EMPAT

1526 Words
Satu bulan berlalu. Libur sekolah baru saja dimulai. Dan pagi ini, Rama mengajak Airin dan Dea berangkat ke Bali. Awalnya Rangga tidak mengizinkan adik kesayangannya itu pergi terlalu jauh. Tapi karena Rama berjanji akan selalu menjaga Airin, akhirnya Rangga mengizinkannya. Ia tau seberapa besar cinta Rama untuk Airin. Dan ia percaya, adiknya itu akan aman bersama Rama. Pada pukul 11.30 WITA, Rama, Airin dan Dea sampai di hotel tempat mereka akan menginap. Rama membiarkan kedua gadis itu beristirahat siang ini. Karena sore nanti, Rama akan mengajak mereka ke Pantai Kuta untuk menikmati indahnya matahari terbenam. Pukul 15.00, Rama menjemput Airin di kamarnya. Saat itu Airin tengah membereskan tempat tidurnya. Rama dengan sabar menunggu di sebuah sofa panjang tak jauh dari tempat tidur Airin. Mata Rama menangkap sebuah benda aneh di atas nakas. Ia pun meraihnya. "Ini obat siapa? Obat kamu?" tanya Rama sembari memperhatikan obat yang kini berada di tangannya. Yang ia tau, Airin dalam kondisi baik-baik saja dan tak membutuhkan obat. "Oh, itu vitamin, Ram. Vitamin C buat daya tahan tubuh sama buat kulit. Kulit aku terasa kering akhir-akhir ini." jawab Airin sembari mengambil obat itu dari Rama. Airin menyimpannya di dalam lemari. "Ayo Ram, kasihan nanti Dea nunggunya lama." ujar Airin menggandeng tangan Rama untuk keluar dari kamarnya.             Pukul 15.30, Rama, Airin dan Dea telah sampai di sebuah tempat yang sangat populer di Bali, Pantai Kuta. Ketiga remaja itu terlihat sangat bahagia berjalan-jalan di tepian pantai. Mereka sengaja membasahi kaki mereka dengan air laut. Tak jarang, mereka juga saling menyipratkan air satu sama lain. Tak lupa, Rama mengabadikan momen indah itu dengan kamera yang sengaja ia bawa. “Istirahat dulu yuk! Nanti aku carikan minum.” ajak Rama. “Nanti aja deh, Ram. Lagi asyik ini.” tolak Dea yang mendapat anggukan setuju dari Airin. Rama menggelengkan kepalanya lalu berjalan ke arah Airin. “Udah keringetan gini, nanti kecapekan loh.” ujar Rama sembari menghapus peluh di dahi kekasihnya itu. Dea memalingkan muka melihat keromantisan sahabatnya itu. Ia mulai merasa muak lalu berjalan mendahului dua sejoli itu. “Dea, kamu mau kemana?” tanya Rama. “Cari pemandangan yang enak dilihat. Bosen disitu mulu.” jawab gadis tomboy itu kemudian kembali berjalan. Sebagai sesama perempuan, sepertinya Airin mengerti apa yang terjadi pada Dea. Ia sadar, memang tak mudah menganggap lelaki seperti Rama hanya sebatas teman selama belasan tahun. Hatinya tersentuh untuk mengejar sahabatnya itu. “Ram, aku ke Dea dulu ya!” pamit Airin. Rama mengangguk. Airin berlari kecil meninggalkan Rama. Ia berusaha mengejar Dea yang sekarang berada cukup jauh di depannya. “Dea tunggu aku!” teriaknya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit. Mungkin akibat kelelahan dan dehidrasi. Rama yang menyadari keanehan pada Airin itu pun segera berlari menghampirinya. Rama menangkap Airin yang nyaris pingsan. “Kamu kenapa? Kamu sakit?” panik Rama. Airin menggeleng sembari tersenyum. “Tapi kamu pucat loh. Kalau sakit bilang, Rin! Apa perlu kita ke rumah sakit?” Rama. Pertanyaan itu mendapat gelengan dari Airin. “Aku haus, Ram. Bisa belikan aku minum?” Airin. Rama mengangguk. Kemudian Rama memapah Airin untuk menjauh dari air laut. Rama mendudukkan Airin di tempat yang cukup teduh kemudian mencarikan minuman untuknya. Beberapa saat kemudian Rama kembali. Ia memberikan sebotol air mineral untuk Airin. Kemudian tangannya terulur untuk menghapus peluh yang menetes di dahi gadis itu. “Kamu jangan capek-capek! Aku nggak mau kamu sakit.” ujar Rama khawatir. Airin tersenyum mendapati perlakuan manis dari kekasihnya itu. Ia mengangguk mantab. “Sudah jam lima lebih, kita pulang ya!” ajak Rama. “Ram, aku pulang naik taxi aja ya! Kamu kejar Dea! Kasihan dia kalau ditinggal sendirian.” Airin. “Kamu lagi sakit, Rin. Dan ini Bali, bukan Jakarta. Ini tempat asing buat kamu. Aku nggak  mau sampai kamu kenapa-kenapa.” Rama. “Aku tau alamat hotelnya kok, Ram. Sudahlah, lebih baik kamu kejar Dea. Aku khawatir sama dia. Please, kali ini aja! Aku nggak tega sama Dea, Ram.” ujar Airin sembari menunjukkan ekspresi memelasnya. Akhirnya Rama mengangguk. Terlebih dahulu ia mencarikan taxi untuk Airin. Setelah itu, barulah ia mencari Dea dan mengajak gadis itu pulang. Pukul 18.20, Rama mengetuk pintu kamar Airin. Tak lama kemudian, gadis itu pun membukakan pintu. Gadis itu terlihat sudah siap untuk pergi makan malam dengan Rama. Keduanya terdiam cukup lama di depan pintu kamar Airin. “Ram, jadi pergi sekarang kan?” tanya Airin memastikan. Pasalnya, sedari tadi pria yang berstatus sebagai kekasihnya itu hanya diam sembari menatapnya aneh. “Oh, eh iya. Ayo! Dea sudah menunggu di dalam mobil.” ujar Rama. “Mmm... kamu cantik banget, Rin.” Puji Rama yang membuat kedua sisi pipi Airin merona. Saat terdiam cukup lama tadi, sebenarnya ia tengah terpesona dengan Airin. Entahlah apa yang membuat Rama selalu Rama terkesima dengan gadis biasa itu. Namun apapun yang ia lakukan dan ia kenakan terlihat begitu istimewa di mata Rama. Di sepanjang jalan keluar dari hotel, Rama menggandeng erat tangan gadisnya itu seakan memberi tau dunia bahwa Airin adalah miliknya.             Setelah cukup lama menempuh perjalanan, akhirnya Rama, Airin dan Dea sampai di sebuah restoran outdoor bernuasa pantai Bali. Airin dan Dea terlihat begitu menyukai suasana restoran itu. Rama pun tersenyum puas, ia memang tak pernah gagal membuat dua gadis itu terkesan. “Restorannya keren banget Ram! Besok-besok ajakin aku kesini lagi ya!” Dea. “Emang beruntung kamu punya sahabat sebaik dan sekeren aku. Kalau nggak karena temenan sama aku kapan lagi kamu bisa kesini?” ejek Rama dengan nada sombongnya. Airin tertawa geli mendengar ejekan Rama pada Dea. Rama menarik sebuah kursi untuk Airin duduki. Kemudian ia duduk di samping kekasihnya itu. Beberapa saat kemudian seorang pelayan datang dan mencatan pesanan ketiga remaja itu. Dua hari berlalu. Ini adalah hari terakhir bagi Rama, Airin dan Dea berada di Bali. Di malam terakhir itu, Rama mengajak kedua gadis itu menyaksikan sebuah pentas yang sangat khas di Bali. Tari Kecak. Rama dan Airin terlihat sangat asyik menyaksikan sendra tari itu. Sementara Dea merasa seperti obat nyamuk yang tak pernah di hiraukan kedua sahabatnya itu. Dea merasa kesal. Apalagi saat di akhir acara, Rama mengajak Airin berfoto bersama para penari itu. Tapi bahkan Rama sama sekali tak mengajaknya walau sekedar hanya untuk basa-basi. Gadis itu semakin menekuk wajahnya dan beberapa kali mendengus kesal. Setelah menyaksikan sendra tari itu, Rama mengajak Airin dan Dea makan malam di restoran indoor. Makanan yang mereka pesan tak kunjung datang. Kemudian Rama berinisiatif untuk menanyakannya ke pelayan yang tadi mencatat pesanannya. “Ck, lama banget sih. Sebentar, aku tanyain dulu ya?” Rama. Airin mengangguk. Sementara Dea masih terdiam sembari menekuk wajahnya. Airin menatap sendu ke arah Dea. Bagaimanapun, ia tau betapa sakitnya melihat orang yang dicintainya bersama wanita lain. Ada rasa bersalah dalam hati Airin. Ia merasa, telah merebut Rama dari Dea. Tapi ia juga tidak bisa membohongi hatinya bahwa ia juga sangat mencintai Rama. “Dea,” panggil Airin. “Hmm.” jawab Dea malas. “Aku tau yang kamu rasain. Maaf ya?” ujar Airin. “Maksud kamu?” Dea. Airin menghela napas panjang kemudian berkata, “Kamu suka kan sama Rama? Sukanya kamu ke dia bukan sekedar hanya sebatas teman kan? Dan kamu cemburu melihat Rama bersamaku. Maaf ya De, kalau semisal kamu jadi merasa aku merebut Rama dari kamu. aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi aku juga cinta sama Rama.” Airin. Dea terkejut. Bagaimana bisa Airin tau akan hal itu? Hal yang bahkan dirinya sendiri belum dapat seratus persen meyakininya. Ia juga takut jika sampai Airin mengatakannya pada Rama. Dia takut persahabatannya dengan Rama akan rusak. “Kamu tidak usah khawatir, aku nggak akan bilang ke Rama kok.” Airin. “Lalu apa maksud kamu bertanya seperti itu jika bukan karena ingin membongkarnya di  hadapan Rama?” kesal Dea. Belum sempat Airin menjawab, Dea kembali berkata, “Oh, kamu mau pamer kalau kamu itu yang berhasil rebut cintanya Rama, sementara cintaku bertepuk sebelah tangan? Kamu mau bilang kalau kamu yang menang?” tebak Dea. Airin menggeleng cepat. “Aku hanya ingin memastikan saja. Dan kalau pun benar kamu suka sama Rama, aku mau benar-benar minta maaf karena sudah membuat kamu merasa jika aku telah merebutnya dari kamu. Aku tidak bermaksud begitu, De. Sungguh.” ujar Airin yang sama sekali tak di pedulikan Dea. Sesaat kemudian, Rama datang dan membuat pembicaraan kedua gadis itupun terhenti. Rama merasa aneh melihat ekspresi Airin yang tak seceria saat ia tinggalkan tadi. Tapi belum sempat ia bertanya, pesanan mereka datang dan membuat ketiganya fokus dengan makanan masing-masing. Sejak hari itu, hubungan antara Airin dan Dea renggang. Berkali-kali Rama bertanya pada kedua gadis itu, namun keduanya sama-sama tidak mau menceritakannya. Setiap Rama mengajak keduanya bertemu, dua gadis itu masih enggan saling bertegur sapa. Di suatu hari, Rama mengajak Airin dan Dea makan siang bersama di sebuah restoran. “Setelah lulus dari SMA nanti kalian mau lanjutin dimana?” tanya Rama pada kedua gadis di depannya. “Belum tau.” jawab Dea singkat. Sementara Airin tak menjawab. Dia malah asyik sendiri dengan handphonenya. Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Ketiganya segera menyantap makanan di hadapan masing-masing. Selesai makan, Airin pamit pulang duluan karena Rangga menelponnya. Awalnya Rama ingin mengantarkannya, tapi gadis itu menolak. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD