Bab 11 Seseorang Yang Paling Dirindukan

2374 Words
Hari keempat... Janice bangun pada pukul 5 pagi, lalu seperti kebiasaannya ia akan mandi dan mengganti pakaian tidurnya. Setelah itu Janice keluar dari kamar dan mulai sibuk menyiapkan sarapan di dapur Julian yang tampak sangat mewah dengan kitchen set berwarna hitam yang tampak cukup mencolok diantara semua ruangan yang ada rumah pria itu. Peralatan memasak di dapur Julian tertata dengan rapi, bahkan pria itu memiliki lebih banyak alat dapur dibandingkan Janice. Rasanya Janice ingin berlama-lama menggunakan dapur Julian, tapi ia memutuskan untuk tidak membuat terlalu banyak makanan mengingat ini masih terlalu pagi untuk menikmati makanan berat. Janice hanya membuat roti isi keju dan daging, lalu ia juga memasak sup lengkap dengan nasi dan lauk pauk. Rencananya pagi ini Janice ingin membungkuskan bekal makanan untuk Julian. Benar-benar rencana yang nekat mengingat Julian pasti akan menolak makanan yang ia masak. Namun Janice rasa tidak ada salahnya jika ia mencoba untuk menunjukkan perhatiannya kepada pria itu. Bagaimanapun hasilnya, Janice akan tetap menerima karena sejak awal ia tahu jika pernikahan ini tidak akan pernah berjalan dengan lancar. “Kau… memasak?” Julian menaikkan alisnya ketika Janice datang dari arah dapur sambil membawa sepiring roti isi. Ia tidak menyangka jika Julian sudah duduk di meja makan mengingat sekarang masih pukul setengah 7 pagi. Janice buru-buru melangkah dan meletakkan semua makanan yang baru saja ia masak di atas meja. Janice melirik Julian takut-takut. Semua rencana yang sudah ia susun mendadak hancur begitu saja ketika ia menatap wajah Julian yang mengeras dengan dingin. “Aku membuat roti isi dan sup.” Janice menarik tangannya dari meja dan segera duduk di kursi terjauh yang bisa ia gapai sebab Janice tahu jika Julian tidak akan nyaman duduk di dekatnya. “Kenapa kalian diam saja? Bawakan masakan kalian.” Julian menolehkan kepala, menatap tajam ke arah para pelayan yang sedang berdiri dengan kaku di sisi meja makan. Janice ikut menatap mereka dengan cemas. “Aku meminta mereka untuk tidak memasak hari ini. Sebagai gantinya aku yang memasak..” Julian menundukkan kepala lalu tersenyum sinis. “Kau tidak memberikan racun di makananku, bukan?” Janice terperanjat, benar-benar tidak menduga jika Julian tega menanyakan pertanyaan semacam itu kepada istrinya sendiri. “Tentu saja tidak, Julian.” Janice mengambil roti isi ke piringnya lalu kembali menatap Julian. “Apakah aku perlu membuktikannya?” Julian menggeleng dengan pelan. “Tidak perlu. Sekalipun tidak ada racunnya, aku tetap tidak akan memakan masakanmu.” Ucap pria itu dengan tegas. “Aku membuatkan ini untukmu. Memang tidak seenak masakan para koki, tapi aku bisa menjamin rasanya tidak terlalu—” “Kau sadar jika masakanmu tidak enak tapi masih tetap memasak? Sungguh tidak tahu diri.” Julian berbicara dengan suara rendah yang begitu tajam. Janice menelan ludahnya sendiri. Ejekan itu jelas diucapkan Julian untuk merendahkannya di hadapan semua pelayan yang sedang menatap dengan kebingungan. “Aku hanya ingin mencoba—” “Dan menjadikan aku kelinci percobaanmu? Maaf, tapi aku tidak sudi menyentuh masakan hasil tanganmu.” Janice menggigit bibir bawahnya, berusaha keras untuk tidak menangis dan membuat posisinya terlihat semakin menyedihkan. Sungguh, Janice merasa tersiksa setiap kali Julian menatapnya dengan sinis. Dulu… dulu pria itu tidak pernah seperti ini. Dia memang pendiam dan cenderung tidak peduli pada orang disekitarnya, namun Julian bukan sosok dingin yang selalu berkata kasar. Namun tentu saja Janice tidak bisa berharap banyak mengingat jika salah satu alasan pria itu berubah adalah dirinya sendiri. Janice menghancurkan Julian… “Kau menangis lagi. Benar-benar semakin membuatku jijik.” Komentar Julian sambil menyambut anggur yang diberikan oleh pelayan. Janice menatap hasil masakannya dengan nanar. Ide memasak adalah hal terburuk yang terlintas di kepalanya. “Maafkan aku.” Janice mengusap air matanya lalu berusaha untuk bersikap biasa saja. Penolakan yang diberikan oleh Julian memang berhasil menusuk hatinya, membuatnya kehilangan kepercayaan diri yang sebenarnya memang sudah mengikis sejak pertama kali Julian menyampaikan tujuan pernikahan mereka. Namun Janice tidak ingin berhenti mencoba, ia masih berharap pada sesuatu yang sebenarnya sudah tidak ada harapan. “Kau pikir dengan meminta maaf maka semuanya akan baik-baik saja?” Julian merendahkan tatapannya, berusaha mengintimidasi Janice yang tampak mulai terguncang. Sejak awal menerima pinangan Julian, Janice telah mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan buruk yang akan ia terima. Namun ternyata, pada akhirnya Janice tetap kalah dengan tatapan Julian yang tampak tajam tapi juga menyimpan luka di dalam netra gelapnya. Tidak masalah jika Julian menyakiti hatinya ataupun fisiknya, namun tatapan pria itu melemahkan hati Janice. Membuatnya kembali merasa bersalah sekalipun tahun-tahun telah ia lalui dengan berat karena kebencian yang selalu orang-orang tunjukan kepadanya. “Aku tahu. Aku tidak bisa memperbaiki apapun.” “Benar, jadi kau tidak perlu meminta maaf. Cukup lakukan saja semua yang aku katakan.” Julian menyesap anggurnya sekali lalu bangkit berdiri tanpa repot-repot menyentuh roti isi buatan Janice. Juga meninggalkan kotak bekal yang telah Janice siapkan. Janice mengepalkan kedua tangannya, mencoba untuk melawan keinginannya untuk mengejar Julian dan memaksa pria itu untuk menerima kotak bekal darinya. Janice akan kembali menerima kalimat menyakitkan jika ia nekat mengejar pria itu. Namun… seperti biasanya, Janice selalu mengambil keputusan bodoh di detik-detik terakhir. Sama seperti pengakuan yang ia buat lima tahun lalu, juga saat ia menerima pernikahan yang Julian tawarkan ketika pria itu mengancamnya. “Julian!” Panggil Janice sambil berlari mengejarnya. Beberapa orang pelayan menatap Janice dengan horor karena mereka menyadari jika hubungan Janice dan Julian tidak harmonis meskipun mereka baru menikah selama beberapa hari. Ketika melihat jika Julian mulai kesal, para pelayan langsung membubarkan diri dan meninggalkan Janice yang masih berusaha mengejar Julian. Pria itu tidak berhenti melangkah… Sebuah kenyataan yang membuat hati Janice merasa sesak. “Julian!” Janice kembali memanggilnya. Begitu Julian berhenti untuk membuka pintu rumah, Janice berhasil meraih pergelangan tangannya. Ia menyelipkan tas berisi kotak bekal yang telah ia siapkan sejak pagi. “Kumohon terimalah makanan ini.” Julian menaikkan sebelah alisnya, menatap paper bag yang Janice berikan kepadanya dengan senyuman sinis yang tercetak dengan jelas di sudut bibirnya. “Kau ingin aku membuangnya?” Janice menatap Julian dengan ragu. “Kau akan membuangnya?” “Tentu saja. Apa yang kau harapkan dariku?” Janice kembali menggigit bibir bawahnya. Ia berusaha menemukan kalimat yang tepat untuk meyakinkan Julian, namun setiap kali berhadapan dengan pria itu, Janice selalu kehilangan kemampuan untuk berpikir. “Tidak bisakah kau menerimanya saja?” Julian terkekeh dan menatapnya dengan keengganan yang tidak berusaha ia tutupi. “Sebenarnya apa yang kau lakukan?” Janice menatap pria itu dengan ragu. “Tidak ada. Aku hanya ingin bersikap seperti seorang istri.” “Istri? Itu sebutan yang terdengar menggelikan karena sekalipun aku menikahimu, aku tidak pernah menganggap kau istriku.” Lagi-lagi Janice harus menerima kalimat yang menyakitkan. Ia memang memiliki kecenderungan untuk mendatangi masalah. Tapi Janice tidak memiliki banyak waktu.. ia tidak bisa diam saja tanpa bertindak dan berusaha untuk mendekati Julian. Hanya 49 hari… dan sayangnya Janice telah memakai waktunya sebanyak 4 hari dengan sia-sia. Mengingat jika Julian akan bekerja seharian yang artinya Janice tidak akan bisa menemui pria itu sebelum ia pulang, maka Janice tidak memiliki waktu lain selain pagi dan malam hari. Janice harus berusaha dengan maksimal untuk… untuk apa? Untuk menyelamatkan reinkarnasinya atau untuk mengembalikan kehidupan Julian? Karena sungguh, sekalipun Janice merasa tidak rela jika harus terlahir kembali sebagai hewan, sebenarnya Janice jauh lebih tidak rela jika Julian menghabiskan sisa hidupnya dengan rasa dendam yang semakin menghancurkan dirinya sendiri. Pria itu pernah mengajari Janice untuk memaafkan orang lain agar dia tidak hidup dalam penderitaan. Janice juga ingin melakukan hal yang sama sekalipun dengan cara menghancurkan hidupnya sendiri untuk menyelamatkan Julian yang sudah terlanjur tenggelam di dalam dendam. “Setidaknya terimalah makanan yang aku buat untukmu.” Janice masih tetap menatap dengan penuh harap. “Kau benar-benar tidak keberatan jika aku membuangnya?” Julian mengangkat kotak bekal yang Janice berikan dengan tatapan geli, namun juga tidak mengurangi kesinisan di ekspresi pria itu. “Tidak. Yang penting kau mau menerimanya.” Janice benar-benar berada di titik terendah dimana ia tidak memiliki pilihan selain mengikuti apapun yang Julian ingin lakukan asalkan pria itu mau menerimanya. “Kau tahu berapa banyak orang yang kelaparan karena tidak memiliki makanan, Janice?” Pria itu melangkahkan kakinya mendekat, mengintimidasi Janice dengan tatapan kerasnya. Janice beringsut memundurkan langkah secara otomatis. “Tidak, kau tentu tidak tahu. Putri dari seorang pengusaha kaya tentu tidak tahu bagaimana rasanya kelaparan dan ketakutan karena tidak memiliki uang.” Julian mengeraskan rahangnya ketika menyebut identitas Janice. “Apalagi kau dan keluargamu sudah terbiasa hidup mewah dengan uang yang berlimpah hingga kalian bisa membeli apapun yang kalian butuhkan, termasuk hukum negara.” Janice berdiri mematung, wajahnya mulai pucat ketika Julian mengungkit kejadian menyakitkan lima tahun yang lalu. Bukan hanya Julian, tapi Janice juga merasa tersiksa dengan kenyataan itu. Mungkin akan lebih baik jika saat itu Janice menerima hukuman sehingga ia tidak perlu menanggung rasa bersalah yang terlalu besar. Sekalipun tidak sebanding dengan kesalahannya, setidaknya Janice merasa jauh lebih lega jika ia menjalani hukuman setelah menghancurkan kehidupan seseorang. Tapi tentu saja semua itu tidak terjadi. Janice tidak dihukum karena kekuasaan ayahnya yang saat itu sedang berada di puncak kejayaan. Segalanya bisa dibeli dengan uang, termasuk hukuman yang seharusnya Janice terima setelah ia membuat pengakuan mengejutkan yang membuat pandangan semua orang berubah terhadapnya. Hukuman itu memang tidak Janice jalani, tapi hingga saat ini Janice menerima banyak sekali hukuman yang terasa jauh lebih menyakitkan daripada kematian sekalipun. “Terima kasih atas makanan ini, Janice. Tapi aku jelas tidak akan memakannya. Tidak akan pernah.” *** Janice membuka album foto lama yang masih ia simpan dengan rapi. Ini adalah salah satu benda terpenting di dalam hidupnya yang berhasil ia selamatkan dari amukan Callista lima tahun lalu. Kakaknya itu menghancurkan semua benda berharga milik Janice dengan membabi buta. Tidak ada yang bisa menghentikannya, bahkan ayahnya yang biasanya akan selalu berusaha mengendalikan Callista, malam itu ia hanya bergeming ketika menyaksikan Callista membakar kamar milik Janice. Di lembar pertama terdapat foto Janice yang sedang tersenyum sambil memperlihatkan gelang cantik miliknya. Janice ingat jika gelang itu adalah hadiah Julian yang diberikan saat ulang tahunnya ke 14. Cukup terlambat untuk disebut sebagai hadiah karena Julian baru memberikannya sekitar dua minggu setelah ulang tahunnya. Namun gelang itu menjadi benda kesayangan Janice hingga saat ini. Gelang sederhana berwarna perak dengan liontin bunga matahari yang terlihat sangat sederhana tapi begitu bermakna bagi Janice. Ia selalu menggunakan gelang itu selama bertahun-tahun, bahkan saat ukuran tangannya mulai membesar sehingga tidak bisa lagi mengenakannya, Janice selalu membawa benda itu kemanapun ia pergi. Ada satu waktu dimana Janice hampir kehilangan lengannya sendiri ketika ia berusaha mengambil gelang itu di ujung selokan rumahnya. Saat ini Janice masih menyimpan liontinnya karena memang hanya bagian itu saja yang berhasil ia selamatkan dari Callista ketika kakaknya menarik gelang miliknya lalu melemparkannya ke sembarang arah. Tangan Janice bergerak untuk mengambil kalung yang ia kenakan. Kalung perak dengan liontin berbentuk bunga matahari dari gelang pemberian Julian. Andai saja pria itu tahu betapa Janice menganggapnya sebagai orang yang paling penting di dalam hidupnya. Setiap kali mengingat tentang Julian, maka Janice tidak akan bisa menghentikan laju air matanya. Dadanya terasa sesak, membuatnya kesulitan menahan emosi dan rasa sakit yang menghujamnya tanpa ampun. “Kau sedang apa?” Janice menolehkan kepala, menatap Ezra yang lagi-lagi muncul di hadapannya. “Sedang melihat album fotoku. Dulu Papa memberikan album ini kepadaku, katanya aku harus mengisi seluruh halamannya dengan foto terbaikku. Aku baru saja memasang foto pernikahanku di lembar terakhir.” Janice menjelaskan dengan antusias. Entah kenapa dia selalu merasa senang setiap kali Ezra menemuinya. Pria itu memberikan pengaruh positif kepada Janice sehingga ia bisa berubah menjadi lebih cerewet dari biasanya. Ezra melirik ke arah foto yang Janice tunjukkan, pria itu mendengus pelan dan terlihat enggan menanggapi Janice yang terlalu antusias memperlihatkan foto pernikahannya. “Kau tampak sangat bahagia karena menikahi pria itu, tapi dia sebaliknya.” Janice ikut mendengus kesal. “Apakah kau juga memiliki tugas untuk menilai kebahagiaanku juga?” Ezra tertawa pelan. “Tidak, tapi aku hanya ingin memberitahu apa yang aku lihat dari interaksi kalian selama beberapa hari ini.” Janice menghembuskan napas dengan lelah. Tanpa perlu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Ezra pasti langsung tahu jika Janice dan Julian tidak memiliki hubungan yang harmonis hanya dengan melihat interaksi mereka. “Ya, memang seperti itulah.” Janice menatap album foto di hadapannya dengan sendu. “Aku merindukan dia yang dulu..” Katanya dengan pelan. “Memangnya berapa lama kalian saling mengenal?” Janice menyipitkan matanya. “Bukankah kau mengetahui semuanya tentangku?” Janice masih ingat jika saat pertama kali bertemu, Ezra mengatakan jika pria itu memiliki catatan lengkap mengenai dirinya. “Aku malas membaca semua catatan. Lagipula kebanyakan informasi mengenai klienku selalu mencantumkan hal yang tidak penting.” “Kalau kau ingin tahu tentangku dan Julian, silahkan baca saja catatan informasi itu.” “Catatanmu adalah yang paling membosankan. Semuanya dipenuhi dengan penjelasan betapa menderitanya hidupmu yang penuh dengan tangisan dan kesedihan.” Pria itu mengerang dengan kesal. Janice mengedikkan bahu. Ia sendiri baru menyadari jika selama ini hidupnya dipenuhi dengan kesedihan. Seingat Janice, ia juga pernah mendapatkan kebahagian. Tapi mungkin lima tahun terakhir Janice memang sangat jarang bahagia hingga ia lupa kapan terakhir kali tersenyum dan tertawa lepas. “Jadi.. kalian sudah lama saling mengenal?” Ezra ikut melihat lembaran foto di album yang sedang Janice bersihkan. “Ya, hampir seumur hidupku aku mengenalnya.” Tatapan Janice menerawang, mengingat bagaimana hari-hari menyenangkan dalam hidupnya ketika ia masih kecil. Saat itu Janice tidak memiliki beban apapun selain pertengkaran dengan Callista. Ia juga belum mengenal dendam, kecewa, dan juga penyesalan… benar-benar hari yang sempurna untuk seorang gadis muda. “Siapa ini?” Ezra menunjuk pada sosok pemuda yang berdiri di samping Janice. Mereka sedang tersenyum bersama dan tampak sangat… sangat bahagia. Janice menarik album tersebut ke dalam dekapannya. Berusaha untuk memeluk sosok tersebut. Mencoba untuk kembali menghadirkan bayangannya agar rasa sesak di d**a Janice sedikit berkurang. Namun tidak ada keajaiban yang terjadi. Sosok itu telah lama pergi meninggalkannya dengan semua kekacauan yang tidak mampu Janice bereskan seorang diri. “Kau menangis?” Ezra kebingungan. “Ya, karena aku sangat merindukannya..” Janice kembali menatap lembar foto tersebut. Seandainya saja Janice bisa memutar waktu, maka dia akan melakukan apapun untuk bisa menghadirkan sosok tersebut. “Siapa dia?” Ezra kembali mengulangi pertanyaan yang sama. Janice mencoba tersenyum di tengah tangisannya. “Dia adalah seseorang yang paling aku rindukan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD