Bukan pilihan tepat

1254 Words
Jesika berjalan pelan. Sesekali mengusap perutnya yang serasa akan meledak karena kekenyangan. Mood yang buruk karena ulah Jason barusan membuat wanita itu melampiaskan pada makanan siang itu. "Kau baik-baik saja?" Jesika tersenyum kecut. Laki-laki di sebelahnya ini memang salah satu spesies langka. Sok akrab dan tak tahu malu. Dengan percaya dirinya laki-laki itu ikut bergabung di meja Jesika saat makan siang padahal Jesika sudah menolak berulang kali ajakannya. " Aku baik-baik saja, Wil." "Apa porsi makanmu selalu seperti itu?" William menatap Jesika dari kepala sampai ujung kaki." Jika iya kemana semua makan itu pergi?" "Apa kau sedang meledekku sekarang?" "Tidak. Aku hanya heran kemana perginya semua makan itu. Lihatlah! Bahkan keponakan ku yang sekolah dasar lebih tinggi darimu." Jesika hanya mencebik kesal. Berjalan mendekat ke arah lift yang ramai siang itu. "Jangan marah. Aku hanya bercanda." William mengusap pucuk kepala Jesika. Dan Jesika refleks menepis tangan laki-laki itu. "Kau itu sungguh tidak sopan. Bukankah aku jauh lebih tua darimu, Ya?" "Oh, Ya?" Wiliam terkekeh."Tapi kenapa kau sangat imut sekali?" "Kau__!" Jesika mengangkat tangan ingin memukul William. Namun tatapan mata wanita itu tak sengaja bertemu dengan mata dingin Jason yang menatapnya dan berjalan mendekat. Terdengar para karyawan menyapa Jason sembari menudukkan kepala. Dan anehnya Jason tersenyum? Jason membalas sapaan para karyawan itu dengan senyuman. Hingga itu membuat para karyawan wanita histeris seketika. "Lihatlah, dia tersenyum bukan? Wow ini baru pertama kali saya melihat senyuman Tuan Jason." "Ah, ganteng sekali." Sayup-sayup Jesika dengar ucapan para karyawan wanita itu. "Cih. Bahkan sejak bertemu dengan ku dia tidak pernah sekalipun tersenyum seperti itu." Jesika mengumpat dalam hati. "Apa dia sedang pamer sekarang?" Jesika tersenyum sinis saat tatapan Jason kembali terarah padanya. "Ayo.." William menarik dres Jesika sedikit. Memasuki lift yang sudah terbuka. Dari kejauhan Jason hanya menatap kedua insan itu dengan dahi berkerut. "Siapa laki-laki itu, Lex?" "Iya, Tuan?" Jason mendengus. " Lupakan." Ucapannya datar. Kembali berjalan memasuki lift VIP meninggalkan Alex yang nampak masih kebingungan. "Apa dia salah makan?" Alex mengaruk kepalanya yang tak gatal. ****** Jesika mulai membuka lembaran- lembaran kertas yang menumpuk di meja kerjanya. Lihatlah. Bahkan ini baru hari pertama wanita itu bekerja. Tapi apa memang harus langsung bekerja sebanyak ini? Jesika mendengus. Bingung harus mulai dari mana. "Ada apa?" Tanya William yang mejanya bersebelahan dengan Jesika. "Butuh bantuan?" "Tidak perlu." "Kenapa? Kita harus saling membantu. Itu bisa membuat kita semakin dekat." Jesika memutar bola matanya jengah. Tak menyahuti bualan Wiliam. Wiliam yang melihat Jesika nampak kesal malah semakin semangat untuk menggoda wanita itu. "Apa sebaiknya kita berpacaran saja?" "Sttttt!!!!" Jesika meletakkan telunjuknya di bibir. Memberi isyarat William untuk diam. "Hahahah...! Kita lihat saja, tidak lama lagi kau pasti jatuh cinta padaku." William mengambil sebagian tumpukan berkas di depan Jesika yang mana membuat wanita itu mendelik menatap William kesal. "Jangan ke Gr an, Jes. Aku tidak sedang membantumu . Berkas ini memang harus segera kita selesaikan bersama." "Oh.." Jesika mengagguk. "Kok aku tidak tahu, Ya?" "Tentu saja. Kau terlalu lama di kamar mandi. Tadi Sasa yang memberikan semua berkas ini padaku." Jesika hanya mengangguk. Memang terlalu banyak jika ia harus menyelesaikan semua ini sendiri. Lagipula dia harus menyelesaikan proposal yang di minta Bu Betrik untuk segera diserahkan ke divisi keuangan. Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul empat sore. Jesika berdiri merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. "Hei, anak baru! Apa sudah selesai?" Sasa berjalan mendekat berjalan melenggang bak seorang model. Blazer warna kuning di padukan dengan rok span warna senada di atas lutut membuat penampilan wanita itu sangat menarik. Terutama bagi para laki-laki. "Belum." Jesika menatap sekilas lalu kembali duduk dan fokus pada laptop di depannya. "Kenapa lelet sekali!" "Kalau mau cepat kau kerjakan saja sendiri." Sahut Wiliam "Kau itu anak baru. Masih magang. Jadi jangan banyak tingkah." "Banyak tingkah? Memang apa yang aku lakukan?" "Kau__!!!" Sasa menatap kesal pada William. Namun, laki-laki itu tak sedikit pun menoleh padanya. "Ah, sudahlah! Cepat selesaikan." Sasa berbalik hendak pergi. Akan tetapi baru beberapa langkah wanita itu kembali memutar tubuhnya. "Hei, kau! Taruh mejaku kalau semua sudah beres." Jesika hanya mengancungkan jempolnya. " Dia seperti nenek lampir." Gumamnya setelah Sasa pergi menjauh. Sore itu kantor mulai sedikit lengang. Bu Betrik sedang ada pertemuan denga klien untuk event yang akan datang. Sedangkan karyawan lainnya sudah mulai meninggalkan ruangan itu untuk pulang. "Jes, kalau kau capek pulang lah. Biar aku yang mengurus sisa nya." "Kau yakin?" William mengagguk. " Pulanglah!" Jesika nampak sangat senang. Sebenarnya dia ingin mengunjungi rumah orangtuanya hari ini. Tapi meninggalkan William dengan beberapa berkas yang belum terselesaikan itu sangat jahat bukan? "Tidak, Wil. Aku tidak bisa meninggalkan tanggung jawabku begitu saja." "Aku akan memikul tanggung jawab mu." Ujar William serius. Jesika menggeleng heran. Laki-laki ini masih saja suka berbicara asal. "Pulanglah! Apa perlu aku antar?" "Tidak. Bukan seperti itu." Elak Jesika."Ok, Baiklah. Aku akan menurut padamu kali ini. Aku balik dulu. Bye, Wil." Jesika menyambar tasnya. Bergerak cepat meninggalkan kubikelnya sebelum William berubah pikiran. **** Di ruang tamu rumah orang tua Jesika semua sudah berkumpul. Kevin menghubungi kedua orang tuanya bahwa ia memiliki informasi terhangat tentang adik perempuannya itu. "Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan, Vin? Kau tidak ingin mengarang cerita dan mengalihkan kemarahan Mama, Kan?" Ayana menatap jengah anak pertamanya itu yang selalu memiliki alasan. "Tentu saja tidak, Ma. Apa Mama tahu kalau Jesika sekarang bekerja di perusahaan Jason?" "Apa?" Suara kaget bersamaan terdengar dari mulut Ayana dan Stefen suaminya. " Jesika belum bicara pada Papa, Mama?" Ayana mendengus kesal. " Dasar anak nakal!" " Memangnya kenapa? Menantu kita sudah sukses sekarang. Mungkin saja mereka berdua saling mendekat kan diri lagi saat ini." "Kelihatannya itu tidak mungkin, Pa. Tadi Kevin sempat ngobrol dengan Jesika dia tidak begitu antusia saat aku manayakan Jason." "Kau ini tahu apa. Tentu saja adikmu bersikap seperti itu. Kau seperti tidak tahu saja bagaimana sikap gengsinya adikmu itu." Stefen tersenyum lebar. Menarik kursi dekat sang istri dan duduk tepat di sebelahnya. " Bagaimana kalau kita bantu mendekatkan mereka lagi, Ma?" Ayana mengeleng cepat. " Tidak, Pa. Apa Papa lupa Jason sudah sangat menyakiti Jesika?" Ayana menarik nafas dalam. " Mama tidak ingin putri Mama kembali terluka. Cukup satu kali saja Mama menyerahkan putri Mama pada laki-laki seperti itu." Ingatan Ayana berputar pada saat wanita itu pertama kali mengenalkan sang putri pada Jason. Dirinya sangat merasa bersalah. Bukankah dia mengambil andil yang cukup besar saat sang putri harus tersakiti? Iya. Karena Ayanalah yang menjodohkan keduanya karena pada saat itu Ayana sering melihat Jason curi-curi pandang pada Jesika saat anak perempuannya itu berkunjung di minimarket miliknya. Pada awalnya Ayana pikir Jason adalah laki-laki yang paling tepat untuk putrinya. Saat itu Ayana sangat mengenal Jason dengan baik. Laki-laki pendiam, cerdas dan sangat sopan padanya. Akan tetapi takdir berkata lain. Laki-laki itulah yang malah membuat putrinya merasakan sakit yang amat dalam. "Ma, percayalah. Jason sebenarnya tidak ingin bercerai dengan putri kita. Keadaan yang memaksa, Ma. Bukankah Jason berulang kali memohon pada Jesika untuk memikirkan keputusan nya saat itu?" "Tidak, Pa. Merelakan putri ku kembali pada Jason bukan pilihan yang tepat." "Jangan bilang, Mama ingin menjodohkan putri kita sama anak teman Mama yang duda itu." Stefen menatap sang istri penuh curiga. "Mana mau Jesika sama duda beranak dua." Sahut Kevin. "Tidak. Mama tidak akan memaksa atau mengenalkan Jesika pada siapapun. Yach, awalnya Mama memang ingin menjodohkan Jesika dengan anak teman Mama itu tapi Mama pikir-pikir biarlah Jesika menentukan pilihannya untuk saat ini." Ayana menjeda ucapannya. "Tapi, jika ingin kembali pada Jason Mama belum bisa terima itu. Bukan Jason, Pa. Jason bukan pilihan yang tepat untuk Jesika putri kita." Ayana berucap penuh penekanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD