ENAM

1141 Words
Waktu menunjukkan pukul 18.30. Rama baru saja memarkirkan mobilnya di garasi. Ia berjalan gontai memasuki rumahnya. Namun, sebuah panggilan berhasil menghentikan langkahnya. “Dea?” kaget Rama melihat sahabatnya yang tomboy itu menatapnya aneh “Kamu kenapa?” tanya Dea yang kental dengan nada kekhawatiran. Tanpa menjawab pertanyaan Dea, Rama memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Dia menangis, mencurahkan kepedihannya dalam pelukan sahabat terbaiknya itu. Setelah Rama sedikit tenang, Dea mengajaknya duduk di tepi kolam renang. “Ada apa?” tanya Dea. “Airin mutusin aku.” Rama. “Bagaimana, Rama? Kamu bercanda kan? Memangnya kalian ada masalah apa?” kaget Dea. Setau Dea, Airin sangat mencintai Rama. Tak mungkin jika gadis itu mengakhiri hubungan mereka begitu saja. Walaupun sebenarnya Dea menantikan berita itu, namun hatinya sakit melihat Rama yang begitu hancur hari ini. “Aku serius. Airin mengidap kanker darah. Dan, dia memintaku pergi dari kehidupannya agar aku tidak harus menangisi kepergiannya suatu hari nanti.” Rama. “Tapi nyatanya, sekarang pun kamu sudah menangisinya.” ucap Dea pilu. Rama beralih memandang Dea. “Perjuangin cinta kalian, Ram! Berusahalah untuk selalu berada di sampingnya sampai ajal yang memisahkan. Kamu cinta kan sama dia? Dia pantas mendapat kebahagiaan di sisa-sisa hidupnya.” Dea. Rama mengangguk lemah. Entah apa yang mendorong Dea berkata demikian. Tapi sekarang yang terpenting baginya adalah mengembalikan senyuman Rama. Dan ia tau, yang dapat melakukan itu semua hanya Airin. Ia sadar, cinta Rama dan Airin sangat kuat, ia tak akan mampu merusak hubungan itu. Bagaimanapun Airin adalah kebahagiaan Rama. Jadi Dea memutuskan untuk membantu Rama menggapai kebahagiaannya, Airin. “Sekarang, kamu mandi, makan, terus istirahat! Besok baru kamu ke rumah Airin dan katakan ketulusan cintamu ke dia! Katakan kalau kamu akan selalu ada di sisinya apapun yang terjadi nanti.” Dea. Lagi-lagi Rama hanya mengangguk. Baginya solusi yang Dea berikan adalah solusi terbaik untuk masalahnya kini. “Kamu ngapain kesini?” tanya Rama yang menyadari kehadiran Dea yang sangat tiba-tiba. “Tadinya sih aku mau ajakin kamu main basket. Tapi kamu nggak ada. Terus aku tungguin aja sampai kamu pulang. Dan sekarang...” ujar gadis itu sembari tersenyum tipis. “Biar aku antar ya pulangnya?” Rama. Dea menggeleng. “Aku bawa motor. Udah sana kamu mandi aja! Aku bisa kok sendiri.” Dea. Rama tersenyum lalu membelai rambut Dea. “Hati-hati di jalan! Jangan ngebut ya!” Rama. Dea mengangguk pasti. ***   Hari berganti. Pukul 06.15, Rama telah sampai di halaman rumah Airin. Ia segera turun dari mobilnya dan menuju pintu utama rumah Airin. Belum sempat Rama memencet bel, pintu itu sudah lebih dulu terbuka. Terlihat Airin disana. “Rama?” kaget Airin. “Airin aku sayang sama kamu. Kamu mau kan kembali sama aku?” Rama. “Ram, ini semua demi kebaikan kamu. Tolong kamu mengerti!” Airin yang masih dengan keputusannya. Sesaat kemudian Airin menarik sebuah lengan yang berada di belakangnya. Dia adalah Rangga. Di belakang Rangga, berdiri seorang lelaki lain. Dia adalah Aldi. “Aldi, ngapain kamu di sini?” kaget Rama. Saat SMP dulu, Aldi dan Rama tergabung dalam beberapa organisasi. Dan keduanya cukup dekat meski berbeda tingkat. Saat itu Rama baru duduk di bangku kelas satu, sementara Aldi kelas tiga. “Keluarga Aldi yang selama ini membantu biaya pengobatan Airin. Dan atas kesepakatan keduanya, minggu depan mereka akan bertunangan. Maaf ya, Ram.” Rangga. “Nggak. Airin, aku cinta sama kamu. Aku nggak mau kita pisah. Batalin pertunangan itu Rin, aku mohon!” Rama. Airin menggeleng. Dengan matanya yang mulai berkaca-kaca, Airin menarik lengan Rangga agar segera mengantarnya ke sekolah. Aldi pun mengikuti di belakang kakak beradik itu. Tak hilang akal. Rama mengikuti laju mobil Rangga hingga sampai di sekolah Airin. Rama memarkirkan mobilnya di dekat sekolah Airin, bermaksud menemuinya setelah gadis itu pulang sekolah. Pukul 14.00, sekolah Airin bubar. Rama menangkap bayang gadis yang di cintainya itu di depan pintu gerbang sekolahnya. Rama pun segera menghpirinya. “Rama? Kamu nggak sekolah?” kaget Airin melihat kedatangan Rama dengan pakaian yang dipakainya pagi tadi. Rama menggeleng. “Please, kasih aku kesempatan buat bicara sama kamu, Airin!” pinta Rama. “Apa lagi sih Ram?” Airin. “Aku nggak mau kita putus. Aku tetap ingin menemani kamu. Aku nggak mau pisah sama kamu.” Rama. “Justru itu, kamu harus belajar hidup tanpa aku. Masa depan kamu masih panjang. Tolong mengerti, Ram. Aku ngelakuin ini demi kebhagiaan kamu. Aku tidak mau kamu mempertaruhkan semuanya hanya demi aku yang bahkan nggak bisa tinggal di sisi kamu.” Airin. Belum sempat Rama berbicara, seorang pria datang. Ia adalah Aldi. “Ayo pulang!” ajak Aldi pada Airin. “Bentar Al, aku masih ingin bicara sama Airin.” sela Rama. “Ayo, Kak!” Airin menggandeng tangan Aldi untuk segera meninggalkan Rama. Rama menahan lengan Airin hingga gadis itu menoleh. “Ram, tolong lepasin Airin! Dia butuh istirahat.” Aldi. “Al, kenapa sih kamu tega rebut Airin? Aku benar-benar mencintainya, Al. Dan aku kira kamu sahabat yang baik. Aldi yang ku kenal dulu bukan tipe orang yang akan tega merenggut kebahagiaan sahabatnya.” kesal Rama. “Airin yang memilihku untuk menemaninya di sisa hidupnya. Aku tidak pernah memaksakan sesuatu padanya.” ujar Aldi kemudian menggandeng tangan Airin dan membawanya pergi. Lagi. Rama hanya dapat mengalah. Ia juga tidak mau memaksakan Airin untuk bicara padanya. Bagaimanapun ia juga harus menjaga kondisi gadis itu. Sore harinya, Rama bertemu dengan Dea. Ia menceritakan semua yang terjadi padanya hari ini pada Dea. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya Dea memutuskan untuk membantu Rama. Ia pergi ke rumah Airin dan bermaksud meminta waktu Airin agar ia mau meluangkan waktunya untuk berbicara pada Rama. Dea memencet bel rumah Airin hingga terlihat seorang gadis membukakan pintu. “Ada apa?” tanya gadis itu dingin. Dia adalah Airin. Ia menunjukkan ekspresi malasnya melihat kedatangan Dea. “Aku cuma mau bilang sama kamu. Rama itu tulus cinta sama kamu. Jadi tolong kasih dia kesempatan buat bicara sama kamu.” ujar Dea. Nampaknya Airin tak berminat menyahuti Dea. Ia tetap diam seakan tak peduli dengan apa yang Dea katakan. “Okey, aku tau mungkin kamu masih sebel sama aku karena sikapku waktu itu. Tapi please, ini demi Rama!” Dea. “Aku melakukan ini juga demi kebaikan Rama. Aku ikhlas kok kalau akhirnya Rama sama kamu. Kamu nggak perlu ngelakuin semua ini karena akan percuma saja.” ujar Airin pada akhirnya. “Tapi kebaikan Rama itu adalah kamu. Dia hanya akan bahagia ketika ia bersamamu.” Dea. Airin tersenyum. Entah senyum apakah itu. “Maaf ya Dea, aku capek. Aku harus istirahat.” ujar Airin kemudian menutup pintu rumahnya.             Dea pun segera pergi dari rumah Airin. Ia mengajak Rama bertemu di danau belakang sekolah untuk memberi tau Rama ucapan Airin tadi. Rama benar-benar merasa gila. Ia tak ingin berpisah dengan Airin. Ia ingin terus bersama Airin bagaimanapun caranya dan apapun resikonya. Kemudian, Dea memberinya semua ide.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD