Bab 10 Usaha Yang Sia-Sia

2426 Words
Janice mengangumi interior rumah Julian yang sangat sederhana, benar-benar bertolak belakang dengan desain bangunan hotel maupun properti bangunan yang dimiliki oleh pria itu. Tidak ada lantai granit maupun ukiran dengan motif emas seperti yang biasanya Janice jumpai di rumah orang-orang kaya. Julian lebih memilih motif kayu untuk dasar lantai rumahnya, juga tidak ada hiasan apapun di tembok maupun lorong-lorong panjang rumah tersebut. Sekalipun dibangun dengan megah, rumah Julian benar-benar representasi dari kesederhanaan yang tampak sangat indah. Setelah selesai mengagumi bangunan rumah Julian, Janice memutuskan untuk berjalan menuju ke halaman belakang. Seorang pelayan mengatakan jika ada taman bunga kecil di samping kolam renang. Sekalipun Janice merasa enggan karena mendengar jika kolam renang di rumah Julian memiliki kedalaman lebih dari 2 meter, akhirnya Janice tetap memutuskan untuk datang ke halaman belakang. Segala hal tentang taman bunga selalu membuat Janice antusias sehingga melupakan rasa takutnya terhadap kolam renang. Namun begitu sampai di halaman belakang, Janice ternganga ketika menatap taman bunga Julian yang tak sesuai dengan ekspektasinya. Taman? Bahkan tempat itu bisa disebut sebagai tanah yang sengaja tidak diurus sehingga membuat rumput liar tumbuh dengan tidak terkendali. Memang benar jika ada beberapa bunga mawar yang ditanam di tepi pagar belakang, namun bunga tersebut tampak terhimpit oleh rumput sehingga tidak bisa tumbuh dengan baik. Lalu… yang paling mengerikan dari semuanya adalah fakta bahwa tanaman itu berjarak kurang dari satu meter dari ujung kolam renang. Janice sampai bergidik ngeri ketika melihat taman Julian yang terlihat sangat miris tersebut. Tapi Janice juga tidak bisa berbuat banyak karena selain belum mendapatkan izin dari Julian, sepertinya Janice tidak akan bisa merawat taman tersebut karena terlalu takut dengan kolam renang besar milik Julian. Air yang tenang tidak menjamin jika kolam tersebut aman untuknya. Apalagi kolam renang pribadi milik Julian lebih dalam dari pada kebanyakan kolam renang yang normal. 2 meter.. bayangkan saja jika ia terpeleset sehingga jatuh ke dalam air.. Janice bergidik ngeri. Ia pernah hampir kehilangan nyawa karena mengira sesuatu yang tenang tidak akan membahayakan dirinya. Saat itu… saat itu Janice mengira jika ia akan mati. Tapi ternyata seseorang datang menyelamatkannya dan memberikan kehidupan kedua untuknya. Jacob, dia adalah penyelamat Janice.. “Ternyata suamimu kaya raya. Kau akan hidup makmur seandainya saja tidak mengalami kecelakaan” Kepala Janice menggeleng dengan pelan. Ia terlalu larut dengan pikirannya sendiri sehingga tidak menyadari jika Ezra berdiri di sampingnya. Dan seperti biasanya, Ezra memang selalu datang dengan tiba-tiba. “Bagaimana kau tahu jika aku ada di sini?” Tanya Janice dengan keheranan. “Kau lupa jika aku malaikat?” Janice mengendikkan bahunya. Ia tidak pernah tahu jika malaikat juga memiliki kekuatan untuk pergi dan datang tiba-tiba. Atau jangan-jangan selama ini Ezra selalu mengikutinya dengan diam-diam. “Jadi… dimana dia sekarang? Kenapa kau tidak menemuinya dan malah merenung sendirian di sini?” “Aku juga tidak tahu dia ada di mana. Sopir mengantarkan aku ke rumah ini, tapi Julian masih belum pulang.” Janice menelan salivanya dengan susah payah. “Mungkin dia sedang bersama dengan kakakku.” Ezra tidak berbicara selama beberapa saat seolah dia memberikan waktu untuk Janice menetralkan emosinya ketika membicarakan suami dan kakak kandungnya sendiri. Setelah merasa jika perasaan Janice kembali normal, Ezra baru mulai berbicara. “Kau akan diam saja?” Tanyanya. “Tidak tahu.” Janice menatap kolam renang dengan ekspresi sedih. Kali ini… apa yang harus dia lakukan? Waktu yang Janice miliki berjalan dengan sangat cepat. Ia telah kehilangan tiga hari dengan sia-sia. Dan Janice masih tidak yakin apakah dalam 40 hari kedepan dia berhasil mendapatkan pengampunan dari Julian. “Kau ingin melewatkan kesempatanmu begitu saja?” Janice mengendikkan bahu. “Sangat menyedihkan.” Komentar Ezra. Janice tidak menjawab, dia diam sambil terus memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Apakah dia kembali menjadi Janice tidak tahu diri yang terus berusaha mendekati Julian dan meluluhkan hati pria itu atau dia diam saja dan menerima semua hukuman yang pantas ia terima. Baru tiga hari dan Janice sudah mulai kehilangan kepercayaan dirinya sendiri. “Kau akan kemana?” Janice menatap Ezra dengan ragu ketika pria itu mulai melangkahkan kaki menjauh. Janice tidak pernah melihat Ezra berjalan sehingga ia sedikit takjub ketika melihatnya melangkahkan kaki. Ternyata malaikat juga berjalan seperti manusia. Janice mengamati Ezra dengan terheran-heran sehingga membuat pria itu merasa tidak nyaman. “Jangan melihatku seperti itu! Aku akan pergi.” Katanya dengan kesal. Lalu pria itu kembali bergumam beberapa saat kemudian. “Lagipula aku bosan melihat wajah murammu.” “Memangnya kau memiliki tugas lain?” Ezra semakin mengernyitkan dahinya. “Apa yang kau bicarakan?” “Klien. Memangnya kau memiliki klien lain selain aku?” Ezra tercengang ketika mendengarkan pertanyaan Janice seakan ia baru pertama kali mendengarkan pertanyaan konyol yang diajukan oleh kliennya. “Aku tidak menyangka jika wanita cengeng seperti dirimu bisa berubah menjadi cerewet dan banyak berbicara.” Ezra menyindir sambil meliriknya sekilas. Bukannya tersingguh, Janice justru tertawa pelan. “Jadi bagaimana? Apakah kau memiliki banyak klien di waktu yang bersamaan?” “Tentu saja tidak. Dewa memberikan satu klien dalam periode 49 hari. Setelah itu aku akan memiliki waktu bebas selama sebelas hari untuk mempelajari klienku selanjutnya.” Janice terperanjat, ia menatap Ezra dengan tidak percaya. Apakah pria itu sudah mempelajari kehidupan Janice selama sebelas hari terakhir? “Jadi kau tahu bagaimana caraku mati?” Ezra memicingkan mata. “Aku tidak boleh membicarakan ini denganmu.” *** Di dalam hidupnya, Janice sudah terbiasa dengan rasa sepi. Apalagi lima tahun terakhir ia bagaikan manusia yang hidup seorang diri karena terlalu sring merasa kesepian. Janice tidak pernah akrab dengan Callista, entah kenapa tapi sejak kecil mereka memang sering tidak akur. Lalu semuanya bertambah buruk karena kejadian lima tahun yang lalu. Janice dan Callista bagaikan dua kutub magnet yang tidak pernah bisa menyatu. Begitu juga dengan ibunya yang jauh lebih dekat dengan Callista. Mengingat tentang ibunya membuat Janice merasa sedih. Jujur saja ia tidak ingin menyalahkan wanita itu atas apa yang terjadi padanya karena Janice masih cukup waras untuk memahami bahwa kecelakaannya terjadi secara tidak sengaja. Namun.. Janice tiba-tiba teringat pada sumpah ibunya yang mengatakan bahwa wanita itu akan membuat Janice celaka jika dipaksa datang ke pesta pernikahan. Sayang sekali, sumpah seorang ibu memang bukan kalimat main-main. Sekalipun Janice tidak berusaha menghubungkan korelasi antara kalimat ibunya dengan kecelakaan yang menimpanya, entah kenapa Janice masih tetap merasa sedih. “Aku curiga kau selama ini hanya berpura-pura kesakitan agar mendapatkan perawatan di rumah sakit.” Janice berjengkit kaget, bahkan sampai berdiri dari kursi meja makan. Di ujung meja, Julian sedang duduk dengan tenang. Pria itu membalik piring miliknya lalu pelayan segera mengisi piring tersebut dengan menu makanan yang dipilih oleh Julian. Tidak, Julian sama sekali tidak menatapnya. Pria itu lebih memilih untuk sibuk dengan makanan yang ada di piringnya, juga segelas anggur yang baru saja ditungangkan oleh seorang pelayan pria. Janice tertegun ketika menyadari ada banyak perbedaan dalam kebiasaan Julian yang sudah tidak ia kenali lagi. Dulu Julian lebih memilih air putih atau jus untuk melengkapi makan malamnya, tapi sekarang ia meminum anggur. “Kau sudah pulang?” Janice menggelengkan kepalanya dengan samar ketika menyadari pertanyaan bodoh yang terlanjur ia ucapkan. Julian tidak bereaksi, tetap sibuk dengan daging dan anggurnya. “Kupikir kau tidak akan pulang seperti yang dikatakan oleh para pelayan.” Janice kembali duduk dengan malu. Ia menatap sup yang ada di mangkuknya dengan enggan, tapi tetap memilih untuk menyuapkan beberapa sendok ke mulutnya agar tidak terlihat terlalu menyedihkan. “Ini rumahku.” Jawab Julian dengan singkat. Janice kembali menatap pria itu, lalu sedetik kemudian Julian membalas tatapannya sehingga membuat Janice buru-buru menundukkan kepala. “Ya, ini rumahmu.” “Jadi kenapa kau memprotes kapan aku pulang? Aku bebas melakukan apapun di rumah ini. Termasuk mengajak Callista menginap.” Janice kembali terisap. Kalimat terakhir Julian jelas tidak ditujukan untuk mempermainkan dirinya saja, tapi juga menegaskan hubungan Callista dan Julian yang sempat diganggu secara terang-terangan oleh Janice ketika ia memaksa menggenggam tangan Julian. “Callista… tinggal di sini?” Bahkan saat mereka masih tinggal di rumah orang tuanya, dimaan di sana ada ayahnya yang selalu adil dan tidak pernah berpihak pada satu orang saja, Callista bisa menyakiti Janice dengan bebas. Kakaknya itu sering memukul dan menjambaknya, juga selalu mengatakan kalimat menyakitkan setiap saat. Janice tidak bisa membayangkan apa saja yang akan ia terima jika Callista juga tinggal di rumah Julian. “Tidak, tapi dia akan menginap sesekali.” Julian meliriknya lalu tersenyum sinis seakan pria itu menikmati kesedihan Janice saat ini. “Kau tidak keberatan, bukan?” Janice masih ingat usahanya tadi pagi yang berakhir dengan sangat memilukan. Haruskah Janice kembali keras kepala dan menunjukkan usahanya secara terang-terangan? Lalu ia akan kembali dipermalukan dengan telak? Oh tidak, mungkin tidak malam ini. “Aku sama sekali tidak keberatan.” Dengan penuh ketenangan Janice tersenyum ke arah Julian yang tampak mengeratkan genggamannya pada sendok dan garpu di kedua tangannya. Sesaat kemudian terdengar suara dentingan alumunium yang beradu dengan piring. Julian melepaskan sendok dan garpunya dengan kasar namun ia tetap menatap lurus ke arah Janice. “Sebenarnya apa yang kau inginkan, Janice?” Julian menelisik. Dirimu… “Aku ingin kita baik-baik saja.” Janice menjawab dengan susah payah. “Bodoh.” Gumam Julian dengan tajam. “Tidak ada kita diantara kau dan aku.” Janice menutup mulutnya rapat-rapat. Julian kembali memperingatkan dimana posisi Janice. “Aku tahu..” Jawabnya dengan pelan. Julian bangkit berdiri lalu meninggalkannya begitu saja. Pria itu berjalan menaiki tangga menuju ke lantai dua, ke tempat kamarnya berada. Menurut cerita dari pelayan yang sempat mengantar Janice ke kamarnya, Julian memiliki kamar luas di lantai dua dimana hanya ada dirinya sendiri dan semua barang-barang milik pria itu. Bahkan tidak ada satupun pelayan yang diizinkan masuk untuk bersih-bersih karena Julian tidak suka ruangannya didatangi oleh sembarang orang. Pelayan hanya akan mengambil pakaian kotor dan sampah di pagi hari setelah Julian selesai membereskan kamarnya. Lantai dua juga hanya bisa dibersihkan selama Julian tidak ada di rumah, jadi pelayan akan buru-buru membersihkan lantai dua sebelum Julian kembali pulang. Janice sempat merasa penasaran karena Julian terkesan dengan misterius hingga tidak ingin ada satupun orang yang berada di lantai yang sama dengannya selama ia sedang berada di kamarnya. Kata pelayan Julian tidak suka diganggu ketika sedang bekerja di ruangannya, oleh sebab itu tidak ada satupun pelayan yang naik ke lantai dua begitu melihat Julian pulang. Semua penjelasan itu membawa satu kesimpulan yang membuat Janice semakin sedih ketika menatap figur Julian yang terlihat dingin dan tegas, juga tatapan matanya yang selalu menyorot dengan tajam, dengan luka yang terpantul dalam iris gelapnya. Bahwa… bahwa Julian sangat kesepian. Fakta itu membuat Janice menahan napasnya selama beberapa saat. Janice… telah menghancurkan kehidupan Julian. Ia membuat Julian kacau dan kehilangan dirinya sendiri. Sekalipun keadaan Janice juga tidak berbeda jauh, namun Julian terlihat paling hancur. Bahkan balas dendam yang dilakukan oleh pria itu justru membuatnya tenggelam dalam luka yang ia pendam sendirian. Dan rasa bersalah kembali memenuhi hati Janice. Apakah salah jika Janice berusaha mendapatkan maaf dari Julian? Apakah terlalu egois jika Janice memohon untuk diampuni oleh pria itu? Masalahnya, Janice melakukan kesalahan yang tak termaafkan hingga dia sendiri tidak berani mengungkapkan betapa menyesal dirinya saat ini. Karena sampai kapanpun, akan selalu ada jurang besar di antara mereka yang menjadi korban dan pelaku kejahatan. Sayangnya, Janice adalah korban dan pelaku kejahatan tersebut. *** Begitu masuk ke dalam kamarnya, Janice langsung menuju ke kamar mandi setelah ia menyiapkan pakaian tidur. Tidak seperti interior rumah Julian yang sederhana, kamar Janice dilengkapi dengan banyak hiasan dinding yang terlihat elegan. Di sudut kamar terdapat ruangan lain yang merupakan walk in closet yang dilengkapi dengan dua lemari dinding dan juga meja rias yang berada tepat di tengah ruangan. Lemari tersebut dipenuhi dengan pakaian wanita yang kebetulan ukurannya sangat pas dengan tubuh Janice. Ada gaun malam untuk pesta, pakaian sehari-hari seperti celana pendek dan kaos, juga pakain formal seperti kemeja dan celana atau rok panjang. Semua pakaian terseut masih digantungi oleh bandrol harga yang menandakan jika pakaian tersebut masih baru. Selain pakaian, ruangan wardrobe Janice juga dipenuhi dengan make up dan juga aksesoris wanita seperti kalung, cincin, dan juga gelang yang bisa Janice pastikan berasal dari merk ternama. Dan jangan lupakan berbagai macam sepatu yang juga tertata rapi di rak bagian ujung. Janice sempat ternganga ketika melihat semua isi lemari tersebut. Sekalipun Janice dibesarkan di keluarga yang berkecukupan, selama ini ia tidak pernah memiliki banyak pakaian dan sepatu di waktu yang bersamaan. Janice lebih suka menabung uangnya dari pada membeli barang-barang fashion yang pasti akan terus berubah seiring dengan perkembangan mode. Syukurlah Janice bisa menemukan tas pakaiannya di sudut lemari yang masih kosong. Akhirnya Janice lebih memilih menggunakan pakaian lamanya dari pada menyantuh semua pakaian baru yang ada di lemari kamarnya. Entah kenapa Janice merasa takut jika tiba-tiba Julian mengatakan jika pakaian itu bukan untuknya, melainkan untuk orang lain. Ya, sekalipun itu jelas ketakutan tidak berdasar karena sudah pasti semua pakaian tersebut untuk Janice mengingat jika kamar ini adalah kamarnya. Kembali berbicara mengenai kondisi kamarnya, Janice sedikir heran ketika memperhatikan perbedaan yang cukup mencolok antara interior kamarnya dengan seluruh ruangan lain di rumah besar tersebut. Ketika rumah Julian cenderung bernuansa sederhana dengan cat putih dan beberapa aksen coklat dari lantai kayu, kamar Janice justru dicat berwarna pure lilac di bagian ujung ranjang sehingga menimbulkan kesan feminin yang terlihat menggemaskan. Ranjangnya berwarna putih dengan sperei putih juga, namun sarung bantal dan selimutnya berwarna ungu muda yang tampak pudar sehingga senada dengan dinding yang ada di baliknya. Sekalipun warna putih masih mendominasi, Janice sedikit senang karena interior kamarnya tidak terlalu membosankan seperti bagian ruangan lainnya. Janice suka kesederhanaan, tapi sesekali dia merasa bosan jika melihat sesuatu yang monoton. Setelah selesai dengan ritual bersih-bersih di kamar mandi, Janice akhirnya memilih untuk duduk di sudut ranjangnya yang empuk. Ia menatap ke sekeliling ruangan kamarnya yang cukup luas, bahkan dua kali lebih luas dari kamar di rumah orang tuanya. Janice tidak ingin membandingkan kamar ini dengan apartemennya karena jujur saja Janice baru menyadari jika selama ini ia tinggal di apartemen yang sangat kecil. Bahkan luas apartemennya hampir sama dengan luas kamarnya saat ini. Dalam hati Janice jadi bertanya-tanya. Jika Julian ingin menyiksanya untuk membalaskan dendam yang ia miliki, kenapa pria itu memberikan kamar indah yang terkesan cukup mewah? Bisa saja Julian memintanya tidur di kolong ranjang pria itu. Kedinginan dan juga ketakutan… Janice segera menggelengkan kepalanya. Tentu saja dia tidak sedang berharap Julian menyiksanya, bukan? Janice menghembuskan napas lalu mengeluarkan buku catatan yang ia simpan di dalam tasnya. Seperti yang sudah ia katakan tadi siang saat pertama kali sampai di rumah Julian, hari ini juga berakhir dengan sia-sia. Dengan pasrah Janice kembali menulis sederet kalimat singkat di lembar ketiga. Kebohongan ketiga: Aku cemburu pada hubungan Julian dan Callista.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD