Bab 9 Posisi Untuk Orang Berdosa

2109 Words
Hari ke tiga… Janice menatap Callista yang berjalan di ujung lorong rumah sakit sambil membawa buket bunga di dalam tangannya. Kakaknya itu tampak sangat cantik dengan kemeja biru muda yang dipadukan dengan mini skirt hitam diatas lutut. Ia juga mengenakan sepatu boots dan topi Fisherman yang tampak sangat cocok di rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan. Penampilan Callista yang terlalu mencolok jelas mengundang perhatian pengunjung rumah sakit, mereka menatap Callista dengan beragam reaksi, tapi kebanyakan dari mereka menatap Callista dengan kagum. Janice berdiri dengan kaku di samping Julian. Pagi ini Julian berencana membawa Janice ke lobi rumah sakit menggunakan kursi roda seperti yang mereka lakukan kemarin sata Janice harus bolak-balik melakukan pemeriksaan di lantai dan ruangan yang berbeda. Tapi Janice meyakinkan Julian dan mengatakan jika ia bisa berjalan sendiri. Julian sempat mengernyitkan dahi dan kebingungan, tapi akhirnya pria itu memilih tidak perduli dan berlalu begitu saja meninggalkan Janice yang mengekor di belakangnya. Benar, Janice berjalan di belakang Julian. Namun… ketika melihat Callista berjalan dari kejauhan, seketika sebuah perasaan cemburu memenuhi hati Janice. Ia bertindak dengan tiba-tiba dengan berjalan mendekati Julian lalu menggenggam lengan pria itu sekaan sedang berusaha menggandengnya. Julian menghentikan langkah, menatap Janice dengan kerutan di dahinya. Menggambarkan dengan jelas jika saat ini perasaan bingung jauh lebih dominan dari pada rasa kesalnya. “Callista sedang berjalan ke arah kita.” Julian menarik lengannya dengan kasar. Janice menelan ludahnya dengan susah payah. Penolakan Julian terlihat sangat jelas, tapi Janice tidak menyerah sehingga ia kembali menggenggam tangan Julian. “Aku tahu.” “Jadi lepaskan lenganku!” Julian mendesis dengan penekanan pada setiap kalimat yang ia katakan. “Kumohon.” Janice menutup matanya, berusaha menetralkan perasaannya yang bergejolak akibat melihat tatapan tidak suka dari Callista. Bahkan sekarang kakaknya sedang mempercepat langkahnya seolah tidak peduli lagi pada orang-orang di sekitarnya. “Kumohon jangan melepaskan tanganku.” Julian mendengus pelan, lalu mulai mengalihkan tatapannya dari Janice. Kini ia menatap lurus ke arah Callista seakan menegaskan jika perhatiannya hanya tertuju kepada wanita itu. “Kau ingin mengibarkan bendera perang dengan kakakmu?” Janice menundukkan kepalanya. “Kau suamiku. Seharusnya ini tidak disebut sebagai perang.” “Oh, aku tidak percaya telah menikahi perempuan naif.” Julian menatapnya dengan nanar. Dan dari tatapan tersebut, setetes air mata Janice kembali turun. “Tapi memang inilah tujuanku yang sebenarnya. Menyakiti hatimu yang naif.” “Jadi, tidak masalah jika aku menyentuh tanganmu?” Janice ingin mengubur dirinya hidup-hidup karena berani mengajukan pertanyaan yang sangat tidak tahu diri setelah Julian menegaskan dengan jelas dimana posisinya. “Apa kau cemburu pada hubunganku dengan Callista?” Janice tertegun. Ia ingin menjawab dengan jujur, tapi kejujurannya pasti akan membuat Julian semakin menertawakan kekonyolannya. “Tidak.” “Lalu untuk apa kau menggengam tanganku?” Julian kembali menarik tangannya, tapi kali ini Janice menggenggam dengan lebih erat sehingga pria itu tidak berhasil melepaskannya. “Kau suamiku..” Julian mendengus dengan sinis, pria itu menatapnya dengan enggan lalu menghembuskan napasnya. “Baiklah, bukan aku yang akan menghadapimu, tapi Callista.” Lalu setelah itu Janice merasa jika rambutnya ditarik dengan keras hingga ia terjerembab ke atas lantai. Pelakunya tentu saja Callista yang sekarang sedang menatapnya dengan tajam. “Kau sudah gila? Kenapa menyentuh tangan Julian?” “Callista, kita sedang ada di rumah sakit.” Julian memperingatkan dengan tenang. “Aku tidak peduli. Kenapa kau diam saja ketika ia menggenggam tanganmu?” Callista menolehkan kepala, Julian juga menjadi korban amukannya karena dia sedang merasa kesal. Tidak Janice sangka, Julian mengulurkan tangannya dengan enggan. Ia membantu Janice berdiri lalu setelah memastikan jika Janice bisa berjalan sendiri, pria itu melangkahkan kakinya dengan cepat bersama dengan Callista yang masih mengomel di sepanjang lorong. Mereka pergi begitu saja dan meninggalkan Janice yang masih mematung sendirian. Janice mengedarkan matanya, melihat jika sekarang ada banyak orang yang sedang menatap prihatin ke arahnya. Mereka memang tidak mengenal siapa Janice, tapi kemungkinan besar mereka mengenal nama dan wajah Callista. Akhirnya, sambil mengusapkan air matanya, Janice berjalan dengan pelan untuk mengikuti Julian dan Callista yang sudah berada jauh di depannya. Namun hal yang tidak Janice sangka kembali terjadi. Julian masuk ke dalam mobil Callista, lalu mereka pergi begitu saja. Kembali meninggalkan Janice yang sedang berdiri bagaikan orang bodoh. *** “Kau tidak ingin bunuh diri, bukan?” Janice menolehkan kepalanya, menatap Ezra yang tiba-tiba saja bersandar di ujung rooftop rumah sakit. Pria itu selalu datang tiba-tiba dan pergi begitu saja. Tapi saat ini Janice bersyukur karena pria itu datang menemuinya. Setidaknya Janice tidak terlihat terlalu menyedihkan karena berdiri sendirian setelah ditinggalkan oleh suaminya yang lebih memilih pergi bersama dengan Callista. “Tatapanmu membuatku yakin jika kau memang ingin bunuh diri.” Ezra menatapnya dengan ngeri. Janice tertawa pelan. “Tentu saja tidak. Kenapa aku harus bunuh diri jika sebentar lagi aku akan mati?” Ia mengusap air matanya yang kembali menetes ketika mengingat kehidupannya yang sangat menyedihkan. Janice jarang mengasihani dirinya sendiri. Tapi saat ini ia tidak bisa menghindari rasa sedih ketika menyadari fakta bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan kehidupan Janice, tapi rasanya cukup berat jika dia harus menghitung hari dan memperkirakan penyebab kematiannya sendiri. “Kau memang sangat menyedihkan, Janice.” Gumam Ezra. Janice mengangguk. “Aku tahu.” Ezra mengangkat pandangannya, mengernyitkan dahi lalu menghembuskan napas dengan pelan. “Kau klien paling menyedihkan yang pernah aku temui selama dua tahun terakhir.” Janice menolehkan kepala, seketika merasa antusias ketika mendengar sepenggal cerita Ezra tentang pekerjaannya. Atau mungkin Janice bisa menyebutnya sebagai tugas? Entahlah, Janice sendiri tidak bisa berhenti merasa penasaran sejak ia pertama kali bertemu dengan Ezra. “Apakah selama dua tahun ini ada yang gagal memenuhi tugas Dewa?” Tanya Janice. “Aku tidak bisa asal bercerita padamu. Lagipula aku sudah bersumpah untuk menjaga privasi klienku.” Ezra menjawab dengan kesal. Janice tidak mengerti kenapa semua orang selalu terlihat kesal kepadanya. Apakah tingkah Janice memang selalu menyebalkan? “Jadi kau juga tidak akan menceritakanku kepada siapapun?” “Untuk apa aku menceritakan tentang dirimu?” Ezra menatapnya dengan horor. “Lagipula kau adalah—” Pria itu menjeda kalimatnya lalu menggeleng dengan pelan. “Sudahlah, lupakan saja.” Janice kembali pada ekspresi muramnya. Berbicara dengan Ezra berhasil membuat Janice melupakan kesedihannya karena ditinggalkan oleh Julian, tapi mengetahui jika pria itu tidak ingin menceritakan apapun kepadanya membuat Janice kembali bersedih. “Kenapa kau ingin tahu sekali, sih?” Ezra memutar bola matanya, tampaknya ia sadar jika Janice kembali murung. “Tidak tahu, aku hanya senang karena memiliki teman.” “Sejak kapan aku menjadi temanmu?” Ezra menaikkan sebelah alisnya, menatap Janice dengan kebingungan. “Bahkan kau tidak mau menjadi temanku.” Janice menarik napasnya dengan lunglai. Bahunya ikut bersandar pada tembok yang ada di sisi kanan Ezra, mereka berdua sama-sama menatap ke arah pintu penghubung antara atap dengan tangga darurat. “Aku tidak tahu mengapa Dewa memberikan waktu tambahan untukmu, tapi kurasa Dia tidak random seperti yang selama ini aku pikirkan.” Janice menolehkan kepala. “Apa?” “Dari yang kulihat, suamimu sangat membencimu, ya?” Janice mengangguk, tidak berusaha menutupi fakta yang ada. “Sejujurnya aku tidak terlalu ingin tahu apa yang menjadi masalahmu, tapi dari yang kulihat—” “Kau terlalu banyak melihat.” Janice berkomentar dengan muram. “Hei, dengarkan aku dulu.” Janice tertawa pelan, lalu kembali menolehkan kepala dan melakukan apa yang Ezra katakan, yaitu mendengarkan pria itu. “Aku sedikit memahami bagaimana cara pikir suamimu.” “Bagaimana?” Janice bertanya dengan antusias. “Dia sangat membencimu dan berharap kau mati dalam kecelakaan itu.” “Aku juga tahu itu..” Janice menggerutu. Ezra meringis, tampak sedikit merasa bersalah karena membuat Janice semakin bersedih. Oh sungguh, sebenarnya ini bukan tugasnya. Ia tidak harus menghibur atau menemani Janice, tapi entah kenapa Ezra merasa… prihatin kepada wanita itu. “Tapi dia masih sedikit perhatian kepadamu. Buktinya dia mau menemanimu di rumah sakit.” Lanjutnya dengan ragu. “Kau ingin menghiburku, ya?” Janice tersenyum sambil menyipitkan matanya. “Yang benar saja. Aku hanya ingin berusaha memberi tahu sesuatu.” Ezra mengelak, namun Janice tidak bisa menahan tawanya karena melihat raut panik di wajah Ezra. *** Janice akhirnya pulang ke rumah Julian menggunakan mobil pria itu yang ternyata sudah siap di depan lobi rumah sakit. Seorang pria paruh baya menghampirinya dan memperkenalkan diri sebagai sopir yang sengaja Julian suruh untuk mengantarnya. Tadi Janice terlalu cepat mengambil kesimpulan dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke atap rumah sakit dengan alasan ingin menenangkan diri. Tanpa Janice tahu, beberapa saat kemudian sopir Julian datang dan kebingungan mencarinya. Berulang kali Janice mengatakan pemintaan maaf karena membuat pria itu menunggu teralu lama, dan sopir tersebut mengatakan agar Janice berhenti meminta maaf karena menurutnya Janice tidak salah. Setelah menempuh perjalanan selama hampir satu jam, akhirnya Janice tiba di sebuah rumah yang berada di ujung gang panjang dengan pepohonan rindang yang menghiasi sisi kanan dan kirinya. Suasana hati Janice berubah melankolis ketika menatap puncak gunung yang ditutupi oleh kabut pekat dari ujung jendela mobilnya. Rumah Julian memang sangat dekat dengan hutan dan puncak gunung yang menjadi batas kota tempat tinggalnya dengan kota lain. Pria itu memilih untuk tinggal di pinggir kota yang tenang dan memiliki udara sejuk. Mungkin karena ia bosan dengan suasana kota dengan seluruh hiruk pikuk keramaiannya. Seorang pelayan datang memayungi Janice ketika ia baru turun dari mobil. Ternyata sudah mulai gerimis padahal hari masih pagi dan langit belum terlalu gelap. Janice tersenyum ramah dan menyapa pelayan tersebut untuk sekedar berbasa-basi. Namun reaksi yang Janice terima sungguh tidak terduga. Pelayan itu menatapnya dengan kebingungan seakan ia baru saja melihat alien yang turun ke bumi menggunakan pesawat kertas. “Nyonya… anda bicara pada saya?” Janice celingukan, menatap ke sekitarnya yang memang tidak ada orang lain lagi selain mereka berdua. Bahkan pelayan itu rela berjalan sedikit di belakangnya sehingga membuat pungungnya terkena gerimis. “Memangnya ada orang lain di sini?” Tanya Janice sambil tersenyum. “Tentu saja aku berbicara kepadamu.” “Oh, maafkan saya.” Pelayan tersebut terlihat menyesal. Jarak pintu utama dari tempat parkir mobil sekitar 20 meter sehingga tidak lama kemudian Janice sudah berdiri di ujung undakan untuk memencet bel yang memang tersedia di sisi kiri pintu. Rumah Julian memang sangat luas, sesuai dengan gambaran ayahnya beberapa minggu yang lalu saat pria itu mengunjungi Janice setelah pulang dari rumah Julian. Ada tanah kosong di sisi kiri dan kanan, sementara di bagian tengah terdapat jalan setapak yang beralaskan batu-batu kecil berwarna hitam pekat dengan sedikit aksen hiasan di bagian ujungnya jalan. Ada sebuah air mancur di perbatasan antara jalan dengan tangga menuju ke pintu utama. Janice sedikit mengernyitkan dahi ketika melihat desain rumah Julian dari ujung pagar hingga ke depan pintu. Biasanya, jika orang memilih gaya rumah seperti ini, maka mereka akan menanam bunga atau tumbuhan apapun di sisi kanan dan kiri tanah yang masih kosong, bisa juga menanam bunga untuk mengitari kolam air mancurnya yang berbentuk lingkaran sehingga membuat rumah tampak jauh lebih hidup. Tapi sepertinya Julian tidak terlalu menyukai tanaman. Seingat Janice, sejak ia keluar dari jalan utama dan masuk ke gang panjang menuju ke rumah Julian, ia hanya melihat tanaman rimbun di sisi jalan saja. Begitu masuk ke pagar rumah, Janice tidak menemukan satupun tumbuhan seakan halaman rumah tersebut sengaja dibuat kosong sehingga tampak kering keronta. Janice jelas tidak perlu meragukan selera Julian dalam memilih desain rumah mengingat jika pria itu memiliki hotel mewah dengan penataan yang sangat indah dan juga… rindang. Tapi ia sedikit terkejut ketika melihat betapa keringnya rumah Julian yang terletak di tengah hutan. “Nyonya tidak perlu memencet bel.” Pelayan tersebut meringis dan menarik tangan Janice dengan ragu. Janice melirik smartdoor lock yang tersedia di samping gagang pintu. Mereka tentu saja tidak bisa membuka pintu itu dengan sembarangan karena pintu itu dikunci dengan sandi yang kemungkinan juga dilengkapi oleh sidik jari. “Anda hanya perlu menggunakan sidik jari saja.” Pelayan itu meletakkan jari telunjuk Janice untuk membuka pintu. Dan ajaibnya pintu itu langsung terbuka. Janice menatap dengan takjub. Bukan, bukan karena ia tidak pernah melihat pintu yang dibuka menggunakan sidik jari. Pintu apartemennya juga dilengkapi oleh teknologi sejenis. Janice terkejut karena… karena sidik jarinya terdaftar dan bisa digunakan untuk membuka pintu rumah Julian. Bagaimana bisa? Bukankah dia tidak pernah datang ke rumah Julian sebelumnya? Seingatnya dia juga tidak pernah mengirimkan sidik jarinya kepada Julian. Oh tunggu dulu, Janice memang sangat bodoh! Bagaimana mungkin dia bisa mengirimkan sidik jari? Apakah dengan cara memotong jarinya sendiri? Janice meringis ketika menyadari pemikirannya yang konyol. “Apakah Julian sudah sampai di rumah?” Tanya Janice sambil menolehkan kepala. Ia berhasil bertanya setelah menetralisir ekspresi takjubnya. “Ah, beliau tidak pernah ada di rumah sebelum tengah malam.” Janice membelakkan matanya. Jadi… hari ini juga berlalu dengan sia-sia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD