu..” Olivia menatapnya sekilas lalu kembali fokus mengarahkan pandangan untuk memperhatikan Vivian. Julian tertegun dan memperhatikan figur Olivia dari samping. Wanita itu sudah banyak berubah sejak lima tahun belakangan. Julian masih ingat saat pertama kali mereka bertemu… saat itu Olivia adalah seorang wanita muda yang terlihat lemah dan rapuh. Julian tidak menyangka jika selama lima tahun ini mereka bisa melewati banyak masalah bersama-sama. Sekalipun Julian juga tidak terlalu dekat dengan Olivia sehingga ia tidak bisa menceritakan semua masalah dan bebannya, sedikit banyak Olivia mengetahui beberapa hal mengenai kehidupan Julian yang pelik. Dan sama seperti Julian yang tidak ingin terlalu ikut campur dengan masalah pribadinya, Olivia juga berlaku demikian. “Apa?” Julian menatap dengan tenang sebab ia sudah menduga apa yang ingin Olivia katakan. “Tentang pernikahanmu.” Julian menyesap jus jeruknya lalu menggerakkan tubuh untuk sedikit serong ke kanan, agar dia bisa lebih leluasa menatap Olivia. “Kau mendengar tentang pernikahanku tapi sama sekali tidak menghubungiku ataupun datang menemuiku.” Terselip gurauan di dalam kalimat tersebut, namun Olivia tidak ikut tersenyum bersamanya, justru dia menatap dingin seakan tidak terpengaruh dengan lelucon Julian. “Jadi kau benar-benar menikahinya?” Olivia menatapnya dengan nanar, wanita itu hampir menangis karena Julian tahu bahwa topik tentang pernikahannya pasti membuat wanita itu mengingat kejadian di masa lalu. Sebuah kejadian yang membuat hidupnya hancur. Julian hampir mengumpat ketika melihat mata Olivia yang berkaca-kaca. Hari ini sudah ada tiga wanita yang menangis di hadapannya. Dan itu membuat Julian tampak seperti pria b******k. “Kau ingin membicarakan tentang dia?” “Mungkin tidak untuk sekarang.” Olivia tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. Julian mengangguk, “Baiklah.” Tangannya bergerak untuk menyentuh kedua tangan Olivia yang sedang terkepal di pangkuannya. “Kau bisa menanyakan apapun kepadaku, Olivia. Jangan menyimpan semuanya sendirian. Kau tahu betapa aku merasa bersalah kepadamu.” Julian merendahkan suaranya, memohon kepada Olivia untuk sebuah pengampunan yang selama ini tidak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan. “Semua rasa bersalahmu tidak akan mengubah apapun, Julian.” Olivia kembali menatapnya. “Saat ini, satu-satunya hal yang aku inginkan adalah hidup dengan damai bersama dengan Vivian.” Wanita itu kembali memberi jeda sehingga membuat Julian menghela napas dengan pelan. Julian tahu jika Olivia mencoba mengatakan jika dendam yang ia rasakan tidak akan mengubah apapun, juga tidak akan mengembalikan apapun. Namun Julian sudah terlanjur masuk ke dalam kubangan dendam sehingga ia tidak bisa keluar begitu saja. “Akan aku pastikan kau hidup bahagia dengan Vivian.” Julian menatapnya dengan serius. “Lalu bagaimana dengan dirimu?” Olivia membalas genggaman tangannya. Julian kembali bergeming. Dirinya? Bagaimana dengan dirinya? Oh, Julian juga tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. “Kau menjadi ayah yang baik selama lima tahun ini, Julian. Aku mengapresiasi usahamu untuk membuat aku dan Vivian hidup dengan nyaman. Tapi pernahkah kau memikirkan dirimu sendiri?” Tanya Olivia. “Kau serius menanyakan pertanyaan semacam itu?” “Ya, tentu saja aku serius. Bagaimana bisa kau menjanjikan kebahagian kepada kami jika selama ini kau tidak pernah bahagia? Kau tahu, kau mirip seperti botol kosong yang ingin mengisi sebuah gelas dengan air.” Ucapan Olivia kembali menohok hatinya. Julian tahu apa maksud dari kalimatnya. Seseorang yang tidak merasa bahagia tidak akan bisa memberikan kebahagiaan kepada orang lain. “Jangan memikirkan aku. Memang ini yang harus aku lakukan, menghancurkan hidupku untuk menghancurkan Janice.” Darah Julian kembali berdesir ketika menyebutkan nama wanita itu. “Apakah dengan menghancurkannya maka semua akan kembali baik-baik saja? Apakah hidupku akan bahagia? Kau juga akan bahagia?” Julian mengeraskan rahangnya. “Aku tidak tahu bagaimana denganmu, tapi aku pasti akan merasa lebih baik jika melihatnya menderita.” Olivia menghembuskan napasnya dengan pelan. “Dia mengenalmu jauh lebih lama dibandingkan aku. Oleh sebab itu aku tidak pernah berani mengusik kehidupan pribadimu beserta semua ambisi yang kau miliki selama lima tahun terakhir. Tapi bagaimana jika takdir berkata lain? Bagaimana jika semua tidak sesuai dengan harapanmu?” Julian melepaskan genggaman tangannya lalu menatap Olivia dengan dingin. “Aku tidak percaya pada takdir.” “Oh ya?” Olivia mengangkat sebelah alisnya. “Ya. Aku hanya percaya pada diriku sendiri.” “Bahkan kepada Dewa sekalipun?” Julian mengangguk dengan yakin. Teringat dengan jelas tahun-tahun penderitaan yang ia rasakan seorang diri. “Dewa membuatku menderita, Olivia. Aku berdoa dan memohon kepada-Nya, tapi Dia tidak menjawab. Aku tetap hidup dalam penderitaan..” “Jadi kau menganggap jika Dewa tidak memperhatikanmu hanya karena kau mendapatkan penderitaan?” “Lalu untuk apa Dia ada jika kita harus hidup menderita, Olivia?” Tanya Julian dengan frustasi. Lalu Julian teringat pada pertanyaan bodoh seorang gadis kecil beberapa tahun lalu saat ia mengajari gadis itu berdoa.. “Apakah Dewa benar-benar ada, Julian?” Tanya gadis kecil itu. “Tentu saja ada. Oleh sebab itu kau harus belajar berdoa kepada-Nya” Julian mengangguk dan menjawab dengan yakin. “Jika Dewa memang ada, kenapa kita tidak bisa hidup bahagia?” “Memangnya kau tidak bahagia?” “Aku bahagia sekarang, tapi tidak selalu bahagia.” “Kau tidak bisa selalu bahagia, Janice. Masalah datang untuk membuatmu lebih menghargai setiap kebahagian yang kau miliki. Meskipun terdapat penderitaan di bumi, bukan berarti Dewa tidak ada.” Julian memberikan penjelasan singkat dengan harapan gadis itu bisa memahaminya dengan mudah. Dan ajaibnya, dia memang langsung memahami penjelasan Julian. Semua memori itu kembali terulang di pikirannya bagaikan reka adegan sebuah kasus pembunuhan. Julian mencoba berbagai macam cara untuk mengenyahkan ingatannya, namun seakan menolak perintah dirinya sendiri, otakknya justru memutar kenangan itu sehingga Julian terpaksa mengingatnya dengan sangat jelas. Dan Julian tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya ketika ia menyadari jika selama ini dia terlalu munafik untuk menyangkal keberadaan Dewa padahal secara diam-diam, setiap malam Julian selalu menangis di dalam doanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD