LIMA

1686 Words
Satu tahun berlalu. Rama, Airin dan Dea kini duduk di bangku kelas tiga SMA. Sebentar lagi, ketiganya akan lulus dari bangku SMA. Sore ini, Rama dan Airin tengah menikmati kesejukan pantai, menunggu terbenamnya matahari. “Airin, setelah lulus nanti, kamu mau kuliah dimana?” tanya Rama. “Belum tau. Kenapa?” tanya Airin. “Gimana kalau kita kuliah di tempat yang sama?” tanya Rama. Airin sempat terdiam cukup lama. Kemudian ia menjawab, “Boleh.” Rama memberikan sebuah kelapa muda segar pada Airin. Airin segera meminumnya perlahan sembari menatap lurus ke depan. Beberapa saat kemudian ia menatap Rama. “Ram, makasih ya selama ini kamu udah sayang banget sama aku.” Airin. Rama pun menoleh sembari tersenyum. “Harusnya aku yang mengucapkan terima kasih. Karena kamu, sudah datang ke dalam hidup aku.” Rama. Airin tersenyum. Setetes air matanya jatuh. Namun dengan segera Rama menghapusnya. “Kok nangis? Kenapa?” tanya Rama. “Aku beruntung mengenal pria sepertimu. Tuhan benar-benar baik mengirimkanmu untukku.” lirih Airin. Rama membawa gadis itu ke dalam pelukannya. “Kamu adalah hal terindah yang Tuhan kirim untukku, Airin. Aku sangat mencintaimu. Mungkin semua orang di luar sana menganggap ini Cuma cinta monyet. Tapi enggak. Aku benar-benar mencintai kamu. Aku ingin bersama dengan kamu selamanya.” Rama. “Aku juga cinta sama kamu. Kamu adalah malaikat yang telah merubah segala deritaku menjadi tawa. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan ada orang sepertimu yang datang ke kehidupanku.” Airin. Di suatu hari, Rama berkunjung ke rumah Airin. Airin bilang jika Rangga ingin bertemu dengan Rama. Dan mereka pun makan siang bersama. “Makasih ya Ram, kamu sudah membuat Airin tersenyum selama ini. Aku lihat dia banyak berubah sejak kenal kamu.” Rangga. “Iya, Kak. Senyum Airin adalah kebahagiaan untukku. Jadi aku akan selalu membuatnya tersenyum.” Rama. “Sama halnya denganku. Setelah kepergian kedua orang tuaku, hanya Airin yang aku miliki. Dan apapun yang terjadi ke depannya, semoga tragedi kedua orang tua kami nggak akan terulang sama kalian.” ujar Rangga. Rama menyeritkan keningnya. Penasaran akan kisah yang dianggap “tragedi” oleh Rangga itu. Memang apa yang terjadi pada kedua orang tua Airin dan Rangga? “Memang, ada apa sama mereka?” Rama. “Mama meninggal karena...” ucapan Rangga terpotong setelah mendapat tatapan tajam dari Airin. Rama pun segera menyadari jika kekasihnya itulah yang membuat perkataan Rangga terpotong. Ia dapat menangkap raut kesedihan dari wajah Airin. Mungkin Airin tidak siap membuka luka lama itu sekarang. “Nggak papa jika kalian tidak bisa cerita. Mungkin menyakitkan bagi kalian jika harus mengingat kembali semua itu.” ujar Rama yang mengerti akan tatapan Airin. “Oh iya Kak, besok kan libur, boleh tidak jika aku ngajak Airin jalan-jalan seharian?” Rama. “Selama kamu janji jika Airin akan selalu bahagia, silahkan!” Rangga. “Aku janji, Kak.” Rama. Rangga membelai rambut Airin dan tersenyum ke arah adik kesayangannya itu. Seperti yang direncanakan. Pagi ini Rama menjemput Airin di rumahnya. Rama membawa Airin ke pantai yang sangat indah. Memang, pantai adalah tempat paling disukai Airin. Keduanya berjalan berdampingan menyusuri pinggiran pantai. Setelah merasa cukup lelah, mereka berhenti dan duduk di bawah pohon kelapa. “Aku belikan minuman dulu ya!” ujar Rama. Setelah beberapa lama, Rama pun kembali. Ia memberikan sebotol minuman dingin pada Airin. “Kamu kenapa? Kok di tutup-tutupin gitu?” tanya Rama melihat Airin yang menutup hidung dan mulutnya dengan tangannya. “Ram, bisa tolong beliin tissue nggak?” tanya Airin. Karena merasa tak mendapat jawaban atas pertanyaannya, Rama menarik tangan Airin yang menutupi sebagian wajahnya itu. Mata Rama membolat melihat cairan merah yang keluar dari hidung Airin. “K.. kamu kenapa? Kamu sakit?” panik Rama. “Ram, tissue.” ujar Airin lirih. Tanpa memperdulikan permintaan Airin, Rama menggendong gadis itu ke arah mobilnya. Ia menutup telinga dari semua rengekan Airin yang memintanya berhenti dan menurunkannya. Rama segera mendudukan Airin di sebelah bangku kemudi, kemudian ia masuk dari sisi yang lain. Sampainya di dalam mobil, Rama membantu Airin membersihkan darah di sekitar hidungnya dengan tissue. “Kamu kenapa? Kamu sakit ya? Kita ke rumah sakit aja ya! Ck, kamu kok nggak bilang sih kalau lagi sakit? Kalau gitu kita bisa undur lain waktu ke pantainya, Rin.” ajak Rama yang merasa sangat khawatir. “Enggak Ram. Aku kecapekan aja. Soalnya aku memang jarang panas-panasan di pantai. Kalau ke pantai biasanya aku sore. Tapi aku nggak papa kok, ini istirahat sebentar juga capeknya hilang.” Airin. “Tapi kamu pucat, Rin.” Rama. Airin tersenyum. “Kamu jangan lebay deh! Aku nggak papa kok. Mungkin karena lapar saja. Ayo  kita makan siang!” ajak Airin. Rama tak dapat menghilangkan rasa khawatirnya begitu saja. Ia menggeleng dan segera menghidupkan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. “Ram, kita mau kemana?” tanya Airin. “Kita harus ke rumah sakit.” ujar Rama. “Aku nggak mau, Rama. Aku mau makan. Ayo kita cari tempat makan aja!” tolak Airin tegas. Rama menggeleng. Ia benar-benar takut jika Airin kenapa-napa. “Rama, aku mohon stop! Aku nggak mau ke rumah sakit!” isak Airin. Rama bingung dan semakin khawatir melihat Airin menangis. Akhirnya ia menepikan mobilnya. “Please jangan nangis! Aku minta maaf ya?” ujar Rama sembari menghapus air mata Airin. Airin langsung memeluk Rama begitu saja. Ia menangis di dalam pelukan Rama. “Aku nggak mau ke rumah sakit, Rama. Please jangan bawa aku ke sana. Aku nggak suka.” lirih Airin. “Aku cuma yang terbaik untuk kamu, Airin. Aku cuma nggak mau kalau kamu kenapa-kenapa.” Rama. Airin melepas pelukannya. Ia menatap sendu mata Rama. Sementara Rama masih terus menghapus air mata Airin. “Tapi nyatanya aku memang kenapa-kenapa. Aku tidak baik-baik saja, Ram.” lirih Airin. “Apa? Apanya yang sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya?” panik Rama. Airin menggeleng. Ia kembali meneluk Rama. Rama pun semakin khawatir di buatnya. “Nggak akan ada gunanya. Aku, mengidap kanker darah, Ram.” ujar Airin ragu. Rama tertawa. Ia menganggap ucapan Airin hanya gurauan semata. “Kamu nggak usah bercanda deh, Rin! Ini aku beneran lagi khawatir loh.” Rama. “Aku serius, Rama. Aku mengidap kanker darah sejak empat tahun lalu. Dan sekarang, kanker yang aku derita sudah memasuki stadium empat. Tidak akan ada gunanya kamu membawaku ke rumah sakit, karena bahkan mereka sudah menyerah.” Airin melepas pelukannya. “Tap.. tapi... nggak. Nggak mungkin lah, Airin. Kamu itu sehat. Nggak mungkin kamu mengidap penyakit mematikan seperti itu. Jangan nakut-nakutin aku, Rin.” Rama. Airin menggeleng. Air matanya masih terus menetes. “Kamu tau, dua tahun lalu Mamaku meninggal karena penyalit ini. Dan Papa yang frustasi memilih mengakhiri hidupnya dan meninggalkan aku serta Kak Rangga. Dan sekarang, aku juga harus merasakan apa yang Mama rasakan dulu, Rama. Aku sekarat. Dan sebentar lagi aku mungkin akan menyusul Mama dan Papa.” Airin. Mata Rama mulai berkaca-kaca. Ia menggeleng. “Nggak. Nggak mungkin, Airin. Kamu baik-baik aja kan? Kamu bohong kan? Katakan kalau kamu cuma bercanda! Katakan, Rin!” Rama tak percaya dengan apa yang barusam ia dengar. “Aku serius, Ram. Tolong terima kenyataannya. Dan aku minta, kamu tidak mengulangi kesalahan besar yang telag Papa lakukan. Ada banyak orang yang sayang sama kamu dan menunggu untuk kamu bahagiakan di sini.” Airin. Memori Rama kembali pada saat liburan mereka ke Bali. Saat di kamar Airin, Rama menemukan beberapa obat yang Airin bilang itu vitamin. Tapi sepertinya kecurigaannya saat itu benar. Bahwa ada sesuatu yang Airin sembunyikan. Rama memukul keras stir dan beberapa kali menjambak rambutnya. “Kamu harus janji Airin! Kamu harus sembuh. Kamu nggak boleh ninggalin aku!” Rama menggoncangkan tubuh Airin. Airin menggeleng. “Tidak ada yang bisa ku janjikan, Ram. Bisa bertahan selama ini pun merupakan keajaiban buat aku.” Airin. “Kita bisa mencari pengobatan yang terbaik. Aku akan cari informasi tentang pengobatan di luar negeri. Kamu tenang saja ya!” ujar Rama yang masih berusaha berpikir positif. Sepertinya pria itu benar-benar mencintai Airin dan tidak ingin kekasihnya itu pergi. “Aku capek, Ram. Aku capek harus terus-terusan melawan takdir. Sepertinya penyakit ini memang tidak bisa lepas dariku sampai aku mati. Selama ini kak Rangga juga sudah berusaha, tapi aku tetap tidak bisa sembuh. Aku cuma mau menjalani kehidupan yang normal, seakan aku sehat. Kamu bisa kan bantu aku untuk mewujudkan itu?” Airin. “Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Airin.” teriak Rama frustasi. Keduanya terdiam cukup lama. Dalam pikiran Airin, terbesit sebuah kalimat yang mungkin akan mengakhiri penderitaan Rama. Sebuah kalimat yang akan membuat hidup Rama akan kembali normal seperti saat ia belum hadir di dalamnya. Hingga akhirnya ia pun mengatakannya. “Ram, aku mau kita udahan aja ya?” Airin. Rama membolat tak percaya. Ia segera menggeleng kuat. “Nggak. Nggak akan pernah, Airin.” tolak Rama tegas. “Tolong mengerti! Aku tidak mau tragedi kedua orang tuaku terulang. Ini demi kebaikan kamu, Rama. Kamu harus bisa mulai membiasakan diri tanpa aku.” Airin. Rama masih menolak keinginan Airin itu. “Ram, please! Jangan buat aku semakin tersiksa karena membawamu ke dalam penderitaan! Hidup kamu masih panjang, Rama. Aku nggak mau ngehancurin itu semua.” lanjut Airin. Rama enggan menyahuti ucapan Airin. Pria itu berkutat dengan otaknya untuk mencari jalan keluar persoalan ini. Yang pasti, ia tidak akan mau jika berpisah dengan Airin. Melihat Rama terdiam, Airin segera keluar dari mobil Rama dan berjalan cepat meninggalkannya. “Airin!” panggil Rama. Sesaat kemudian pria itu turut keluar dari mobilnya dan berlari, mencoba mengejar kepergian gadis itu. Namun beberapa saat kemudian, tubuh Airin terjatuh di atas aspal. Rama pun segera menghampirinya. Tapi ketika Rama berada beberapa langkah dari Airin, seorang pria mengangkat tubuh gadis itu membuat langkah Rama terhenti. “Aku yang akan mengantar Airin pulang.” ujar pria itu. Rama menyipitkan matanya, memperjelas pengelihatannya. Sepertinya, Rama mengenali orang itu. “Aldi? Kamu kenal Airin?” kaget Rama mendapati kakak kelasnya semasa SMP itu. Tanpa menjawab pertanyaan Rama, pria bernama Aldi itu memasukan tubuh Airin ke dalam mobil kemudian membawanya pergi. Rama berteriak frustasi karena tak tau apa yang harus ia lakukan. Hatinya sungguh kacau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD