Bab 16 Mengucapkan Selamat Tinggal

2306 Words
Janice menatap bangunan kecil di sudut gedung kota yang menjulang tinggi. Sama seperti bangunan toko bunga pada umumnya, toko bunga milik Janice juga didominasi dengan kaca-kaca besar untuk menunjukkan rangkaian bunga di dalamnya. Cukup lama Janice berdiri di depan bangunan tersebut, ia mengingat setiap detail yang dapat ia simpan di dalam memorinya. Berusaha mendapatkan sebanyak mungkin kenangan indah yang pernah ia alami di tempat tersebut selama dua tahun terakhir. Setelah ini semuanya akan berakhir…. Janice akan mati dengan sia-sia dan tidak akan ada orang yang menangisi ataupun mengingat keberadaannya. Namun disisa waktunya, Janice ingin mendapatkan banyak ingatan baik mengenai hal-hal yang pernah terjadi selama hidupnya. Sekalipun pada akhirnya kenangan itu juga akan menghilang begitu saja bersama dengan akhir hidupnya. “Janice?” Bibi Alisha menatap Janice dengan terkejut. Begitu juga dengan empat orang karyawan yang langsung menghentikan pekerjaan mereka. Janice tersenyum sambil menggerakkan kedua tangannya yang penuh dengan bingkisan makanan. “Oh astaga, kami berpikir jika kau sedang berbulan madu di luar negeri sehingga tidak mendengar kabarmu sama sekali.” Janice sebenarnya cukup takjub ketika mengatahui jika kecelakaannya tidak diketahui oleh orang-orang di sekitarnya. Julian berhasil menutup kejadian itu, bahkan dari orang tuanya sekalipun. Mungkin hanya Julian dan Callista saja yang mengetahui bahwa pernah ada kecelakaan parah yang terjadi di hari pernikahan Janice sendiri. “Maafkan aku karena tidak menghubungi kalian.” Janice tertawa pelan ketika mereka semua berkerumun di dekatnya seolah ingin memastikan keadaannya. “Aku kehilangan ponselku dan….” Janice memberi jeda sejenak. “Aku sedikit sibuk mengurus pernikahanku.” Janice mengundang semua karyawannya di pesta pernikahan, mereka datang dan menyapa Janice serta Julian. Saat itu Julian memang terlihat enggan, tapi Janice bersyukur pria itu tidak menapilkan kekesalannya di hadapan semua karyawan Janice. Setidaknya saat ini mereka tidak tahu jika pernikahan Janice tidak seharmonis yang mereka kira. “Oh tentu saja kau sangat sibuk. Kau memiliki suami yang luar biasa tampan. Pasti kau mengurungnya sepanjang hari..” Renitha, salah satu karyawannya tertawa dan terkikik geli. Semua orang meringis mendengar kalimat frontalnya, namun Janice sama sekali tidak tersinggung sekalipun kalimat itu terdengar cukup ambigu. “Begitulah..” Jawab Janice sambil mengendikkan bahunya. Janice beruntung karena tidak ada bekas luka di tubuhnya. Sesuai dengan apa yang Ezra katakan, semua luka Janice tidak terasa sakit, bahkan sembuh dalam waktu yang sangat cepat. Mungkin jika luka di kepala dan seluruh tubuhnya masih meninggalkan bekas, Janice tidak akan bisa berjalan dengan leluasa, bahkan tidak akan bisa memeluk mereka sambil tertawa bersama. Janice memang bukan tipe orang yang mudah tertawa dengan orang lain. Selama ini Janice juga hanya berbicara seperlunya dengan para karyawan, tapi hari ini sedikit berbeda karena mereka sedang memberikan ucapan selamat atas penikahan Janice dan Janice sediri juga berusaha untuk tidak terlihat murung sekalipun menahan sedih karena akan segera memberikan pengumuman tentang penutupan toko. “Ini makan siang untuk kalian.” Kata Janice dengan ceria. Ia mengangkat bungkusan makanan dengan nama restoran terkenal yang ada di sudut jalan kota. Janice sengaja mampir dan membeli berbagai jenis makanan untuk merayakan… merayakan hari-hari terakhir mereka. “Kau selalu repot membawakan makan siang padahal kau sendiri belum makan, bukan?” Bibi Alisha menggerutu tapi ia menjadi orang yang paling bersemangat untuk membuka bingkisan dari Janice. Beberapa karyawan mengejek Bibi Alisha dengan terang-terangan sehingga membuat wanita itu memberenggut dengan kesal, namun tangannya tetap sibuk membagi setiap makanan yang Janice beli. “Aku sudah tua sehingga tidak masalah jika harus makan makanan biasa, tapi kalian masih muda sehingga membutuhkan banyak makanan bergizi seperti ini.” Bibi Alisha membagi setiap menu makanan dengan adil tanpa peduli jika ia mendapatkan bagian yang paling besar. Oh, jangan lupakan Janice yang juga mendapatkan bagian terbesar kedua. “Tapi Bibi yang mendapatkan bagian terbesar.” Salah satu dari mereka memprotes sambil menunjuk piring Bibi Alisha yang dipenuhi dengan cumi-cumi saus asam manis, ikan bakar dan juga daging steak. Tidak lupa, Bibi Alisha juga membagi setiap mangkuk sup krim brokolo yang Janice beli sebagai menu pelengkap. “Apakah kau tidak menghargaiku sebagai orang tua?” Wanita itu menarik piringnya dengan kasar sehingga menimbulkan gelak tawa diantara empat karyawan yang lainnya. Janice juga ikut terkekeh geli ketika mengamati semua itu. Tanpa sadar Janice benar-benar menikmati setiap interaksi yang terjadi di toko bunga. “Baiklah, terserah Bibi saja.” Mereka menunduk dan segera makan dengan tenang. Janice selalu suka makan bersama dengan mereka, setidaknya ia tidak terlalu merasa sendirian karena selalu menghabiskan waktu makan seorang diri di apartemennya yang sunyi. Oleh sebab itulah Janice sering membawakan sarapan ataupun makan siang untuk mereka semua. “Janice, kenapa kau melamun?” Bibi Alisha menatap Janice, begitu juga dengan karyawannya yang lain. “Tidak ada.” Jawab Janice sambil menggeleng singkat. Lalu ia mulai memotong daging di piringnya dan memakan potongan terkecil. Ternyata sangat enak, Janice sampai menyendok sup banyak-banyak karena merasa suka. Ia juga mencicipi pasta yang masih berada di piring karena belum dibagi oleh Bibi Alisha. Dan semuanya terasa sangat enak. Lain kali ia akan…. Janice tertegun. Akan apa? Membeli makanan ini lagi dan membawanya ke toko bunga? Tidak, tentu saja tidak. Ini terakhir kalinya mereka makan bersama. Janice menghembuskan napas dengan pelan. Ia menunggu hingga semua orang selesai makan sebelum menyampaikan pengumuman menyedihkan yang pasti akan membuat mereka kehilangan nafsu makan jika dikatakan sekarang. Setelah semua makanan habis, Janice mulai membereskan piring kotor mereka lalu menghembuskan napas dengan pelan untuk menguatkankan dirinya sendiri. Inilah saatnya… “Maafkan aku karena harus memberikan berita yang menyedihkan kepada kalian. Tapi aku akan menutup toko ini dan itu artinya kalian harus segera mencari pekerjaan lain.” Janice menatap dengan menyesal setelah mengutarakan apa tujuannya datang ke toko. Para karyawan juga tampak terkejut dan mungkin juga kebingungan karena Janice membawa berita buruk padahal belakangan ini toko mereka mendapatkan banyak pelanggan yang artinya Janice tidak bangkrut, justru keuntungan toko mereka semakin meningkat. Namun Janice tidak memiliki pilihan lain mengingat jika cepat atau lambat, pada akhirnya toko mereka juga akan tetap tutup. Janice bersyukur karena mereka memhami bagaimana perasaannya saat ini sehingga tidak ada satupun yang berani menanyakan alasannya. Mereka hanya diam sambil sesekali menatap dengan kebingungan. “Toko kita masih memiliki banyak persediaan, apakah tidak masalah jika kita menunggu hingga semua persediaan habis?” Bibi Alisha bertanya dengan tenang. Hanya wanita itu yang tampak biasa saja, sementara para karyawan yang lain sudah mulai berbisik satu sama lain untuk membicarakan keputusan Janice yang sangat tiba-tiba. Janice menggeleng pelan. “Toko ini akan tetap buka hingga bulan depan. Aku akan menunggu hingga kalian semua mendapatkan pekerjaan baru.” Kata Janice sambil tersenyum kecut. Ia kembali menatap ke sekelilingnya. Persediaan bunga yang Janice pesan beberapa hari sebelum pernikahannya juga telah sampai dan kini sedang dibereskan oleh karyawannya. Mereka berhenti mengurus bunga-bunga ketika Janice datang sambil membawa makanan, dan kini Janice juga sedang memaksa mereka tetap duduk bersamanya untuk mendengarkan pengumuman mengenai penutupan toko. “Aku juga akan memberikan pesangon untuk kalian semua karena telah bekerja bersamaku selama ini. Maafkan aku karena membuat kalian kecewa.. tapi pada akhirnya toko ini memang harus ditutup.” Janice mencoba untuk menahan tangisannya. Berulang kali ia berusaha untuk terlihat tegar agar tidak tampak menyedihkan. Namun mengucapkan selamat tinggal adalah hal yang sangat sulit mengingat jika toko bunga ini menjadi satu-satunya hal berharga yang masih ia miliki disaat segalanya telah direnggut secara paksa darinya. Dan kini Janice benar-benar telah kehilangan segalanya. *** “Apakah ada masalah?” Janice menolehkan kepalanya dan menemukan Bibi Alisha yang baru saja masuk ke ruang kerja Janice. Setelah mendengar pengumuman dari Janice, para karyawan memeluknya dan mengucapkan beberapa kalimat seadanya. Mereka pasti kecewa, tapi mereka tidak ingin menunjukkan kekecewaan secara terang-terangan di hadapan Janice. Lalu mereka kembali bekerja seolah tidak terjadi apapun. Ada ratusan tangkai bunga yang akan layu jika mereka tidak segera mengurusnya, oleh sebab itu satu per satu dari mereka pamit untuk menyelesaikan pekerjaan. Dan tentu saja Janice tidak keberatan. Janice langsung menuju ke kantornya untuk duduk dan menikmati hari-hari terakhir ditoko bunga miliknya. Bahkan mungkin ini akan menjadi hari terakhirnya berkunjung ke toko ini mengingat tentang perintah Julian yang memaksa Janice untuk menutup toko bunganya. Dan ya, Janice telah kehilangan segala hal yang selama ini ia perjuangkan dalam hidupnya. “Janice?” Wanita itu mendekat dan menyentuh bahu Janice. Janice ingin menangis, rasanya ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Bibi Alisha yang selama dua tahun ini selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Dibanding menganggap Janice sebagai atasan, wanita itu lebih sering menganggap Janice seperti anaknya sendiri. Sudah cukup lama Janice kehilangan kasih sayang seorang ibu sehingga kehadiran Bibi Alisha membuat Janice merasa sedikit lebih baik. Namun kini mereka juga akan berpisah… “Aku memang harus menutup toko ini, Bibi.” Janice berucap dengan pelan. “Apakah ada masalah?” “Ya… masalahnya aku akan segera meninggal” Jawab Janice dalam hati. “Tidak ada. Aku hanya berpikir jika ini adalah saat yang tepat untuk mengakhiri masa lajangku dan mendedikasikan hidup untuk suamiku.” Janice tersenyum singkat untuk mendukung penjelasannya. Berusaha menunjukkan jika ia adalah seorang istri yang mencintai dan dicintai oleh suaminya. “Baiklah jika memang tidak ada masalah. Bibi merasa khawatir padamu.” Kerutan di wajah wanita paruh baya itu mengingatkan Janice tentang betapa kerasnya waktu mengubah segalanya. Hanya dalam kesekejap Janice kehilangan segalanya. “Maafkan aku karena membuat Bibi kehilangan pekerjaan.” Janice meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya dengan pelan. “Kau jangan mengkhawatirkan Bibi. Kau bisa membuka dan menutup toko ini kapanpun kau mau.” Wanita itu terkekeh pelan sehingga membuat rasa bersalah Janice semakin besar. “Karyawan lain pasti mendapatkan pekerjaan dengan mudah karena mereka masih muda. Tapi bagaimana dengan Bibi?” Janice ingat jika wanita itu pernah bercerita bahwa ia memiliki seorang cucu yang kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Di usianya yang sudah cukup tua, ia harus bekerja keras untuk menghidupi cucunya. Dan Janice tidak tahu apa yang akan terjadi jika Bibi Alisha kehilangan pekerjaan. Seandainya saja ada sebuah keajaiban sehingga Janice bisa menjamin kehidupan Bibi Alisha dan cucunya. Tapi masalahnya, Janice sendiri tidak memiliki waktu. Selain karena ia akan meninggal kurang dari dua bulan lagi, Janice juga harus memikirkan masalahnya sendiri, yaitu tugas dari Dewa yang harus ia selesaikan sebelum ia kehabisan waktu. “Sudah, jangan memikirkan hal yang tidak penting. Setidaknya kita masih memiliki satu bulan terakhir. Mari bersenang-senang untuk membuat kenangan yang indah di toko bunga ini.” Janice menggeleng dengan pelan. Sayangnya ini adalah kali terakhir Janice berkunjung ke toko bunga sebelum tempat itu ditutup dengan paksa oleh Julian. Janice tidak akan pernah datang lagi karena ia tidak sanggup melihat tokonya yang selalu dipenuhi oleh aroma bunga dan puluhan pelanggan menjadi bangunan sepi tak berpenghuni. Tidak, Janice tidak akan sanggup… “Aku tidak akan datang ke sini lagi.” Ucap Janice dengan susah payah. “Kenapa?” Bibi Alisha terperanjat, wanita itu kembali menatap Janice dengan khawatir. Janice tertawa pelan. “Mungkin aku akan sibuk mengurus banyak hal, Bibi. Rumah suamiku sangat gersang, kurasa aku harus mulai menanam bunga untuk menghidupkan suasana.” Janice mencoba memberikan penjelasan lewat kiasan yang tidak terlalu rumit. Dan untunglah Bibi Alisha memahami makna kalimatnya. Wanita itu tersenyum lalu mengangguk pelan. “Jadi rumahnya sangat gersang, ya? Kalau begitu dia memilih istri yang tepat.” *** Sepulang dari toko bunga, Janice meminta sopir untuk membawanya berkeliling kota sebelum kembali pulang ke rumah. Awalnya sopir itu tampak ragu, tapi akhirnya mengikuti apa yang Janice inginkan. Rumah Julian sangat jauh dari pusat kota, sehingga Janice merasa rindu dengan keramaian jalan yang selalu sibuk setiap saat. Sebenarnya Janice bukan orang yang terlalu memuja keramaian pusat kota, namun mengurung diri di rumah Julian yang lebih layak disebut sebagai istana terpencil membuat Janice kebosanan setengah mati. Tidak ada hal-hal menarik di rumah Julian sementara Janice harus menghabiskan waktunya sepanjang hari di rumah tersebut. Julian memang memiliki perpustakaan luas yang dipenuhi oleh ratusan buku, tapi Janice bukan tipe orang rajin yang bisa membaca satu buku dalam satu hari. Mengingat hobi Julian yang sangat gemar membaca buku, sepertinya wajar jika pria itu memiliki perpustaan yang besar. Itupun kalau Julian belum mengubah hobinya menilik banyaknya perubahan Julian selama lima tahun belakangan sehingga membuat Janice merasa asing dengan pria itu padahal dulu mereka ada dua orang yang saling mengenal satu sama lain. “Nyonya, saya baru saja mendapatkan kabar jika Tuan meminta anda untuk segera pulang.” Sopirnya berbicara dengan tenang. Janice mengangkat kepalanya, mengernyitkan dahi dengan kebingungan. Julian memintanya untuk pulang? “Apakah Julian sudah pulang?” Tanya Janice. “Beliau masih ada di kantor.” Lantas kenapa Janice harus segera pulang? Janice merogoh ponsel barunya yang ia letakkan di dalam saku celana. Tidak ada notifikasi apapun yang berarti Julian tidak menghubunginya. Bahkan pria itu lebih memilih menghubungi sopir dibandingkan istrinya sendiri. Namun tentu saja Janice tidak berharap banyak kepada pria itu mengingat jika mereka memang tidak pantas disebut sebagai pasangan suami istri. Satu-satunya hal yang ingin Julian lakukan adalah menginat Janice untuk tetap berada di dekatnya agar dia bisa membalaskan dendamnya dengan leluasan. Dan satu-satunya hal yang perlu Janice lakukan adalah menerima semuanya. Janice menundukkan kepalanya dengan sendu ketika mengingat betapa menyedihkan akhir hidupnya. “Aku masih ingin membeli beberapa hal.” Sopir itu menoleh dengan cemas. “Jika ada sesuatu yang anda inginkan, sepertinya saya bisa meminta seseorang untuk membelikannya sementara saya mengantar anda pulang ke rumah.” Sopir tersebut menjeda kalimatnya untuk sesaat sebelum kembali melanjutkan dengan ragu. “Karena Tuan tidak suka jika perintahnya dibantah.” Janice menimbang di dalam hatinya. Sepertinya ia tidak bisa memaksakan kehendaknya mengingat jika ia sudah menikah dengan Julian dan bersedia mengikuti semua hal yang dikatakan oleh pria itu. Lagipula Janice tidak ingin membuat sopirnya ikut terseret masalah apabila ia keras kepala dan mementingkan diri sendiri. “Baiklah, kita pulang saja.” Janice menjawab dengan lunglai bagaikan seorang tahanan yang kembali ke balik jeruji besi setelah mendapatkan libur satu hari untuk berkeliling kota. Tidak, Janice terlalu berlebihan. Ia hanya akan kembali pulang ke… ke rumah Julian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD