“Undangan pernikahanku dengan Mas Aris untuk minggu depan. Kamu datang ya.”
Anissa mengangkat kedua alisnya, mulutnya ternganga melihat nama suaminya sudah tercetak rapi dengan nama sahabat dia sendiri, bahkan hal itu sudah tercetak sebelum dirinya resmi berpisah dengan Aris.
Perempuan berhijab instan itu mengulurkan tangannya dengan tegas. “Oke, terima kasih. Akan aku usahakan untuk datang ke pernikahan kalian. Selamat ya, kamu sudah berhasil menempatkan posisi dihati bekas suamiku. semoga, pernikahan kalian berjalan dengan lancar.”
Emi menyunggingkan bibir. “Oke, aku akan menantikan kehadiranmu.”
Anissa berusaha untuk tersenyum meski tak dapat dipungkiri hatinya begitu sakit. Ia pun segera meninggalkan tempat yang menjadi perpisahan kisah cintanya dengan lelaki yang sudah menemani kisah hidupnya selama 3 tahun.
Dia pun berjalan layaknya seseorang yang terlambat masuk kerja, kakinya berayun dengan cepat untuk menemukan sekadar tempat yang luas untuk meluapkan emosinya saat ini.
Air mata itu jatuh kembali begitu banyak yang entah ke berapa kali ia menangisi lelaki yang begitu dicintai. Tangannya bertumpu di bahu kursi taman rasanya ia tak mampu menopang tubuhnya.
“Kamu tega banget sama aku, Mas. Jadi, selama ini aku kalian benar-benar bermain lebih jauh dari pertimbanganku. Sakit sekali hati ini melihat surat undangan di tanganku.” Anissa meremas surat undangan yang begitu mewah lebih dari undangan pernikahannya dahulu.
Undangan yang didesain warna hijau sage di mana warna itu warna kesukaannya dan minggu depan bertepatan ulang tahun dirinya. Ah, rasanya hati seorang wanita yang baru melepas status istri itu seperti diremas-remas. Deru napas begitu sesak untuk sekadar menghirupnya, tangannya memegang dadanya yang begitu sakit.
Kalian memang kejam denganku, perselingkuhan ini seperti sudah direncanakan oleh kalian. Aku benar-benar gak menyangka denganmu, Mas yang sudah berjanji untuk saling setia dan saling menguatkan.
Anissa beranjak dari duduknya, dia pun kembali menuju ke jalan utama dengan menunggu angkutan umum untuk kembali ke rumah sakit.
Sebuah mobil berjalan lalu menuju ke arah perempuan itu sampai sang pemilik membukakan kaca mobilnya. “Ayo, naik!”
Anissa mengerutkan dahi, ekor matanya melihat sang pemilik mobil dengan jelas. “Saya tidak mau merepotkan orang yang tidak ikhlas lagi. Nanti, disuruh bayar lagi. Toh, yang kemarin kan belum saya bayar.”
“Hutangnya akan terbayar setengah kalau Anda segera masuk ke mobil tanpa basa-basi,” tekan Refal.
“Basa-basi? Maksud Anda apa bilang begitu?”
“Sudah, buruan masuk. Gak mau kan, air matamu kelihatan sama keluarga suami kamu yang sedang jalan ke sini,” kilah Refal.
Anissa pun tersentak kaget, hingga akhirnya ia memilih untuk masuk ke dalam mobil itu dengan cepat. Padahal, itu hanya tipu daya lelaki itu agar masuk ke mobilnya tanpa berdebat lebih panjang.
“Sedih amat tuh muka. Sudah berapa liter air matamu terbuang sia-sia?” Refal memutar setir.
Tangannya seketika mengusap kedua pipinya ke arah samping. “Apaan sih. Saya gak nangis kok,” kilahnya.
“Tuh kan, gitu aja Anda sudah mengakui bahwa Anda habis menangis, lemah tahu gak sih,” Refal seakan menyudutkan perempuan itu sampai membuat kedua tangannya mengepal.
Rasanya, Anissa ingin menyumpal mulut lelaki berwajah dingin dan pedas bicara.
Dasar, gak tahu apa kalau ini tuh rasanya sedih banget dan sakit diambil sahabatnya sendiri.
“Kenapa diam? Merasa sedih ditinggal suami diambil sahabat sendiri? Hadeuh, dasar perempuan suka gak pakai logika emang!”
“Anda bisa ya ngomong dengan mudahnya begitu! Anda belum pernah ya merasakan ditinggal oleh orang yang dicintai?” Anissa melantangkan ucapannya.
Sementara itu, Refal tertawa terbahak-bahak melihat respons Anissa. “Hadeuh, Anda lupa? Saya ini manusia ya sama pernah merasakan orang yang saya cintai meninggalkan saya dan dia sudah tidak dunia. Masih mending Anda, mungkin beberapa lama Anda bisa merebutnya kembali. Tapi, tidak dengan saya yang sudah meninggalkan dunia ini.”
Anissa tertegun dengan kata-kata Refal yang mungkin lebih sakit merasakan ditinggal oleh orang yang dicintainya. Namun, Anissa heran dengan lelaki seperti itu yang begitu tegar dan justru merespons remeh dengan masalah yang dihadapi dirinya.
“Saya tidak sedih kok, dan sebagai orang yang sudah dibuang tidak akan lagi saya menanti kedatangannya kembali.”
“Sudah saya bilang, Anda itu tidak sendiri. Masih banyak yang lebih pedih dari Anda, bahkan sampai kehilangan anaknya. Jadi, tidak sepantasnya menangisi lelaki pecundang seperti itu.”
Anissa terdiam melihat seisi jalan raya, seketika otaknya dapat berpikir dengan baik setelah mendengar sedikit saran dari lelaki berwajah dingin itu. Ada kalanya, dia harus melupakan Aris dan membuka lembaran baru untuk menyambungkan hidupnya kembali dengan sendirian.
Ekor mata Refal melihat benda yang sedang perempuan itu pegang. “Oh, mereka akan langsung menikah?”
Anissa melirik lelaki itu lalu menyembunyikan surat undangan yang dipegang. “Apaan sih, kepo banget! Bodo amatlah, kalau mereka mau nikah mah.”
Refal menutup mulut dengan tangan yang melingkar. “Raut wajahmu itu menggambarkan rasa tidak ikhlas. Padahal, kalau mereka menikah itu justru bagus.”
“Bagus apanya!” Anissa membentak lelaki itu, datangnya Refal membuat Anissa kesal sebab tidak ada rasa belas kasihan dengannya seperti orang yang menaruh dendam.
“Ya bagus dong. Penyesalan mereka akan segera datang, Anda bisa datang di acara pernikahan itu. Tapi ….”
Anissa menatap lelaki itu dengan tajam, dia begitu penasaran dengan sosok Refal yang dingin tapi penuh dengan misterius. “Tapi, apa?”
“Anda, jangan datang acara itu dengan sendiri. Jika, Anda datang acara pernikahan itu dengan sendiri mereka akan lebih menertawakan Anda.”
“Maksud Anda? Saya harus bawa pasangan?”
“Iyalah. Saya siap kok, menemani Anda di acara itu,” tawar Refal dengan entengnya.
Anissa melotot dengan tegas. “Tidak … tidak! Saya akan tetap datang dengan sendiri!”
Refal membanting setir ke berlawanan arah, hingga membuat Anissa semakin murka. “Saya mau ke rumah sakit, kenapa Anda banting setir ke sini?”
“Saya itu kasih saran ke Anda, tapi respons Anda memang tidak ada rasa terima kasihnya ya sudah mau saya dampingi. Di mana-mana, orang cari pasangan untuk menghadiri pesta pernikahan. Lah ini, sok-sok nolak.”
Perempuan itu menghela napas. “Jangan bandingkan saya dengan orang lain! Sekarang antar saya ke rumah sakit lagi mau bayar rawat inap.”
“Anda tuli, kalau saya sudah bayar dengan lunas?”
“Saya mau ambil koper juga. Siapa tahu, koper saya masih ada di sana.”
Refal menunjuknya dengan dagu, “Kopermu ada di jok belakang.”
Anissa pun melihat ke arah belakang, ternyata benar Refal yang sudah menyembunyikan koper miliknya. “Dasar, penipu!” gumam Anissa.
Lelaki itu pun menyunggingkan bibirnya. “Penipu yang masih memiliki belas kasih dengan mangsanya.”
Perempuan yang masih bersedih atas masalah yang baru saja ia alami seperti digulung ombak laut yang bertubi-tubi dalam waktu sekejap ditambah harus berhadapan dengan penolong tapi, rasanya seperti mengejek dirinya yang membuatnya geram.
“Turunkan saya sekarang,” pinta Anissa dengan lembut.
“Tidak akan, sebelum Anda mau saya temani di acara itu.”
Anissa menghembuskan napas dengan pelan. “Turunkan saya sekarang! Dan saya ingatkan, saya tidak akan mau ditemani oleh Anda!”
“Oke, berarti perjanjian yang ada di rumah sakit itu saya anggap Anda setuju sebab telah menolak setengah bayaran ini.”
“Tetap tidak! Anda sudah gila, mana ada perempuan masih masa iddah dianggap pacar pura-pura! Saya tetap tidak mau dua-duanya! Sekarang, saya minta nomor rekening Anda biar saya bayar lunas dengan uang!” bentak Anissa.
“Sudah saya bilang, saya tidak mau dibayar dengan uang! Jadi, saya harap Anda tidak menolaknya!”
“Turunkan saya, atau saya lompat dari sini sekarang!” Anissa membuka pintu mobil sampai terbuka saat dirinya siap melompat ke bawah.