Hilang Arah

1286 Words
Jakarta, 2002 *** Dengan kondisi basah kuyup aku sampai di rumah bersama Jovan. Kami masih sempat tertawa ketika Bu Minah berjalan tergopoh-gopoh sambil membawakan kami handuk. “Kami akan baik-baik saja, Bu. Ibu jangan khawatir” Kata Jovan sambil tersenyum. Sekalipun tubuhku menggigil kedinginan, aku tahu jika aku masih akan baik-baik saja. “Kalian segeralah mandi dan memakai baju hangat, Ibu akan buatkan minuman panas” Kata Bu Minah sambil berjalan menuju dapur dengan cepat. Akhirnya, mau tidak mau aku dan Jovan jadi mandi lagi malam ini. Aku berhenti sejenak ketika baru akan memasuki pintu kamar mandi, seperti ada yang salah dengnaku. Aku pernah pulang dengan basah kuyup ketika masih di rumah, reaksi orang rumah hampir sama dengan reaksi Bu Minah. Mereka wajar mengkhawatirkanku, tapi Bu Minah?? Satu hal yang membuah aku tersadar.. mungkin benar apa yang dikatakan Bu Minah hari itu, aku mirip anak gadisnya yang sudah meninggal. Jadi.. dia mengkhawatirkanku sama seperti khawatirpada putrinya. Aku tersenyum, seharusnya aku bersikap lebih ramah padanya.. *** Aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan baju lengan panjang. Hawa dingin terasa semakin menusuk tulang ketika aku berjalan keluar dari kamar. Hujan masih belum reda, malah bertambah deras ketika malam datang. Aku jadi berjalan sambil memeluk tubuhku sendiri. Tiba-tiba aku merasakan sebuah lengan yang terasa dingin melingkari perutku. Membuat aku jadi merinding ketika tangan itu tidak sengaja menyentuh telapak tanganku. “Jovan..” Panggilku sedikit merengek. Jovan meletakkan kepalanya di bahuku, membuat wajah kami jadi sejajar sambil berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman panas buatan Bu Minah. “Kamu pasti kedinginan, kan??” Tanyanya sambil mengecup pipiku sekilas. Tanganku jadi mengeratkan pelukan Jovan di tubuhku. Membuat aroma tubuhnya yang bercampur dengan sabun menusuk indra penciumanku. Sedikit banyak aroma tubuh Jovan jadi sama denganku, kami memakai sabun yang sama, sih.. “Aku suka mandi hujan. Besok kita kesana lagi, yaa??” Kataku sambil membalik tubuh dan menghadap padanya. Jovan terkekeh sambil mengusapkan hidungnya pada hidungku. “Kamu mau bertemu anak-anak tadi, kan??” Tanya Jovan sambil menatap geli ke arahku. Aku hanya diam sambil mengendikkan bahu. Memikirkan tentang anak-anak tadi, ketika hujan dan hawa dingin seperti ini, mereka akan berlindung ke mana?? Aku yang berada di dalam rumah saja masih merasa kedinginan seperti ini. Apalagi mereka? “Mereka.. apa punya tempat tinggal??” Tanyaku pada Jovan. “Aku juga tidak tahu. Makanya, kamu harus banyak-banyak bersyukur, Meera. Kehidupan kita jauh lebih beruntung. Bukannya aku merasa kasihan pda mereka, rasanya amat sangat tidak baik jika menjadikan penderitaan orang lain untuk membuat kita merasa lebih tinggi dari mereka.. tapi, bukankah kita memang seharusnya sellau bersyukur??” Aku mengangguk. Sungguh, berbulan-bulan bersama Jovan tetap tidak membuat diriku berani mengatakan jika aku memiliki sedikit masalah dengan kata ‘beryukur kepada Tuhan’ Tapi.. jika bukan saat ini.. kapan lagi? “Aku manusia tidak tahu diri yang jarang mengucap syukur. Bahakn aku sudah lupa kapan terakhir kali aku duduk dan berlutut untuk berdoa kepada Tuhan” Kataku sambil tersenyum masam. Beginilah keadaannya.. mau bagaimana lagi?? Jovan tersenyum singkat ketika mendnegarkan curhatanku. Aku tahu, aku terlalu jauh dari Tuhan. Aku terlalu malu untuk meminta maaf setelah semua umpatanku untuk jalan hidup yang tidak pernah aku inginkan. Aku bahkan.. sudahlah.. entah sudah berapa lama aku hanya duduk diam tanpa pernah merasakan ibadah yang sebenarnya ketika sedang ke Gereja di hari Minggu. Kenyataannya terlalu buruk. Aku tidak bisa menerima segalanya tentang takdir dan rencana Tuhan di dalam hidupku. Jovan mengusap kepalaku sejenak, untuk sesaat aku melihat senyumnya yang selalu berusaha menenangkan diriku. “Baiklah, mungkin memang ada banyak hal yang harus diperbaiki dari dirimu.. kita akan coba satu persatu..” Kata Jovan sambil mengecup pelipisku. Membuat aku sadar, jika bersma Jovan semuanya bisa diatasi. Jadi Tuhan, orang ini akan selalu membawa aku pada segala hal yang baik. Bolehkah aku meminta untuk selalu bersamanya sampai aku mati? Karena mungkin aku bisa kembali hilang arah kalau tidak dengan dia. “Kalian di sini? Ayo segera turun, Ibu sudah buatkan s**u coklat panas supaya tidak kedinginan” Kata Bu Minah yang baru tiba di ujung tangga. Jovan tersenyum dan segera membawaku turun mengikuti Bu Minah menuju dapur. Ada banyak hal indah di sunia, salah satunya rumah ini. Sekalipun mereka bukan keluargaku, aku merasa jika Bu Minah benar-benar tulus menyayangiku. Ya, sekalipun baru beberapa hari aku mengenalnya.. “Lain kali kalau pergi ke sana jangan menggunakan motor Bapak lagi, nanti kalian bisa kehujanan. Tadi Ibu lupa mengingatkan kalau daerah sini sering hujan” Kata Bu Minah. Aku dan Jovan hanya terkikik geli. Hujan-hujan di malam hari tentu bukan hal yang patut dilakukan, tapi.. aku tentu tidak perlu berpikir dua kali untuk mengulangi malam ini. Rasanya menyenangkan ketika bisa tertawa lepas di kala hujan. Aku sering mendengar jika hal yang bisa dilakukan ketika hujan adalah menangis, karena saat hujan, tangisan kita tidak akan dilihat orang. Tapi.. dari pada terus menangis ketika hujan, kenapa tidak coba untuk tertawa ketika hujan? Hujan juga bisa menyamarkan tawamu dan membuatnya lebih sempurna.. Mungkin setelah ini aku tertawa ketika hujan turun. Apapun yang terjadi aku akan tertawa ketika ada hujan. Karena kengan hari ini akan selalu abadi untuk selamanya. Jovan menatapku smabil tersenyum ketika dia sedang menyiapkan perapian bersama Pak Marto. Selain memiliki pemandangan yang indah, vila milik Ardo juga mempunya fasilitas yang menakjubkan. Salah satunya adalah perapian. Yaa, sekalipun belum ada penghangat ruangan di tempat ini. Tapi perapian sudah memperbaiki segalanya. Setelah ini kami akan duduk sambil menikmati hangatnya api di ruang tengah. Mungkin sepiring biskuit dan segelas s**u coklat lagi akan semakin menyempurnakan segalanya. “Kamu bahagia??” Tanya Jovan sambil menyuapkan biskuit ke mulutku. Tadi, setelah menyalakan perapian Bu Minah dan Pak Marto pamit untuk istirahat. Aku sebenarnya ingin mengajak mereka untuk mengobrol denganku, tapi karena mereka lelah.. jadi yaa begitulah. Kurasa besok juga tidak masalah. Aku masih punya waktu yang panjang di rumah ini smapai aku bisa mendengar kabar bahagia dari Jakarta. “Kamu sudah menanyakan itu lebih dari tiga kali sehari” Kataku sambil tersenyum. Jovan juga ikut tersenyum. Dari tempatku duduk yang sedikit lebih rendah dari Jovan, aku bisa melihat ada kilatan bahagia di mata coklat Jovan ketika api mulai memanculkan sinarnya. Aku jadi gemas dan ingin menyentuh matanya. Jadi, kuulurkan tanganku untuk menyentuh rahang Jovan. Rambut-rambut tipis yang biasanya ada di sekitar rahangnya kini hilang begitu saja. Meninggalkan kulit putihnya yang halus dan berwarna sedikit kemerahan karena menahan dingin. Jovan memejamkan matanya. Mebuat aku jadi berusaha untuk mengecup lehernya yang menggemaskan. Lalu, begitulah.. semuanya kembali terjadi tanpa sempat aku sadari. Bibir Jovan yang lembut kembali memenuhi rongga mulutku. Membuat aku lagi-lagi merasakan manis bibirnya. Membiarkan aku terus merasakan kehadirannya. Semua ini terasa benar. Aku menikmati semua yang Jovan lakukan pada bibirku. Jovan tidak pernah menciumku dengna asal, dia selalu menyalurkan seluruh perasaan yang ingin dia sampaikan padaku. Membuat aku merasa dicintai dengan cara yang begitu menakjubkan. Dengan ciuman lembutnya, Jovan memberiku sedikit cahaya untuk hari esok. Seakan hari memang dibuat hanya untuk kami berdua. Jadi, ketika untuk yang kesekian kali Jovan menciumku, aku hanya bisa menikmati sambil terus berusaha membalasnya. Balas untuk menyampaikan apa yang aku rasakan. Kebahagiaan dan juga ketakutan yang luar biasa. Tidak, kami tidak pernah kelewatan selama ini. Jovan tahu aku mau menjaga diriku, dia menghormati dan turut untuk menjaganya juga. Jadi, aku selalu merasa aman ketika dia menciumku. Jovan pasti akan menahan dirinya. Tidak, tidak akan dia biarkan aku rusak, olehnya sekalipun. Oh Tuhan, aku mencintai orang ini. Amat sangat mencintainya hingga dadaku sendiri terasa sesak arena tidak sanggup menampung betapa banyak cintaku untuknya. Dia adalah dunia yang bisa aku sebut sebagai semesta. Dia adalah manusia yang kumohon pada-Mu agar aku bisa menyebutnya sebagai takdirmu. Karena, setelah semua yang kami bagi bersama, rasanya akan salah jika kami tidak lagi bersama. Akan ada sesuatu yang mengganjal jika tidak berakhir dengannya. Jadi, untuk semua doa yang pernah aku sebutkan, aku harap dia yang menjadi kenyataan. Setelah itu, yang lainnya bisa menyesuaikan. “Kamu selalu menakjubkan, Meera” Kata Jovan sambil menyatukan kening kami. Aku masih memejamkan mataku. Mencoba untuk tetap mengingat bagaimana setiap sentuhannya pada diriku. Akan selalu aku simpan setiap rasa yang pernah kami bagi bersama. “Aku mencintaimu” Katanya sambil mengecup bibirku sekilas. Setelah itu, satu-satunya yang aku dengar hanyalah detak jantung Jovan ketika dia manarik diriku menuju dadanya. Seakan ingin berbagi irama menyenangkan itu bersamaku. Jadi.. yang kulakukan hanyalah diam sambil membalas dekapannya.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD